PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDIA
MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENGHASILAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK INDIA
BERHASRAT untuk mengadakan suatu persetujuan mengenai penghindaran
pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang berhubungan dengan
pajak-pajak atas penghasilan.
TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT :
Pasal 1
ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP
DALAM PERSETUJUAN
Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 2
PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN
1. Pajak-pajak yang berlaku menurut Persetujuan ini adalah :
(a) di Indonesia :
pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 (Undang-undang No. 7 Tahun 1983) dan sepanjang dinyatakan dalam Undang-undang
pajak penghasilan tersebut, Pajak Perseroan yang dikenakan berdasarkan
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara No. 139 Tahun 1925 terakhir
diperbaharui dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1970) dan pajak yang dikenakan
berdasarkan Undang undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970 (Undang-undang
No. 10 Tahun 1970); (selanjutnya disebut sebagai Pajak Indonesia);
(b) di India :
(i) pajak penghasilan, termasuk setiap tambahan yang dikenakan berdasarkan
Undang undang Pajak Penghasilan, 1961 No. 43 Tahun 1961);
(ii) surtax dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak Tambahan atas
Perseroan (Laba), 1964 (No. 7 Tahun 1964); (selanjutnya disebut sebagai
Pajak India) .
2. Persetujuan ini akan berlaku pula terhadap setiap pajak yang serupa
atau pada hakekatnya sama, yang dipungut oleh salah satu dari Kedua Negara
pihak pada Persetujuan, setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini,
sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang
telah ada sebagaimana disebut dalam ayat 1.
Pejabat-pejabat yang berwenang dari Kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan saling memberitahukan satu sama lain setiap perubahan-perubahan penting
yang telah terjadi dalam undang-undang pajak masing-masing.
Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM
1. Kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, maka
yang dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :
(a) istilah Indonesia meliputi wilayah Republik Indonesia sebagaimana
ditentukan dalam undang-undangnya dan daerah yang berbatasan terhadap mana
Republik Indonesia mempunyai kedaulatan, hak-hak berdaulat atau yurisdiksi
menurut hukum internasional, khususnya ketentuan-ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut, 1982.
(b) istilah India berarti wilayah India dan termasuk laut wilayah dan
ruang udara di atasnya, dan juga zona maritim lainnya di mana India mempunyai
kedaulatan, hak-hak berdaulat, hak-hak lainnya dan yurisdiksi menurut undang-undang
India dan sesuai dengan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut, 1982.
(c) istilah Negara pihak pada Persetujuan dan Negara pihak pada Persetujuan
lainnya berarti India atau Indonesia tergantung pada hubungan kalimatnya;
(d) istilah pajak berarti pajak India atau pajak Indonesia tergantung
dari hubungan kalimatnya, tetapi tidak akan termasuk setiap jumlah yang
dibayar karena pelanggaran atau kelalaian dalam hubungannya dengan pajak-pajak
di mana Persetujuan ini berlaku atau berupa pengenaan denda yang menyangkut
pajak-pajak tersebut;
(e) istilah orang atau badan meliputi orang pribadi, perseroan dan
setiap kesatuan lainnya yang diperlakukan sebagai suatu kesatuan yang dapat
dikenakan pajak berdasarkan undang-undang pajak yang berlaku di masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan;
(f) istilah perseroan berarti setiap badan hukum atau setiap kesatuan
yang diperlakukan sebagai suatu perseroan atau badan hukum yang berdasarkan
undang-undang pajak yang berlaku di masing-masing Negara pihak pada Persetujuan;
(g) istilah perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
Perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya berarti berturut-turut
suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan lainnya;
(h) istilah lalu lintas internasional berarti setiap pengangkutan oleh
kapal laut pesawat udara yang dilakukan oleh perusahaan dari suatu Negara
pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal laut atau pesawat udara itu
semata-mata dilakukan antara tempat-tempat yang berada di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya;
(i) istilah pejabat yang berwenang berarti dalam hal India, Pemerintah
Pusat pada Kementerian Keuangan (Departemen of Revenue) atau wakilnya yang
sah; dalam hal Indonesia, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;
(j) istilah warga negara berarti setiap orang pribadi yang memiliki
kewarganegaraan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan dan setiap
badan hukum, usaha bersama atau assosiasi yang memperoleh statusnya berdasarkan
undang-undang yang berlaku di Negara pihak pada Persetujuan.
2. Untuk penerapan Persetujuan ini oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan,
setiap istilah yang tidak dirumuskan, akan mempunyai arti menurut perundang-undangan
Negara pihak pada Persetujuan itu sepanjang mengenai pajak-pajak yang berlaku
dalam Persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan
lain.
Pasal 4
P E N D U D U K
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan berarti setiap orang dan badan yang menurut perundang-undangan
Negara tersebut dapat dikenakan pajak di Negara itu berdasarkan domisilinya,
tempat kediamannya, tempat kedudukan manajemennya ataupun dasar lainnya
yang sifatnya serupa. Tetapi istilah ini tidak termasuk orang dan badan
yang dapat dikenakan pajak di Negara itu hanya dari penghasilan yang bersumber
di Negara tersebut.
2. Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk
di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan
sebagai berikut :
(a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia mempunyai tempat
tinggal tetap yang tersedia baginya; apabila ia mempunyai tempat tinggal
tetap yang tersedia baginya di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk
Negara dimana terdapat hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih
erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok);
(b) jika Negara dimana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak
dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang
tersedia baginya di salah satu Negara, maka ia akan dianggap sebagai penduduk
Negara dimana ia menurut kebiasaan berdiam;
(c) jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara, atau
sama sekali tidak mempunyainya di kedua Negara tersebut, maka pejabat-pejabat
yang berwenang dari Negara-negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan
masalah tersebut berdasarkan persetujuan bersama.
Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP
1. Untuk kepentingan Pesetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap berarti
suatu tempat usaha tertentu di mana seluruh atau sebagian usaha dari suatu
perusahaan dijalankan.
2. Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi :
(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel;
(f) suatu lokasi pertambangan, suatu ladang minyak atau gas, suatu
tempat penggalian atau tempat pengambilan sumber kekayaan alam lainnya;
(g) suatu lokasi pembuatan bangunan atau proyek konstruksi, instalasi
atau proyek perakitan atau kegiatan-kegiatan pengawasan yang berhubungan
dengan itu, tetapi hanya apabila lokasi, proyek atau kegiatan itu berlangsung
untuk masa yang melebihi 183 hari.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari pasal ini, istilah
bentuk usaha tetap dianggap tidak meliputi :
(a) penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk
menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
(b) pegurusan atau persediaan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan semata mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
(c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan
lain;
(d) pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud
untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan
keterangan bagi keperluan perusahaan;
(e) pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud
untuk tujuan periklanan, untuk memberikan keterangan-keterangan, untuk
melakukan riset ilmiah ataupun untuk kegiatan-kegiatan serupa yang
bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.
4. Jika orang dan badan (yang bukan merupakan suatu agen yang berdiri
sendiri dimana ketentuan-ketentuan ayat 7 berlaku) bertindak di suatu Negara
pihak pada Persetujuan atas nama suatu perusahaan dari Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, maka perusahaan itu akan dianggap mempunyai suatu
bentuk usaha tetap di negara yang disebut pertama karena kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh orang atau badan tersebut untuk perusahaan itu, apabila
:
(a) orang dan badan tersebut mempunyai, dan biasa melakukannya di Negara
yang disebut pertama, wewenang untuk menutup kontrak-kontrak atas nama
perusahaan itu; atau
(b) orang dan badan tersebut di Negara yang disebut pertama, mengurus
suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan, di
mana ia secara teratur menyerahkan barang-barang atau barang dagangan atas
nama perusahaan tersebut.
5. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dianggap
mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
apabila perusahaan itu memberikan jasa-jasa, termasuk jasa-jasa konsultasi
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya itu melalui para pegawainya atau
orang lain, selain dari pada agen yang berdiri sendiri dimana ketentuan-ketentuan
ayat 7 berlaku, sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut (untuk suatu proyek
yang sama atau berkaitan) berlangsung di suatu negara untuk suatu masa
atau masa-masa yang jumlahnya melebihi 91 hari dalam masa 12 bulan.
6. Suatu perusahaan asuransi dari Negara pihak pada Persetujuan, kecuali yang berkenaan dengan reasuransi, akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah Negara lainnya itu atau menanggung resiko yang terjadi disana melalui soarang pegawai atau melalui suatu perwakilan yang bukan merupakan agen yang berdiri sendiri seperti dimaksud pada ayat 7.
7. Suatu perusahaahn dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak
akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya semata-mata karena perusahaan itu mejalankan usaha tetap di Negara
lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri
sendiri sepanjang orang dan badan tersebut bertindak dalam rangka kegiatan
usahanya yang lazim.
Walau demikian, bilamana kegiatan agen dimaksud seluruhnya atau
hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan itu, maka ia tidak akan
dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam arti ayat ini.
8. Jika suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada
Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh perseroan yang berkedudukan di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya ataupun menjalankan usaha di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap
ataupun dengan suatu cara lain), maka hal itu tidak dengan sendirinya akan
berakibat bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk usaha tetap
dari yang lainnya.
Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TAK GERAK
1. Penghasilan yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan dari harta tak gerak, termasuk penghasilan yang diperoleh
dari lahan pertanian atau kehutanan yang berada di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Istilah harta tak gerak akan mempunyai arti sesuai dengan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan di mana harta yang bersangkutan berbeda. Bagaimanapun juga istilah tersebut meliputi benda-benda yang menyertai harta tak bergerak, ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha pertanian dan kehutanan, hak-hak terhadap mana ketentuan ketentuan dalam undang-undang umum mengenai pemilikan atas lahan berlaku, hak pakai hasil atas harta tak gerak serta hak atas pembayaran-pembayaran tetap ataupun tidak tetap sebagai balas jasa untuk pekerjaan atau hak untuk mengerjakan bahan-bahan galian, sumber sumber dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya. Kapal laut, perahu dan pesawat udara tidak dianggap sebagai harta tak gerak.
3. Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, dari penyewaan atau dari penggunaan harta tak gerak dalam bentuk apapun.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 3 akan berlaku pula terhadap penghasilan
dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari harta
tak gerak yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan bebas.
Pasal 7
LABA USAHA
1. Laba suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada
Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan
itu menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui
suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti
tersebut di atas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara
lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang dianggap berasal dari (a) bentuk
usaha tetap (b) penjualan yang dilakukan di Negara lainnya berupa barang-barang
atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya yang dijual melalui
bentuk usaha tetap.
2. Tunduk pada ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing Negara ialah laba yang dapat diharapkan diperoleh, yang terpisah dan berdiri sendiri yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama atau serupa dan yang mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dari perusahaan yang mempunyai bentuk usaha tetap.
3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan
biaya-biaya yang dikeluarkan kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap
itu termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum, baik
yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap berada itu ataupun
di tempat lain.
Namun demikian, tidak diperkenankan untuk dikurangkan ialah pembayaran-pembayaran
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor
lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar
dikeluarkan) berupa royalti, biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya
karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau berupa komisi. Untuk jasa-jasa
khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali dalam usaha perbankan,
berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya
tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap jumlah jumlah
yang dibayarkan (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan)
oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain
milik kantor pusatnya berupa royalti, biaya atau pembayaran lainnya yang
serupa karena penggunaan paten atau hak hak lainnya, atau berupa komisi
untuk jasa-jasa khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali
dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada kantor
pusat atau kantor-kantor lainnya.
