PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN
UNTUK PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA MENGENAI
PAJAK ATAS PENGHASILAN DAN KEKAYAAN
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman
BERHASRAT untuk mengadakan suatu Persetujuan baru mengenai Penghindaran
Pajak Berganda yang berhubungan dengan pajak-pajak atas Penghasilan
dan Kekayaan dengan maksud untuk meningkatkan penanaman dan perdagangan
negara timbal balik.
Telah menyetujui sebagai berikut :
Pasal 1
ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP
DALAM PERSETUJUAN INI
Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang merupakan penduduk
dalam negeri salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan
Pasal 2
(1) Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan
dan kekayaan yang dikenakan atas nama masing-masing Negara pihak pada Persetujuan,
oleh Lander atau oleh bagian ketatanegaraan ataupun pemerintah daerahnya,
tanpa memperhatikan cara pemungutan pajak pajak tersebut.
(2) Sebagai pajak-pajak atas penghasilan dan kekayaan dianggap semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan, atas seluruh kekayaan, atau atas unsur-unsur penghasilan atau kekayaan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindah tanganan harta gerak atau harta tidak bergerak, pajak atas pembayaran gaji, dan pajak-pajak atas bertambahnya nilai kekayaan.
(3) Pajak-pajak yang berlaku menurut persetujuan ini, pada khususnya
adalah :
(a) di Republik Federal Jerman :
• pajak penghasilan,
• pajak perseroan,
• pajak modal dan
• pajak perdagangan
(selanjutnya disebut pajak Jerman)
(b) di Republik Indonesia
pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983)dan sejauh dinyatakan
dalam undang-undang pajak penghasilan tersebut, pajak perseorangan yang
dikenakan berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara No.
319 Tahun 1925 terakhir diperbaharui dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1970)
dan pajak yang dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen
dan Royalti 1970 (Undang-undang No. 10 Tahun 1970)
(selanjutnya disebut Pajak Indonesia)
(4) Persetujuan ini berlaku pula bagi setiap pajak yang serupa atau
pada hakekatnya sejenis yang dikenakan setelah tanggal penandatangan Persetujuan
ini sebagai tambahan terhadap ataupun sebagai pengganti dari pajak-pajak
yang dimaksud dalam ayat 3. Pejabat-pejabat yang berwenang Negara pihak
pada Persetujuan akan memberitahukan satu sama lain setiap perubahan penting
yang terjadi dalam perundang-undangan pajak masing-masing.
Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN
(1) Kecuali jika hubungan kalimat harus diartikan lain, maka yang dimaksud
dalam Persetujuan ini dengan :
(a) istilah Republik Federal Jerman jika digunakan dalam pengertian
geografis, berarti wilayah dimana undang-undang pajak dari Republik Federal
Jerman berlaku, seperti wilayah laut, termasuk dasar laut dan lapisan tanah
sebelah bawah, dimana Republik Federal Jerman mempunyai hak kedaulatan
dan hak hukum sesuai dengan hukum internasional dan dimana perundang-undangan
pajak berlaku;
(b) istilah Indonesia meliputi wilayah Republik Indonesia seperti dirumuskan
di dalam undang-undangnya dan bagian-bagian dengan landas kontinen dan
lautan sekitarnya yang berbatasan, dimana Republik Indonesia mempunyai
kedaulatan, hak-hak kedaulatan atau hak-hak lainnya sesuai dengan hukum
internasional;
(c) istilah-istilah Negara pihak pada Persetujuan dan Negara pihak
pada Persetujuan Lainnya berarti Republik Indonesia dan Republik Federal
Jerman sesuai dengan hubungan kalimatnya;
(d) istilah orang dan badan adalah orang pribadi dan perseroan;
(e) istilah perseroan adalah setiap badan hukum atau setiap kesatuan
hukum yang untuk tujuan pemungutan pajak diperlukan sebagai suatu
badan hukum;
(f) istilah perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya berarti berturut-turut
suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dalam negeri dari suatu
Negara pihak pada Persetujuan dan dari suatu perusahaan yang dijalankan
oleh penduduk dalam negeri Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(g) istilah warganegara adalah :
(i) mengenai Republik Federal Jerman setiap orang Jerman sesuai dengan
Pasal 116, ayat (1), dari Undang-undang Dasar Republik Federal Jerman dan
badan-badan hukum, usaha bersama dan persekutuan yang memperoleh statusnya
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Republik Federal Jerman;
(ii) mengenai Republik Indonesia setiap orang Indonesia dan badan-badan
hukum, usaha bersama dan persekutuan yang memperoleh statusnya berdasarkan
perundang undangan yang berlaku di Republik Indonesia;
(h) istilah lalu lintas internasional adalah setiap pengangkutan oleh
kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan oleh suatu perusahaan Negara
pihak pada Persetujuan, kecuali apabila kapal laut atau pesawat udara itu
dioperasikan antara tempat-tempat yang berada di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya;
(i) istilah pejabat yang berwenang dalam hal Republik Federal Jerman
adalah Menteri Keuangan, dan dalam hal Republik Indonesia adalah Menteri
Keuangan atau wakilnya yang sah.