4. Sepanjang merupakan kebiasaan di Negara pihak pada Persetujuan untuk
menentukan besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap
berdasarkan suatu pembagian secara proporsional atas seluruh laba perusahaan
terhadap berbagai bagiannya, maka ketentuan ayat 2 tidak akan menghalangi
Negara pihak pada Persetujuan untuk menentukan besarnya laba yang akan
dikenakan pajak berdasarkan pembagian secara proporsional tersebut seperti
yang lazim digunakan; namun, cara pembagian secara proporsional tersebut
harus sedemikian rupa sehingga hasilnya akan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam pasal ini.
5. Laba yang semata-mata berasal dari pembelian barang-barang atau barang dagangan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap untuk perusahaan tidak akan dihitung sebagai laba dari bentuk usaha tetap.
6. Untuk penerangan ayat-ayat sebelumnya, besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk menyimpang.
7. Jika di dalam jumlah laba terdapat penghasilan-penghasilan lain yang
diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini, maka
ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan
pasal ini.
Pasal 8
PERKAPALAN DAN PENGANGKUTAN UDARA
1. Laba yang diperoleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur
lalu lintas internasional hanya akan dapat dikenakan pajak di Negara tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 pasal ini akan berlaku pula terhadap laba yang diperoleh dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha patungan, atau dari suatu perwakilan usaha internasional.
3. Untuk penerapan pasal ini, bunga atas dana-dana yang ada hubungannya dengan pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional akan dianggap sebagai keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara tersebut dan ketentuan-ketentuan dalam pasal 11 tidak akan berlaku terhadap bunga tersebut.
4. Istilah pengopeasian kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat
udara akan diartikan sebagai usaha pengangkutan penumpang, pos, ternak,
atau barang-barang yang diangkut oleh para pemilik atau para penyewa atau
para pencarter kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara, termasuk penjualan
tiket-tiket untuk pengangkutan demikian atas nama perusahaan perusahaan
lain, penyewaan kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara yang dilakukan
sekali-sekali dan kegiatan lainnya yang secara langsung berhubungan dengan
pengangkutan tersebut.
Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA
1. Apabila :
(a) suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, baik
secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan
atau modal suatu perusahaan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, atau
(b) orang dan badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung
turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari
suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan
dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau
diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara
perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, maka setiap
laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat
itu tidak ada, namun tidak diterima karena adanya syarat-syarat tersebut,
dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak.
2. Apabila suatu Negara pihak pada Persetujuan melakukan pembetulan
atas laba suatu perusahaan di Negara itu dan dikenakan pajak, sedang bagian
laba yang dibetulkan itu adalah juga laba perusahaan yang telah dikenakan
pajak di Negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya
diperoleh perusahaan di Negara yang disebut pertama akibat adanya syarat-syarat
yang dibuat antara kedua perusahaan menyimpang dari yang lazim diadakan
antara perusahaan-perusahaan yang bebas, maka Negara lain itu akan melakukan
penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenakan pajak dari perusahaan
di Negara lain tersebut. Dalam melakukan Penyesuaian-penyesuaian itu, dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini dan apabila
dianggap perlu pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada
Persetujuan akan saling berkonsultasi.
Pasal 10
D I V I D E N
1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan di
suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian dividen itu dapat juga dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana perseroan yang membayarkan dividen tersebut,
berkedudukan dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, akan
tetapi apabila penerima dividen adalah pemilik saham yang menikmati dividen
itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi :
(a) 10 persen dari jumlah kotor dividen apabila pemilik saham yang
menikmati dividen tersebut adalah perseroan yang memiliki paling sedikit
dua puluh lima persen dari saham saham perseroan yang membayarkan dividen
itu;
(b) 15 persen dari jumlah kotor dividen dalam hal lainnya.
Ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak terhadap perseroan
itu atas laba dari mana dividen dibayarkan.
3. Istilah dividen sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti penghasilan
dari saham saham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat
piutang, namun berhak atas pembagian laba, demikian pula penghasilan dari
hak-hak perseroan lainnya yang diperlakukan sama dalam pengenaan pajaknya
sebagai penghasilan dari saham-saham oleh undang-undang Negara di mana
perusahaan yang membagikan dividen berkedudukan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik
saham yang menikmati dividen yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada
Persetujuan, menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya di mana perseroan yang membayarkan dividen
berkedudukan, atau menjalankan pekerjaan bebas di Negara lainnya melalui
suatu tempat tetap yang berada di sana, dan pemilikan saham-saham atas
nama dividen itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat tetap itu.
Dalam hal demikian, tergantung pada permasalahannya, berlaku
ketentuan Pasal 17 atau Pasal 14.
5. Apabila suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak
pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara pihak pada
Persetujuan lainnya, Negara lain tersebut tidak boleh mengenakan pajak
apapun juga atas dividen yang dibayarkan oleh perseroan itu kecuali apabila
dividen itu dibayarkan kepada penduduk Negara lain itu atau apabila penguasaan
saham-saham atas nama dividen itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif
dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang berada di Negara lain
itu, ataupun mengenakan pajak atas laba perseroan yang dibagikan, meskipun
dividen yang dibayarkan atau laba yang tidak dibagikan tersebut seluruhnya
atau sebagian berasal dari laba atau penghasilan yang diperoleh di Negara
lain tersebut.
Pasal 11
B U N G A
1. Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian bunga itu dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana bunga itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 2 :
(a) bunga yang berasal dari Negara pihak pada Persetujuan akan dibebaskan
dari pengenaan pajak di Negara tersebut sepanjang bunga itu diterima dan
dinikmati oleh :
(i) Pemerintah, bagian dari ketatanegaraan atau suatu pemerintah daerah
dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya; atau
(ii) Bank Sentral atau setiap badan-badan atau lembaga-lembaga yang
dibentuk pemerintah (termasuk lembaga keuangan) yang sepenuhnya dimiliki
oleh Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau bagian dari ketatanegaraan
ataupun pemerintah daerahnya.
(b) bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, dengan
persetujuan pemerintah Negara itu, akan dibebaskan dari pengenaan pajak
di Negara tersebut, jika bunga di atas yang diterima dan dinikmati oleh
orang dan badan (selain orang dan badan sebagaimana dimaksud dalam sub-ayat
(a)) yang merupakan penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, sepanjang
pinjaman yang menyebabkan adanya tagihan piutang itu telah disepakati oleh
Pemerintah Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
4. Istilah bunga seperti yang dipergunakan dalam pasal ini berarti
penghasilan dari semua jenis tagihan piutang (termasuk atas penjualan berdasarkan
deferred payment), baik yang dijamin dengan hipotik ataupun tidak, dan
baik yang berhak maupun tidak atas bagian laba debitur, dan pada khususnya
penghasilan dari surat-surat berharga pemerintah dan penghasilan dari obligasi
atau surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah-hadiah yang terikat
pada surat-surat berharga, obligasi maupun surat-surat hutang tersebut.
Denda atas pembayaran yang terlambat tidak dianggap sebagai bunga menurut
pasal ini.
5. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemberi pinjaman yang menikmati bunga yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya dimana bunga itu berasal melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau menjalankan pekerjaan bebas di Negara lainnya melalui suatu tempat tetap yang berada disana, dan tagihan piutang atas mana bunga itu dibayar mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.
6. Bunga dianggap berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila yang membayar bunga adalah Negara pihak pada Persetujuan itu sendiri, bagian dari ketatanegaraan, pemerintah daerah atau penduduk Negara itu. Namun demikian, apabila orang dan badan yang membayar bunga itu, tanpa memandang apakah ia penduduk salah satu Negara pihak pada Persetujuan atau tidak, mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam hubungan mana hutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu telah dibuat, maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
7. Jika karena alasannya adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga
dengan penerima yang menikmati bunga atau antara kedua-duanya dengan orang
atau badan lain, dengan memperhatikan besarnya tagihan piutang, bunga yang
dibayarkan melebihi jumlah yang telah disetujui antara pembayar dengan
penerima yang menikmati bunga tersebut seandainya hubungan istimewa itu
tidak ada, maka ketentuan-ketentuan pasal ini hanya akan berlaku atas jumlah
yang disebut kemudian. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan yang dibayarkan
akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
lain dalam Persetujuan ini.
Pasal 12
R O Y A L T I
1. Royalti yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana royalti itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, tetapi apabila penerima royalti adalah pemilik hak yang menikmati royalti itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 15 persen dari jumlah kotor royalti.
3. Istilah royalti sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti pembayaran dalam bentuk apapun yang diterima sebagai balas jasa karena penggunaan atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusasteraan, karya seni atau karya ilmiah, termasuk film-film sinematografi, atau film-film atau pita-pita yang digunakan untuk siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus atau cara pengolahan yang dirahasiakan, atau untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan perlengkapan industri, perniagaan atau ilmu pengetahuan, atau keterangan menyangkut pengalaman di bidang industri, perniagaan dan ilmu pengetahuan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima royalti
yang berhak menikmatinya, yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
di mana royalti itu berasal, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada
di sana, atau melakukan suatu pekerjaan bebas di Negara lain itu melalui
suatu tempat tetap yang berada di sana, dan hak atau milik sehubungan dengan
mana royalti itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk
usaha tetap atau tempat tetap itu.
Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan
Pasal 7 atau Pasal 14.
5. Royalti dapat dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan,
apabila pembayar royalti itu adalah Negara itu sendiri, bagian dari ketatanegaraan,
pemerintah daerah atau penduduk dari Negara tersebut. Namun demikian, apabila
orang dan badan yang membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia
penduduk salah satu Negara pihak pada Persetujuan atau tidak, memiliki
suatu bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan
dalam hubungan mana kewajiban untuk membayar royalti itu dibuat, dan royalti
tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka
royalti tersebut akan dianggap berasal dari Negara dimana bentuk usaha
tetap atau tempat tetap itu berada.
6. Jika karena alasanya adanya hubungan istimewa antara pembayar royalti
dengan pemilik hak yang menikmati royalti itu atau antara kedua-duanya
dengan orang atau badan lain, jumlah royalti yang dibayarkan, dengan memperhatikan
pemakaian, hak atau keterangan untuk mana royalti itu dibayar melebihi
jumlah yang seharusnya telah disepakati oleh pembayar dengan pemilik hak
yang menikmati royalti seandainya hubungan istimewa tersebut tidak ada,
maka ketentuan-ketentuan dalam pasal ini hanya berlaku bagi jumlah yang
disebut kemudian. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut
akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
lain dalam Persetujuan ini.
Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHTANGANAN HARTA
1. Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
dari pemindahtanganan harta tak gerak, seperti disebutkan dalam Pasal 6,
dan terletak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dapat dikenakan
pajak di Negara lain tersebut.
2. Keuntungan dari pemindahtanganan harta tak gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau dari harta gerak suatu tempat tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha tetap (tersendiri atau dengan seluruh perusahaan) atau tempat tetap, dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
3. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu lintas internasional atau dari harta gerak yang berkenaan dengan pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara tersebut, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana yang memindahtangankan berkedudukan.
4. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan setiap harta selain
dari yang telah disebutkan pada ayat 1, 2 dan 3 hanya akan dikenakan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan dimana memindahtangankan berkedudukan.
Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS
1. Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan bebas yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan
lainnya yang serupa, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut
kecuali dalam hal tersebut di bawah ini, dimana penghasilan itu dapat juga
dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya :
(a) apabila ia mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur
baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan
lain itu; dalam hal demikian penghasilan yang dikenakan pajak di Negara
lain itu hanyalah atas bagian penghasilan yang dianggap berasal dari tempat
tetap tersebut; atau
(b) apabila ia tinggal di Negara pihak pada Persetujuan lainnya dalam
satu masa atau masa masa yang jumlahnya melebihi 91 hari dalam masa 12
bulan; dalam hal demikian, hanya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di Negara lain itu yang dapat dikenakan pajak di Negara
lain tersebut.
Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA
1. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 16, 17, 18, 19, 20 dan 21,
gaji, upah dan balas jasa lain yang serupa yang diperoleh penduduk suatu
Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
dalam hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali
jika pekerjaan itu dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya.
Jika pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari
pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh
seorang penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, hanya
akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila :
(a) penerima balas jasa berada di Negara lain itu dalam suatu masa
atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan; dan
(b) balas jasa itu dibayarkan oleh, atau atas nama majikan yang bukan
merupakan penduduk Negara lain tersebut; dan
(c) balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat
tetap yang dimiliki oleh majikan itu di Negara lain tersebut.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam pasal ini,
balas jasa yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja
yang dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan hanya dikenakan pajak di Negara tersebut.
Pasal 16
PENGHASILAN PARA DIREKTUR
Penghasilan-penghasilan para direktur dan pembayaran-pembayaran serupa
yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya
sebagai anggota Dewan Komisaris (dengan nama apapun juga) dari perusahaan
yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat
dikenakan pajak di Negara lainnya tersebut.
Pasal 17
PARA SENIMAN DAN OLAHRAGAWAN
1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, penghasilan
yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan sebagai seniman
seperti artis teater, film, radio dan televisi atau pemain musik atau sebagai
olahragawan, dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka yang dilakukan di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara lain
tersebut.
2. Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pribadi yang dilakukan oleh seniman atau olahragawan tersebut diterima bukan oleh seniman atau olahragawan itu sendiri tetapi oleh orang atau badan lain, menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada Pasal 7, 14 dan 15, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Persetujuan di mana kegiatan kegiatan seniman atau olahragawan itu dilakukan.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, penghasilan yang diperoleh
seniman atau olahragawan yang menjadi penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan dari kegiatan kegiatan pribadinya yang dilakukan di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada
Persetujuan yang disebutkan pertama, apabila :
(a) kegiatan-kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan lain itu dibiayai
sepenuhnya atau sebagian dengan dana-dana pemerintah Negara pihak pada
Persetujuan yang disebut pertama, termasuk bagian ketatanegaraan atau pemerintah
daerahnya, atau
(b) kegiatan-kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan lain itu didasarkan
atas suatu program khusus pertukaran kebudayaan yang telah disetujui oleh
Pemerintah kedua Negara pihak pada Persetujuan.
4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 2 dan Pasal 7, 14 dan 15,
jika penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pribadi yang dilakukan
oleh seniman atau olahragawan di Negara pihak pada Persetujuan di terima
bukan oleh seniman atau olahragawan itu sendiri akan tetapi oleh orang
atau badan lain, maka penghasilan tersebut hanya akan dikenakan pajak di
Negara pihak pada Persetujuan lainnya, apabila :
(a) orang atau badan tersebut dibiayai sepenuhnya atau sebagian dengan
dana-dana pemerintah Negara lainnya, termasuk bagian ketatanegaraan atau
pemerintah daerahnya, atau
(b) kegiatan-kegiatan itu dilakukan oleh seseorang yang menjadi penduduk
Negara pihak pada Persetujuan lainnya berdasarkan suatu program khusus
pertukaran kebudayaan yang telah disetujui oleh Pemerintah kedua Negara
pihak pada Persetujuan dan orang atau badan yang menerima penghasilan tersebut
adalah penduduk Negara pihak pada Persetujuan lain tersebut.
Pasal 18
BALAS JASA DAN PENSIUN SEHUBUNGAN DENGAN
JABATAN DALAM PEMERINTAHAN
1. Balas jasa, selain dari pensiun, yang dibayarkan oleh Negara pihak
pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya kepada
seseorang sehubungan dengan jasa jasa yang diberikan kepada Negara tersebut
atau bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya, hanya akan dikenakan
pajak di Negara itu. Namun demikian, balas jasa, tersebut hanya akan dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya apabila jasa-jasa tersebut
diberikan di Negara lain itu dan orang tersebut adalah penduduk Negara
itu yang :
(a) merupakan warga negara Negara itu; atau
(b) tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata karena bermaksud
untuk memberikan jasa-jasanya.
2. Pensiun yang dibayarkan oleh, atau dari dana-dana yang dibentuk
oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraan atau
pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang
diberikan kepada Negara itu atau bagian ketatanegaraan atau pemerintah
daerahnya hanya akan dikenakan pajak di Negara itu. Namun demikian, pensiun
tersebut hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
bilamana orang tersebut adalah penduduk dan warga negara Negara lain tersebut.
3. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 15, 16 dan 17 akan berlaku terhadap
balas jasa dan pensiun dari jasa-jasa yang diberikan sehubungan dengna
usaha yang dijalankan oleh Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraan
atau pemerintah daerahnya.
Pasal 19
PENSIUN DAN TUNJANGAN HARI TUA
BADAN-BADAN NON-PEMERINTAH
1. Pensiun, selain pensiun yang dimaksud dalam Pasal 18, atau tunjangan
hari tua yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang
berasal dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya hanya dikenakan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, pensiun yang dibayarkan dari suatu dana pensiun yang telah disetujui oleh Pemerintah suatu Negara pihak pada Persetujuan (atau oleh badan pemerintah yang berwenang) kepada penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan lainnya akibat dari hubungan kerja pada masa lalu, dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
3. Istilah pensiun berarti suatu pembayaran yang dilakukan secara berkala sebagai akibat dari pemberian jasa-jasa di masa lalu atau pembayaran yang diterima akibat kecelakaan yang terjadi dalam melakukan pekerjaannya.