(2) Untuk penerapan Persetujuan ini oleh salah satu Negara pihak pada
Persetujuan, setiap istilah yang tidak dirumuskan, kecuali jika dari hubungan
kalimatnya harus diartikan lain, akan mempunyai arti menurut undang-undang
Negara pihak pada Persetujuan itu sepanjang mengenai pajak-pajak yang ditentukan
dalam Persetujuan ini.
Pasal 4
PENDUDUK DALAM NEGERI
(1) Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah Penduduk Dalam Negeri
suatu Negara pihak pada Persetujuan adalah setiap orang dan badan yang
berdasarkan undang-undang Negara tersebut dapat dikenakan pajak berdasarkan
domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan manajemen ataupun kriteria
lain yang sifatnya serupa. Namun istilah ini tidak mencakup orang dan badan
yang dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan itu, hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber-sumber yang berada ataupun dari
kekayaan yang terletak di Negara tersebut.
(2) Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 orang pribadi menjadi
Penduduk dalam negeri di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya
akan ditentukan sebagai berikut :
(a) akan dianggap sebagai Penduduk dalam negeri suatu Negara dimana
ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya;
apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya
di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai Penduduk dalam negeri dari Negara
dimana ia mempunyai hubungan pribadi dan hubungan ekonomi yang lebih erat
(pusat kepentingan-kepentingan pokok);
(b) jika Negara dimana ia mempunyai pusat kepentingan-kepentingan pokoknya
tidak dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap
yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada Persetujuan, ia akan dianggap
sebagai penduduk dalam negeri dari Negara dimana iaa menurut kebiasaannya
berdiam.
(c) jika ia tidak mempunyai tempat dimana ia biasanya berdiam ke kedua
Negara, pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan
menentukannya berdasarkan persetujuan bersama.
(3) Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 suatu perseroan adalah
penduduk dari kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka ia akan dianggap
sebagai penduduk dari Negara dimana tempat pimpinan yang sebenarnya berada.
Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP
(1) Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap mempunyai
arti suatu tempat kedudukan tetap dimana seluruh atau sebagian usaha perusahaan
dijalankan.
(2) Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi
(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel, dan
(f) suatu pertambangan, suatu ladang minyak atau gas, suatu tempat
penggalian atau tempat penambangan sumber alam lainnya.
(3) Suatu lokasi bangunan atau proyek-proyek kontruksi atau instalasi
dianggap sebagai suatu bentuk usaha tetap hanya apabila berlangsung untuk
masa lebih dari enam bulan.
(4) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan terdahulu dari Pasal ini, maka
tidak dianggap sebagai bentuk usaha tetap adalah :
(a) penggunaan fasilitas semata-mata untuk maksud menyimpan atau memamerkan
barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
(b) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
(c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan
lainnya;
(d) pengurusan suatu tempat semata-mata untuk maksud membeli barang-barang
atau barang dagangan, ataupun untuk mengumpulkan keterangan untuk kepentingan
perusahaan;
(e) pengurusan suatu tempat tetap semata-mata untuk tujuan periklanan,
untuk memberikan keterangan, untuk melakukan riset, ilmiah, ataupun untuk
kegiatan-kegiatan yang serupa yang bersifat persiapan atau penunjang bagi
kepentingan perusahaan;
(f) pengurusan suatu tempat tetap semata-mata untuk tujuan adanya kombinasi
dari kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam sub ayat (a) sampai (e), termasuk
semua aktivitas dari suatu tempat tetap sebagai hasil dari adanya kombinasi
ini adalah persiapan atau karakter penunjang.
(5) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2, jika orang
atau badan - selain dari agen yang berdiri sendiri di mana berlaku ayat
7 - bertindak di Negara pihak pada Persetujuan atas nama perusahaan dari
Negara pihak pada Persetujuan lainnya, maka perusahaan tersebut akan dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut
pertama berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh orang atau
badan tersebut untuk kepentingan perusahaan, jika orang atau badan itu
:
(a) memiliki kuasa dan biasa melaksanakannya untuk menutup kontrak
di Negara tersebut atas nama perusahaan, kecuali jika kegiatan orang atau
badan itu dibatasi pada hal-hal yang diatur dalam ayat 4, yang meskipun
dilakukan melalui suatu tempat tetap tidak akan menjadikan tempat tetap
itu suatu bentuk usaha tetap berdasarkan ketentuan dalam ayat tersebut;
atau
(b) tidak memiliki kuasa semacam itu, tetapi mempunyai kebiasaan untuk
mengurus persediaan barang-barang atau barang dagangan di Negara yang disebut
pertama dan secara teratur menyerahkan barang-barang atau barang dagangan
itu atas nama perusahaan tersebut.
(6) Suatu perusahaan asuransi dari Negara pihak pada Persetujuan, kecuali
dalam hal reasuransi, akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut memungut premi
di wilayah Negara lainnya itu atau menanggung risiko yang terjadi di Negara
tersebut melalui seorang pegawai ataupun melalui wakilnya yang bukan merupakan
agen yang berdiri sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat 7.
(7) Suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya hanya karena perusahaan itu menjalankan usahanya di Negara lainnya yaitu melalui makelar, komisioner umum ataupun agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka kegiatan usahanya. Namun demikian, apabila kegiatan-kegiatan mereka itu seluruhnya atau hampir seluruhnya dilakukan atas nama perusahaan tersebut, maka mereka tidak akan dianggap sebagai agen berdiri sendiri dalam pengertian ayat ini.
(8) Jika suatu Perseroan yang merupakan penduduk dalam negeri suatu
Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasaaai oleh suatu perseroan
yang merupakan penduduk dalam negeri Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
atau yang menjalankan usaha di Negara lainnya itu (baik melalui suatu bentuk
usaha tetap ataupun dengan cara lainnya), maka hal itu tidak akan dengan
sendirinya menyebabkan bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk
usaha tetap dari perseroan lainnya.
Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TIDAK BERGERAK
(1) Penghasilan yang diperoleh penduduk dalam negeri suatu Negara pihak
pada Persetujuan dari harta tidak bergerak (termasuk penghasilan dari lahan
pertanian atau kehutanan) yang berada di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tersebut.
(2) Istilah harta tidak bergerak mempunyai arti menurut undang-undang
Negara pihak pada Persetujuan di mana harta yang bersangkutan berada.
Namun demikian istilah itu meliputi pula benda-benda yang meyertai
harta tidak bergerak, ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha
pertanian dan kehutanan, hak-hak dimana ketentuan-ketentuan hukum perdata
mengenai tanah berlaku, hak pakai hasil atas harta tidak bergerak serta
hak atas pembayaran-pembayaran tetap namun tidak tetap sebagai balas jasa
untuk pekerjaan atau hak untuk mengerjakan, bahan-bahan tambang, sumber
alam lainnya; kapal laut, perahu dan pesawat udara tidak dianggap sebagai
harta tidak bergerak.
(3) Ketentuan-ketentuan ayat 1 berlaku pula terhadap penghasilan yang
diperoleh dari penggunaan secara langsung, penyewaan, atau penggunaan harta
tidak bergerak dalam bentuk apapun.
(4) Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 3 berlaku pula terhadap penghasilan
dari harta tidak bergerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari
harta tidak bergerak yang dipergunakan untuk menjalankan pekerjaan bebas.
Pasal 7
LABA USAHA
(1) Laba suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada
Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali jika perusahaan
itu menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui
suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti
tersebut diatas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara
lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang dianggap berasal dari bentuk
usaha tetap.
(2) Tunduk pada ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing negara ialah laba yang dapat diharapkan diperoleh, seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dari berdiri sendiri yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa dan yang mengadakan hubungan bebas sepenuhnya dari perusahaan yang mempunyai bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu, termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain.
(4) Dalam hal tidak adanya pembukuan atau tersedianya data-data yang dapat dipakai untuk menentukan laba yang dari bentuk usaha tetap, pajak itu akan ditentukan oleh Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap itu berada sesuai dengan undang-undang dari Negara itu, dengan mempertimbangkan besarnya laba yang biasa diperoleh perusahaan yang sama, asalkan dengan dasar informasi yang ada, penentuan besarnya laba dari bentuk usaha tetap tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Pasal ini.
(5) Tidak akan dianggap sebagai laba dari suatu bentuk usaha tetap karena bentuk usaha tetap tersebut semata-mata melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan untuk perusahaan.
(6) Untuk penerapan ayat-ayat terdahulu, besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun kecuali tidak terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk mengadakan penyimpangan.
(7) Jika di dalam jumlah laba terdapat penghasilan-penghasilan lain
yang diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini,
maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan
Pasal ini.
Pasal 8
PENGANGKUTAN LAUT DAN UDARA
(1) Laba yang berasal dari pengoperasian kapal laut atau pesawat-pesawat
udara dalam lalu lintas internasional yang diterima oleh penduduk dari
Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
(2) Ketentuan-ketentuan ayat 1 akan berlaku pula bagi laba yang diperoleh
dari keikutsertaannya dalam gabungan perusahaan, usaha kerjasama dalam
perwakilan usaha internasional.
Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG
MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
Apabila :
(a) suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan baik secara
langsung maupun tidak langsung turut serta dalam kepemimpinan, pengawasan
atau modal suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
atau
(b) orang atau badan yang sama baik secara langsung ataupun tidak langsung
turut serta dalam kepemimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan
dari Negara pihak pada Persetujuan dan dalam suatu perusahaan dari Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, atau dan dalam kedua hal itu, syarat-syarat
yang dibuat atau diterapkan dalam hubungan dagang atau keuangan antara
kedua perusahaan tersebut berbeda dengan syarat-syarat yang dibuat antara
perusahaan-perusahaan yang berdiri sendiri, maka laba yang seharusnya diperoleh
oleh salah satu perusahaan itu, namun tidak diperolehnya karena ada syarat-syarat
yang berbeda, maka laba tersebut dapat ditambahkan ke dalam laba dari perusahaan
tersebut dan dikenakan pajak.
Pasal 10
DIVIDEN
(1) Dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di suatu
Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya, tetapi pajak yang dikenakan
tidak lebih dari :
(a) 10% dari jumlah kotor dari dividen jika penerimanya adalah perseroan
(tidak termasuk persekutuan) yang memiliki secara langsung sekurang-kurangnya
25% dari modal perseroan yang membayarkan dividen itu;
(b) dalam hal lainnya, 15% dari jumlah kotor dividen; jika penerimanya
adalah pemilik yang berhak atas dividen tersebut.