4. Istilah tunjangan hari tua berarti suatu jumlah tertentu yang dibayarkan
secara berkala dalam waktu tertentu selama hidup atau selama suatu masa
atau jangka waktu tertentu, berdasarkan suatu kewajiban untuk melakukan
pembayaran sebagai penggantian balas jasa yang memadai dan penuh
dalam bentuk uang atau yang dapat dinilai dengan uang.
Pasal 20
SISWA DAN PESERTA LATIHAN
1. Siswa atau peserta latihan di bidang usaha yang menjadi penduduk
atau sebelum mengadakan kunjungan ke Negara pihak pada Persetujuan lainnya
adalah penduduk salah satu Negara pihak pada Persetujuan dan yang kehadirannya
di Negara lain itu semata-mata untuk maksud pendidikan atau latihannya,
akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara lain tersebut terhadap :
(a) pembayaran-pembayaran yang dilakukan kepadanya oleh orang atau
badan yang berkedudukan di luar Negara lain itu guna keperluan hidup, pendidikan
atau latihannya; dan
(b) balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan di Negara lain itu yang
tidak melebihi jumlah Rp. 2.000.000 atau Rs 20.000
selama masa 12 bulan, sepanjang pekerjaan tersebut berhubungan langsung
dengan pelajarannya atau dilakukan untuk keperluan hidupnya.
2. Manfaat dari pasal ini hanya akan diberikan untuk suatu jangka waktu
yang wajar atau menurut kebiasaan diperlukan untuk menyelesaikan pendidikan
atau latihan tersebut, tetapi setiap orang dalam keadaan apapun tidak akan
memperoleh manfaat dari pasal ini untuk masa yang melebihi 5 tahun berturut-turut
sejak tanggal kedatangannya di Negara pihak pada Persetujuan lain tersebut.
Pasal 21
DOSEN, GURU DAN PENELITI
1. Dosen atau guru yang menjadi penduduk atau pernah menjadi penduduk
salah satu Negara pihak pada Persetujuan sebelum melakukan kunjungan ke
Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk mengajar atau melakukan penelitian,
atau kedua-duanya, pada universitas, akademi, sekolah atau lembaga pendidikan
yang diakui lainnya di Negara pihak pada Persetujuan lain itu akan dibebaskan
dari pengenaan pajak di Negara lain itu atas setiap balas jasa yang diperoleh
dari mengajar atau dari penelitian untuk masa yang tidak melebihi 2 tahun
sejak tanggal kedatangannya di Negara lain tersebut.
2. Pasal ini tidak berlaku untuk penghasilan yang diperoleh dari penelitian apabila penelitian tersebut dilakukan terutama untuk kepentingan seseorang atau badan atau orang-orang atau badan-badan tertentu.
3. Untuk kepentingan pasal ini dan Pasal 20, seseorang akan dianggap sebagai penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila ia menjadi penduduk Negara pihak pada Persetujuan itu dalam tahun diperolehnya penghasilan di mana ia melakukan kunjungan ke Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau tahun sebelumnya dari tahun perolehan penghasilan.
4. Untuk kepentingan ayat 1, istilah lembaga pendidikan yang diakui
berarti suatu lembaga yang telah disyahkan oleh pejabat berwenang di Negara
pihak pada Persetujuan yang bersangkutan.
Pasal 22
PENGHASILAN LAIN-LAIN
1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 2, bagian-bagian hasilan
dari penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, dari manapun asalnya
yang tidak disebut di pasal-pasal terdahulu dalam Persetujuan ini, hanya
akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak akan berlaku atas penghasilan, selain penghasilan dari pemindahtanganan harta tak gerak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat 2, apabila penerima penghasilan adalah penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang menjalankan usahanya di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau melakukan pekerjaan bebas di Negara lain itu melalui suatu tempat tetap yang berada disana, dan hak atau harta sehubungan dengan penghasilan itu dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 17 atau Pasal 14.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, bagian-bagian penghasilan
penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan yang tidak disebut di pasal-pasal
sebelumnya dalam Persetujuan ini dan berasal dari Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, dapat juga dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
Pasal 23
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
1. Perundang-undangan yang berlaku disalah satu Negara pihak pada Persetujuan
akan tetap berlaku terhadap pengenaan pajak atas penghasilan di masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, kecuali apabila terdapat ketentuan-ketentuan
yang bertentangan yang dibuat dalam Persetujuan ini.
2. Jumlah pajak India yang terhutang berdasarkan perundang-undangan India dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, baik secara langsung maupun melalui pengurangan, oleh penduduk Indonesia sehubungan dengan keuntungan-keuntungan atau penghasilan yang berasal dari India yang dikenakan pajak di Indonesia dan di India, akan diperkenankan dikurangkan dari pajak Indonesia yang terhutang sehubungan dengan keuntungan atau penghasilan tersebut, sepanjang pengurangan tersebut tidak melebihi pajak Indonesia (yang dihitung sebelum dilakukan pengurangan) yang sepadan dengan keuntungan atau penghasilan yang berasal dari India.
3. Istilah pajak India yang terhutang akan dianggap termasuk jumlah pajak India yang seharusnya dibayar seandainya pajak India itu tidak dibebaskan atau dikurangkan berdasarkan suatu perangsang khusus menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang Pajak Penghasilan India Tahun 1961 (No. 43 Tahun 1961), yang dilaksanakan untuk memajukan pembangunan ekonomi di India, yang berlaku secara efektif pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini, atau yang mungkin akan diberlakukan dikemudian hari sebagai perubahan dari, atau sebagai tambahan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada untuk memajukan pembangunan ekonomi di India, serta perangsang-perangsang lainnya yang disetujui dari waktu ke waktu oleh kedua Negara pihak pada Persetujuan.