(2) Istilah dividen yang dipergunakan dalam Pasal ini berarti :
(a) Dividen-dividen yang berasal dari saham-saham termasuk penghasilan
dari saham-saham, saham-saham jouissance atau hak jouissance, saham-saham
pertambangan, saham saham pemilikan atau hak-hak lain, yang bukan merupakan
surat tagihan piutang, namun berhak atas pembagian laba, dan
(b) penghasilan lain yang untuk kepentingan pajak, diperlukan sama
dengan penghasilan dari saham-saham berdasarkan undang-undang Negara dimana
perusahaan yang membagikan dividen berkedudukan dan, untuk kepentingan
perpajakan di Republik Federal Jerman, penghasilan yang diterima oleh persero
diam (stiller Gesellschafter) dari pernyataannya sebagai persero dan pembagian
sertifikat-sertifikat dalam suatu investment atau investment trust.
(3) Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima
dividen yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan
usaha melalui suatu bentuk usaha tetap atau melakukan pekerjaan bebas melalui
suatu tempat tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya dimana perseroan
yang membayarkan dividen berkedudukan, dan pemilikan saham yang menghasilkan
dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau
tempat tetap tersebut. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya,
berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.
(4) Apabila suatu badan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, maka Negara lainnya itu tidak boleh mengenakan pajak apapun atas dividen yang dibayarkan oleh badan tersebut, kecuali apabila dividen itu dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya atau apabila penguasaan saham yang menghasilkan dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang berada di Negara lainnya itu, demikian pula tidak boleh mengenakan pajak atau laba badan yang tidak dibagikan, bahkan jika dividen tersebut dibayarkan atas laba yang tidak dibagi tersebut yang berasal dari Negara lainnya itu.
(5) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini,
apabila suatu badan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
maka laba bentuk usaha tetap ini dapat dikenakan pajak tambahan di Negara
lainnya itu, tetapi tarip pajak tambahan yang dikenakan tersebut tidak
akan melebihi 10% dari jumlah laba setelah dikurangkan pajak penghasilan
dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain
tersebut.
Pasal 11
BUNGA
(1) Bunga yang timbul di suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan
kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak
di Negara lainnya itu dimana bunga itu timbul dan sesuai dengan undang-undang
Negara itu, tetapi pajak yang dikenakan tidak boleh lebih dari 10% dari
jumlah kotor dari bunga itu jika penduduk itu adalah pemilik dari bunga
itu.
(2) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1
(a) bunga yang timbul di Republik Federal Jerman dan dibayarkan kepada
Pemerintah atau Bank Sentral Indonesia akan dibebaskan dari Pajak Jerman;
(b) bunga yang timbul dari Republik Indonesia dan dibayarkan dalam
kaitannya sebagai pinjaman dengan jaminan dari Hermes-Deckung atau dibayarkan
kepada Pemerintah Republik Federal Jerman, the Deutsche Bundesbank, the
Kredit-anstalt fuer Wiederaufbau atau the Deuthsche Finanzierungsgesellschaft
fuer Beteiligungen in Entwicklungslaendern akan dibebaskan dari pajak Indonesia
(3) Pihak yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan menyetujui
dari waktu ke waktu pemberian pengecualian sebagai disebut pada ayat 2
kepada badan-badan keuangan lain, yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah
atau Negara pihak pada Persetujuan lainnya.
(4) Istilah bunga sebagaimana disebut dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis tagihan atau piutang, baik yang dijamin dengan hipotik atau tidak, baik yang mempunyai hak atas pembagian laba atau tidak dan pada khususnya, penghasilan dari surat-surat berharga pemerintah dan penghasilan dari obligasi atau surat-surat piutang termasuk premi dan hadiah yang terikat pada obligasi dan surat-surat piutang tersebut, demikian pula penghasilan yang oleh undang-undang pajak dari Negara dimana penghasilan itu timbul dipersamakan dengan penghasilan dari peminjaman uang, termasuk bunga atas penjualan yang pembayarannya dilakukan kemudian.
(5) Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima bunga, yang menjadi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau menjalankan pekerjaan bebas dari suatu tempat tetap yang berada disana, dan tagihan piutang yang menghasilkan bunga itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 atau Pasal 14.
(6) Bunga dianggap timbul di suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila yang membayarkan bunga adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraan, pemerintah daerah atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang dan badan yang membayarkan bunga, apakah ia penduduk Negara pihak pada Persetujuan ataupun tidak, memiliki suatu bentuk usaha tetap atau tempat tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya dalam hubungan mana piutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu telah dibuat, dan bunga yang dibayarkan itu menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka bunga itu dianggap timbul di Negara dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
(7) Apabila karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar dan
penerima atau antara kedua-duanya dengan orang dan badan lainnya, jumlah
bunga yang dibayarkan dengan memperhatikan tagihan atas piutang yang menjadi
dasar pembayaran bunga itu, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati
oleh pembayar dan penerima seandainya tidak ada hubungan istimewa semacam
itu, maka bunga menurut ketentuan dalam Pasal ini hanya berlaku bagi jumlah
yang disebut terakhir.
Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran itu akan tetap
dikenakan pajak berdasarkan perundang-undangan di masing-masing Negara
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.
Pasal 12
ROYALTI DAN IMBALAN JASA TEKNIK
(1) Royalti dan imbalan jasa teknik di suatu Negara pihak pada Persetujuan
dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dapat
dikenakan pajak di Negara dimana royalti itu timbul sesuai dengan undang-undang
Negara itu, tetapi jika penerimanya adalah pemilik dari royalti atau imbalan
untuk jasa teknik maka pajaknya tidak akan melebihi :
(a) dalam hal royalti seperti disebut pada ayat 2 sub-ayat a adalah
15% dari pengenaan kotor dari royalti.
(b) dalam hal royalti seperti yang disebut pada ayat 2 sub-nya b adalah
10% dari pengenaan kotor dari royalti dan
(c) dalam hal imbalan untuk jasa teknik adalah 7,5% dari jumlah kotor
imbalan tersebut.
(2) Istilah royalti dalam Pasal ini berarti semua bentuk pembayaran
yang diterima sebagai imbalan :
(a) atas penggunaan, atau hak untuk menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan,
kesenian atau karya ilmiah termasuk film, sinematografi, paten, merek dagang,
pola atau model, perencanaan, resep, atau cara pengolahan yang dirahasiakan,
atau
(b) penggunaan ataupun hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan
industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk informasi mengenai
pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
(3) Istilah imbalan untuk jasa teknik seperti yang digunakan dalam
Pasal ini berarti pembayaran sesuatu kepada orang, yang lain dari pembayaran
kepada karyawan oleh orang yang melakukan pembayaran tadi, sebagai imbalan
untuk setiap jasa manajemen, teknis dan nasihat yang diberikan kepada Negara
pihak pada Persetujuan dimana pembayarannya adalah penduduk.
(4) Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2 berlaku apabila penerima royalti
yang berhak menerimanya, yang menjadi penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau menjalankan
pekerjaan bebas dari suatu tempat tetap yang berada disana, dan hak atau
milik yang menghasilkan royalti itu mempunyai hubungan yang efektif dengan
bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu.
Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan
Pasal 7 atau Pasal 14.
(5) Royalti dan imbalan untuk jasa teknik dianggap berasal dari suatu
Negara pihak pada Persetujuan jika pembayar royalti adalah Negara itu sendiri,
bagian ketatanegaraan, pemerintah daerahnya atau penduduk dalam negeri
Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayarkan
royalti atau jasa teknik baik ia adalah penduduk Negara itu atau bukan,
mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat tetap di Negara pihak pada Persetujuan
dimana kewajiban membayar royalti itu timbul, dan royalti tersebut dibebankan
kepada bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu, maka royalti tersebut
dianggap timbul di Negara dimana bentuk usaha tetap itu berada.
(6) Apabila karena adanya hubungan istimewa antar pembayaran dan penerima
royalti atau antar keduanya dengan pihak ketiga lainnya pembayaran royalti
itu, jumlahnya melebihi jumlah yang seharusnya akan disepakati oleh pembayar
dan penerima seandainya hubungan istimewa itu tidak ada, maka ketentuan-ketentuan
dalam Pasal ini hanya berlaku bagi jumlah royalti yang disebut terakhir.
Dalam hal demikian jumlah kelebihan pembayaran, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
lainnya dalam persetujuan ini, akan tetap dikenakan pajak menurut undang-undang
di masing-masing Negara.
Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHTANGANAN HARTA
(1) Keuntungan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dari pemindahtangan harta tidak bergerak, seperti disebutkan
dalam Pasal 6, dan terletak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
(2) Keuntungan dari pemindahtanganan harta bergerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau dari harta bergerak suatu tempat tetap yang tersedia bagi penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha tetap (tersendiri atau dengan seluruh perusahaan) atau tempat tetap, dapat dikenakan di Negara lain tersebut.
(3) Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtangan pesawat udara yang beroperasi di dalam jalur lalu-lintas internasional atau dari harta gerak yang berkenaan dengan pengoperasian pesawat udara semacam itu hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
(4) Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan setiap harta selain
dari yang telah disebutkan pada ayat-ayat yang terdahulu hanya akan dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana yang memindahtangankannya
adalah penduduk.
Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS
(1) Penghasilan yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan
sehubungan dengan pekerjaan bebas yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan
lainnya yang berupa, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali
ia mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
atau ia berada di Negara lainnya tersebut untuk suatu masa atau masa-masa
yang jumlahnya melebihi 120 hari dalam masa tahun pajak. Jika ia mempunyai
suatu tempat tetap atau berada di Negara lain itu untuk masa atau masa-masa
seperti tersebut di muka, penghasilan dapat dikenakan pajak di Negara lainnya
tetapi hanya bagian penghasilan yang dianggap berasal dari tempat tetap
tersebut atau yang diperoleh dari negara lain tersebut selama masa atau
masa-masa tersebut.
(2) Istilah pekerjaan bebas meliputi khususnya pekerjaan bebas di bidang
ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran,
demikian juga pekerjaan pekerjaan bebas oleh para dokter ahli hukum, ahli
teknik, arsitek, dokter gigi dan akuntan.
Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA
(1) Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18 dan 19, upah dan balas
jasa lain yang serupa yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukannya dalam hubungan kerja, hanya
akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika pekerjaan itu dilakukan
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya. Dalam hal demikian, maka balas
jasa yang diperoleh dari pekerjaan itu dapat dikenakan pajak di Negara
lain.
(2) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh
penduduk Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, hanya akan dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama, apabila :
(a) penerimaan balas jasa berada di Negara lain itu dalam suatu masa
atau masa-masa yang jumlahnya 183 hari dalam satu tahun takwim, dan
(b) balas jasa itu dibayarkan oleh, atau atas nama majikan yang bukan
merupakan penduduk dari Negara lainnya tersebut, dan
(c) balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat
tetap yang dimiliki oleh majikan itu di Negara lain.
(3) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Pasal ini,
balas jasa yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja
yang dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
Pasal 16
PENGHASILAN DIREKTUR
Penghasilan direktur dan pembayaran yang sejenis yang diperoleh penduduk
Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan
Komisaris.
Perusahaan yang merupakan penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
Pasal 17
SENIMAN DAN OLAHRAGAWAN
(1) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dari Pasal 7, 14 dan 15, penghasilan
yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan yaitu para penjamu
seperti para artis teater, film, radio atau televisi, dan pemain musik,
atau olahragawan, dari kegiatan-kegiatan pribadinya yang dilakukan di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya
itu.
(2) Apabila penghasilan yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pribadi para penjamu atau olahragawan dibayarkan tidak kepada penjamu atau olahragawan tersebut melainkan kepada orang atau badan lainnya, maka menyimpang dari ketentuan dalam Pasal-pasal 7, 14 dan 15 penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana dilakukan kegiatan-kegiatan dari para penjamu ataupun olahragawan tersebut.
(3) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat-ayat 1 dan 2 penghasilan
yang diterima oleh seorang artis ataupun olahragawan dari kegiatan pribadinya
akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di
mana kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka suatu kunjungan yang dibiayai
oleh Negara pihak pada Persetujuan lainnya, bagian ketatanegaraannya, pemerintahnya
ataupun lembaga-lembaga umum.
Pasal 18
PENSIUN
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 19, pensiun dan balas
jasa lainnya yang sejenis yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan
dan dibayarkan kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya
sebagai imbalan atas pekerjaan masa lampau, dapat dikenakan pajak Negara
yang disebut pertama.
Pasal 19
JABATAN PEMERINTAH
(1) Balas jasa termasuk pensiun yang dibayarkan oleh Negara pihak pada
Persetujuan, Negara Bagian, bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya
kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan negara, sebidang
Tanah, bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya hanya akan dikenakan
pajak di Negara itu. Namun demikian, balas jasa tersebut hanya akan dikenakan
pajak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya apabila jasa jasa tersebut
diberikan di Negara lain itu, dan orang tersebut adalah penduduk dari Negara
pihak pada Persetujuan lain tersebut serta bukan penduduk dari Negara yang
disebut pertama.
(2) Ketentuan-ketentuan dari Pasal 15, 16, 17 dan 18 akan berlaku terhadap balas jasa dan pensiun dari jasa-jasa yang diberikan sehubungan dengan kegiatan usaha yang dijalankan oleh Negara pihak pada Persetujuan, Negara Bagian, bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya.
(3) Ketentuan-ketentuan dari ayat 1 akan berlaku juga dalam hubungannya
dengan pembayaran yang dibayarkan, dalam rangka bantuan pembangunan yang
diberikan oleh Negara pihak pada Persetujuan, Negara Bagian, bagian ketatanegaraan
atau pemerintah daerahnya, atas pembiayaan dari Negara tersebut, Negara
Bagian, bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya, kepada seseorang
profesional atau sukarelawan yang ditugaskan oleh Negara pihak pada Persetujuan
lainnya di Negara itu.
Pasal 20
GURU, PENELITI DAN MAHASISWA
(1) Seseorang yang berkunjung ke suatu Negara pihak pada Persetujuan
atas undangan dari Negara tadi atau dari Universitas, akademi, sekolah,
musium atau lembaga-lembaga pendidikan dari Negara atau dibawah program
dinas dari lembaga-lembaga pendidikan untuk suatu jangka waktu tidak lebih
dari dua tahun untuk tujuan pendidikan, pemberian kuliah atau melaksanakan
penelitian pada lembaga semacam itu, yang sebelum kunjungan itu, adalah
penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, akan dibebaskan dari
pengenaan pajak di Negara pertama atas setiap balas jasa yang diterimanya
dari mengajar atau dari penelitiannya, asalkan imbalan yang diterimanya
berasal dari luar Negara tersebut.
(2) Pembayaran yang diterima oleh siswa atau karya siswa yang pada saat
atau sebelumnya mengadakan kunjungan ke suatu Negara pihak pada Persetujuan
adalah penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dan kehadirannya
di Negara yang disebut pertama semata mata untuk tujuan pendidikan atau
latihannya, untuk membiayai keperluan hidupnya, pendidikan atau latihannya,
tidak akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama tersebut sepanjang
pembayaran yang diberikan kepada mereka berasal dari sumber-sumber di luar
negara tersebut.