4. Jumlah pajak Indonesia yang terhutang berdasarkan perundang-undangan Indonesia dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, baik secara langsung maupun melalui pengurangan, oleh penduduk India, sehubungan dengan keuntungan-keuntungan atau penghasilan yang berasal dari Indonesia, yang dikenakan pajak di India dan di Indonesia, akan diperkenankan dikurangkan dari pajak India yang terhutang sehubungan dengan keuntungan atau penghasilan tersebut, sepanjang pengurangan itu tidak melebihi pajak India (yang dihitung sebelum dilakukan pengurangan) yang sepadan dengan keuntungan atau penghasilan yang berasal dari Indonesia. Selanjutnya apabila penduduk tersebut adalah suatu perseroan yang dapat dikenakan surtax di India, maka pengurangan sebagaimana disebutkan di muka akan diperbolehkan pada kesempatan pertama terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang oleh perseroan itu di India, dan atas sisanya, apabila masih ada, terhadap surtax yang terhutang atas perseroan itu di India.
5. Istilah pajak Indonesia yang terhutang akan dianggap termasuk jumlah
pajak Indonesia yang seharusnya dibayar seandainya pajak Indonesia itu
tidak dibebaskan atau dikurangkan berdasarkan suatu perangsang khusus menurut
Pasal 33 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 (Undang-undang Pajak Penghasilan
1984) yang dimaksudkan untuk memajukan pembangunan ekonomi di Indonesia,
yang berlaku secara efektif pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan
ini, atau yang mungkin akan diberlakukan dikemudian hari sebagai perubahan
dari, atau sebagai tambahan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ada
untuk memajukan pembangunan ekonomi di Indonesia, serta perangsang-perangsang
lainnya yang disetujui dari waktu ke waktu oleh kedua Negara pihak pada
Persetujuan.
Pasal 24
NON DISKRIMINASI
1. Warganegara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan itu di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya, yang berlainan atau lebih memberatkan dari pada
pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan itu, yang
dapat dikenakan terhadap warganegara dari Negara lainnya dalam keadaan
yang sama.
2. Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan di Negara lain tersebut, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan di Negara lainnya yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama.
3. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak akan ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk memberikan kepada orang dan badan yang bukan penduduk Negara itu suatu potongan pribadi, keringanan-keringanan, pengurangan, maupun pemotongan apapun untuk kepentingan pengenaan pajak yang berdasarkan perundang-undangan hanya diberikan kepada orang dan badan yang menjadi penduduk Negara itu.
4. Perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki atau dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satu atau lebih penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berhubungan dengan itu di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama, yang berlainan atau lebih memberatkan dari pada pengenaan pajak ataupun kewajiban kewajiban yang berkaitan dengan itu, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak terhadap perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama dalam keadaan yang sama.
5. Dalam pasal ini, istilah pajak berarti pajak-pajak yang dicakup dalam
Persetujuan ini.
Pasal 25
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA
1. Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau
akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan
ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan
nasional dari masing-masing Negara, ia dapat mengajukan masalahnya kepada
pejabat yang berwenang di Negara pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi
penduduk Negara itu. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu tiga tahun
sejak tanggal diterimanya pemberitahuan mengenai tindakan yang menimbulkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.
2. Pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang diajukan itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan suatu penyelesaian yang tepat, akan menyelesaikan masalahnya itu melalui persetujuan bersama dengan Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dengan maksud untuk menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap persetujuan yang telah disepakati akan diterapkan, terlepas dari batas waktu yang ada dalam perundang-undangan nasional di kedua Negara pihak pada Persetujuan.
3. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keraguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan persetujuan ini melalui suatu persetujuan bersama. Mereka dapat juga berkonsultasi satu sama lain untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal-hal yang tidak diatur dalam Persetujuan ini.
4. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat-ayat sebelumnya. Apabila dianggap perlu untuk mencapai
persetujuan itu dapat dilakukan suatu pertukaran pendapat secara lisan
dan pertukaran pendapat tersebut dapat melalui suatu Panitia yang terdiri
dari wakil-wakil pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 26
PERTUKARAN INFORMASI
1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan melakukan tukar menukar informasi (termasuk dokumen-dokumen), yang
diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini
atau undang-undang nasional di Negara-negara pihak pada Persetujuan sehubungan
dengan pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan
pajak tersebut tidak bertentangan dengan Persetujuan ini, khususnya untuk
mencegah terjadinya penggelapan atau pengelakan pajak-pajak tersebut. Setiap
informasi yang diterima oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dijaga
kerahasiaannya seperti halnya informasi yang diperoleh berdasarkan perundang-undangan
nasional Negara tersebut. Namun demikian, apabila informasi tersebut yang
semula diperlakukan secara rahasia di Negara asalnya, informasi tersebut
hanya akan diungkapkan pada orang atau badan atau para pejabat (termasuk
pengadilan dan badan-badan administratif) yang terlibat di dalam penetapan
atau pemungutan, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan sehubungan dengan,
atau penentuan keputusan mengenai banding berkaitan dengan, pajak-pajak
yang dicakup dalam Persetujuan. Orang atau badan atau para pejabat tersebut
akan mempergunakan informasi itu hanya untuk maksud tersebut diatas, tetapi
dapat pula mengungkapkannya di dalam peradilan umum atau dalam keputusan-keputusan
hukum. Para pejabat yang berwenang dengan melakukan konsultasi, akan mengatur
persyaratan-persyaratan yang layak, metode metode dan tehnik-tehnik yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan sehubungan dengan pertukaran informasi
tersebut, termasuk apabila diperlukan, pertukaran informasi sehubungan
dengan penghindaran pajak.