Pasal 21
PENGHASILAN LAINNYA
(1) Jenis-jenis penghasilan lain dari seorang penduduk Negara pihak
pada Persetujuan, dari manapun asalnya, yang tidak disebut di pasal-pasal
terdahulu dalam Persetujuan ini, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak
pada Persetujuan tersebut.
(2) Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak berlaku, jika seorang penduduk
Negara pihak pada Persetujuan menerima penghasilan dari sumber-sumber dari
Negara pihak pada Persetujuan lainnya misalnya berupa lotere, hadiah dan
penghasilan dari penyewaan harta bergerak, maka penghasilan semacam itu
dapat dipajaki di Negara pihak pada Persetujuan lainnya.
Pasal 22
KEKAYAAN
(1) Kekayaan berupa harta tidak bergerak, yang dimiliki oleh penduduk
dari Negara pihak pada Persetujuan dan berada di Negara pihak pada Persetujuan
lain, dapat dikenakan pajak di Negara lain.
(2) Kekayaan berupa harta bergerak yang merupakan bagian yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan dari suatu bentuk usaha tetap dari suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan yang berada di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau harta bergerak yang merupakan bagian dari suatu tempat tetap dari penduduk Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk tujuan pelaksanaan pekerjaan bebas, dapat dikenakan pajak di Negara lain.
(3) Kapal dan pesawat udara yang dioperasikan di jalur lalu lintas internasional oleh seorang penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan dan harta bergerak yang merupakan bagian dari pengoperasian kapal-kapal atau pesawat udara, hanya dikenakan pajak di Negara tersebut.
(4) Semua bagian kekayaan milik penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan
akan dikenakan pajak di Negara itu.
Pasal 23
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
(1) Pajak dari penduduk Republik Federal Jerman akan ditentukan sebagai
berikut :
(a) Kecuali jika kredit pajak luar negeri diperkenankan berdasarkan
ayat b), maka akan dibebaskan dari pajak Jerman setiap jenis penghasilan
yang timbul dari Republik Indonesia dan setiap bagian dari kekayaan yang
terletak di Indonesia, sesuai dengan Persetujuan ini, dapat dikenakan pajak
di Republik Indonesia. Namun demikian Republik Federal Jerman, akan memperhitungkan
penghasilan dan kekayaan yang dibebaskannya dalam penentuan tarip pajaknya.
Dalam hal dividen, pembebasan hanya akan berlaku terhadap dividen
yang dibayarkan kepada perusahaan (tidak termasuk persekutuan), penduduk
Republik Federal Jerman oleh sebuah perusahaan yang penduduk dari Republik
Indonesia, yang modalnya paling sedikit 25% dimiliki secara langsung oleh
perusahaan Jerman.
Pajak kekayaan atas pemilikan saham akan dibebaskan kalau dividennya
dibebaskan atau, bilamana dibayar maka akan dibebaskan sesuai dengan kalimat
sebelumnya.
(b) Tunduk kepada ketentuan-ketentuan Pajak Jerman sehubungan dengan
kredit pajak luar negeri, maka akan diberikan kredit pajak terhadap penghasilan
di Jerman, pajak atas badan usaha dan atas kekayaan, kepada penghasilan
yang diperoleh dari Republik Indonesia dan kepada kekayaan yang ada di
Republik Indonesia, atas pajak Indonesia yang dibayar berdasarkan Undang-undang
Indonesia, dan sesuai dengan perjanjian ini, berupa :
aa) dividen di luar yang diatur oleh sub-ayat a);
bb) bunga;
cc) royalti dan balas jasa untuk jasa teknik;
dd) pembayaran-pembayaran direktur;
ee) penghasilan dari para artis dan atlet;
ff) penghasilan berdasarkan Pasal 21 ayat 2.
(c) Untuk kepentingan kredit pajak yang diatur dalam huruf bb) dari
sub-ayat b) pajak Indonesia akan dianggap sebesar 10% dari jumlah kotor
dari bunga, jika pajak Indonesia diturunkan ke tarip yang lebih rendah
sesuai dengan undang-undang domestiknya, tanpa memperhatikan jumlah pajak
yang sebenarnya dibayar.
(d) Ketentuan-ketentuan pada sub-ayat a) tidak berlaku terhadap
keuntungan-keuntungan dari, dan kekayaan berupa harta bergerak dan harta
tidak bergerak dari badan-badan usaha, suatu badan usaha tetap dan dari
keuntungan karena pemindahtanganan harta; terhadap dividen yang dibayarkan
kepada, dan pemilikan saham dari suatu perusahaan; asalkan bahwa penduduk
Republik Federal Jerman yang bersangkutan tidak membuktikan bahwa penerimaan
dari bentuk usaha tetap dari perusahaan tersebut diperoleh semata mata
atau hampir seluruhnya :
(aa) dari produksi atau penjualan barang-barang atau perdagangan, memberikan
nasihat teknis atau memberikan jasa teknik, atau melakukan usaha perbankan
atau usaha asuransi, dengan Indonesia atau
(bb) dari dividen yang dibayarkan oleh sebuah atau lebih perusahaan
yang merupakan penduduk Indonesia, yang lebih dari 25% dari modalnya dimiliki
oleh badan usaha yang disebut pertama, yang penghasilannya seluruhnya atau
hampir seluruhnya dari produksi atau penjualan barang atau perdagangan,
memberikan nasihat teknik atau memberikan jasa teknik, atau berusaha di
bidang perbankan atau asuransi dengan Indonesia.