2. Pertukaran informasi atau dokumen-dokumen akan dilakukan baik secara rutin maupun atas dasar permintaan yang berkenaan dengan masalah-masalah khusus atau kedua-duanya. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menyetujui dari waktu ke waktu mengenai daftar informasi atau dokumen yang akan diberikan secara rutin.
3. Ketentuan-ketentuan ayat 1 sama sekali tidak akan ditafsirkan untuk
mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan :
(a) untuk melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan
dengan perundang-undangan atau praktek administrasi di Negara tersebut
atau di Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(b) untuk memberikan informasi atau dokumen-dokumen yang tidak dapat
diperoleh berdasarkan perundang-undangan atau dalam pelaksanan administrasi
yang lazim di Negara tersebut atau di Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(c) untuk memberikan informasi atau dokumen-dokumen yang akan mengungkapkan
setiap rahasia di bidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau
keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi yang mengungkapkannya
akan bertentangan dengan kebijaksanaan umum.
Pasal 27
KEGIATAN-KEGIATAN DIPLOMATIK DAN KONSULER
Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang
fiskal dari para pejabat diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan-peraturan
umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu
persetujuan khusus.
Pasal 28
BERLAKUNYA PERSETUJUAN
Masing-masing Negara pihak pada Persetujuan akan memberitahukan kepada
Negara lainnya mengenai penyelesaian tata cara yang diperlakukan berdasarkan
perundang-undangan untuk memberlakukan Persetujuan ini. Persetujuan ini
akan mulai berlaku pada tanggal di mana pemberitahuan yang kemudian dilakukan
oleh salah satu Negara dan Persetujuan ini akan mengikat :
(a) di Indonesia, sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh di suatu
tahun mulai pada atau setelah hari pertama bulan Januari tahun takwim berikutnya
dimana pemberitahuan yang kemudian dilakukan;
(b) di India, sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh di tahun
sebelumnya, mulai pada atau setelah hari pertama bulan Januari tahun takwim
berikutnya dimana pemberitahuan yang kemudian dilakukan.
Pasal 29
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN
Persetujuan ini akan tetap berlaku tanpa batas waktu, tetapi kedua
Negara pihak pada Persetujuan dapat menyampaikan pemberitahuan penghentian
Persetujuan secara tertulis kepada Negara pihak pada Persetujuan lainnya
melalui saluran diplomatik pada atau sebelum tanggal 30 Juni tahun takwim
yang dimulai setelah lewat masa 5 tahun sejak berlakunya Persetujuan dan
dalam hal demikian Persetujuan ini akan tidak berlaku lagi :
(a) di Indonesia, sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh di suatu
tahun mulai pada atau setelah hari pertama bulan Januari tahun takwim berikutnya
setelah pemberitahuan berakhirnya Persetujuan diberikan;
(b) di India, sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh di tahun
sebelumnya, mulai pada atau setelah tanggal 1 April tahun takwim berikutnya
setelah pemberitahuan diberikan.
SEBAGAI BUKTI para penandatanganan di bawah ini, yang telah diberi
kuasa yang sah, telah menandatangani Persetujuan ini.
DIBUAT dalam rangkap dua di , tanggal 19 ,
dalam bahasa Indonesia, bahasa Hindi dan Bahasa Inggeris, ketiga naskah
tersebut merupakan naskah asli.
Dalam hal terjadi perbedaan dalam penafsiran, maka yang berlaku adalah
naskah bahasa Inggeris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Republik India
PROTOKOL
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India telah mengadakan
Persetujuan untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak yang berhubungan dengan pajak-pajak atas penghasilan, telah sepakat
pada saat penandatanganan Persertujuan tersebut atas ketentuan-ketentuan
berikut ini yang akan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Persetujuan :
1. Untuk penerapan Pasal 7 jika perseroan yang merupakan penduduk suatu
Negara pihak pada Persetujuan mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya, maka laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha
tetap tersebut dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lain itu berdasarkan
perundang-undangan, tetapi pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10%
dari jumlah laba setelah dikurangi dengan pajak penghasilan dan pajak lainnya
yang dikenakan atas penghasilan tersebut di Negara pihak pada Persetujuan
lain tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak akan mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam suatu kontrak bagi hasil kontrak-kontrak karya (atau kontrak-kontrak lainnya yang serupa) mengenai penambangan di sektor-sektor minyak dan gas atau tambang lainnya yang telah disepakati dan ditandatangani dengan Pemerintah Indonesia, badan-badan Pemerintah, Perusahaan minyak dan gas milik Negara, atau badan-badan lainnya sebelum tanggal 1 Januari 1984, dengan orang atau badan penduduk India.
3. Ketentuan-ketentuan Pasal 11 ayat 2 akan berlaku pula terhadap bunga yang diperoleh cabang dari perusahaan dengan cara berkedudukan di salah satu Negara pihak pada Persetujuan yang berada di Negara Ketiga.
4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 24, ketentuan-ketentuan
dalam Persetujuan ini tidak akan ditafsirkan dengan cara apapun untuk membatasi
suatu pengecualian, pembebasan, pemotongan, pengkreditan, atau perangsang
lainnya yang saat ini ataupun selanjutnya diberikan :
(a) berdasarkan perundang-undangan di salah satu Negara pihak pada
Persetujuan dalam menentukan besarnya pajak yang dikenakan oleh Negara
pihak pada Persetujuan itu, atau
(b) pengaturan khusus lainnya di bidang pajak yang berkaitan dengan
kerjasama di bidang ekonomi dan tehnik antara kedua Negara pihak pada Persetujuan.
SEBAGAI BUKTI para penandatanganan di bawah ini, yang telah diberi
kuasa yang sah, telah menandatangani Protokol ini.
DIBUAT dalam rangkap dua di , tanggal 198
dalam bahasa Indonesia, bahasa Hindi dan bahasa Inggeris, ketiga naskah
tersebut merupakan naskah asli.
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku adalah naskah
bahasa Inggeris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Republik India