Dalam hal demikian pajak Indonesia yang dibayar berdasarkan undang-undang
Indonesia dan sesuai dengan Persetujuan ini yang menyangkut penghasilan
dan kekayaan yang disebut diatas, tunduk kepada ketentuan pajak Jerman
sehubungan dengan kredit pajak luar negeri, dapat dikreditkan terhadap
pajak penghasilan di Jerman atau diberikan kredit pajak terhadap pajak
kekayaan.
(2) Pajak dari penduduk Republik Indonesia akan ditentukan sebagai
berikut :
(a) Republik Indonesia, dalam memungut pajak terhadap penduduknya,
dapat termasuk dalam dasar dimana pajak memasukkan penghasilan-penghasilan
yang telah dikenakan pajak di Jerman, sesuai dengan Persetujuan ini, sebagai
dasar pengenaan;
(b) Dalam hal penduduk Indonesia memperoleh penghasilan dari Republik
Federal Jerman dan penghasilan tersebut dikenakan pajak di Republik Federal
Jerman sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini, maka jumlah
pajak yang dibayar di Jerman sehubungan dengan penghasilan tersebut dapat
dikreditkan sesuai ketentuan pengenaan pajak terhadap penduduk Indonesia.
Namun demikian jumlah kredit, tidak boleh lebih dari bagian dari pajak
Indonesia yang diterapkan atas penghasilan tersebut.
Pasal 24
NON-DISKRIMINASI
(1) Warganegara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan pemungutan pajak
tersebut di Negara pihak pada Persetujuan lain atau yang lebih memberatkan
atau kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan yang dikenakan atau dapat
dikenakan terhadap warganegara dari Negara lain tersebut dalam keadaan
yang sama. Menyimpang dari ketentuan pada Pasal 1, ketentuan ini akan diterapkan
juga terhadap orang-orang yang bukan penduduk dari salah satu atau kedua
Negara pihak pada Persetujuan, asalkan mereka adalah warganegara dari satu
atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.
(2) Pengenaan pajak suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan di Negara lainnya itu jika dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan di Negara lainnya yang menjalankan kegiatan kegiatan yang sama. Ketentuan ini tidak akan diartikan sebagai mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk memberikan kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya potongan keluarga, keringanan dan pengurangan-pengurangan untuk keperluan pemajakan sebagaimana yang diberikan kepada penduduk sendiri.
(3) Kecuali dalam hal ketentuan-ketentuan dari Pasal 9, ayat 7 dari Pasal 11, dan ayat 6 dari Pasal 12, berlaku bunga, royalti, imbalan untuk jasa teknik dan imbalan lain yang dibayar oleh perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lain, dapat dikurangkan sebagai biaya dalam rangka penentuan besarnya laba kena pajak sama seperti seandainya dibayar kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama. Demikian juga dengan hutang dari suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikurangkan sebagai biaya, untuk menentukan besarnya kekayaan kena pajak dari perusahaan tersebut, seperti seandainya hutang tersebut diberikan kepada penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
(4) Perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang seluruhnya atau sebagian modalnya dimiliki atau dikuasai baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satu atau lebih penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berhubungan dengan itu yang lebih memberatkan di Negara yang disebut pertama daripada pengenaan pajak ataupun kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan itu yang telah atau dapat dikenakan terhadap perusahaan yang sejenis dari Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
(5) Dalam Pasal ini, istilah pajak berati pajak-pajak yang dicakup dalam
Persetujuan ini.
Pasal 25
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA
(1) Apabila seorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau
akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan
ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh Undang-undang
nasional dari masing-masing negara, ia dapat mengajukan masalahnya kepada
pejabat yang berwenang di Negara pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi
penduduk negara itu.
Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu dua tahun sejak tanggal
diterimanya pemberitahuan mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.
(2) Pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang diajukan
itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan suatu penyelesaian yang
tepat, menyelesaikan masalah itu melalui persetujuan bersama dengan Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, dengan maksud untuk menghindarkan pengenaan
pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap persetujuan yang
telah disepakati akan diterapkan, terlepas dari batas waktu yang ada dalam
perundang-undangan nasional di kedua Negara pihak pada Persetujuan.
(3) Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran penerapan Persetujuan ini melalui suatu persetujuan bersama. Mereka dapat juga berkonsultasi satu sama lain untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal-hal yang tidak diatur dalam Persetujuan ini.
(4) Ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini yang menyangkut pengurangan atau pembebasan terhadap pajak-pajak atas penghasilan di Negara pihak pada Persetujuan dimana penghasilan itu timbul, akan diterapkan sesuai dengan undang-undang di Negara tersebut dan prosedurnya akan disetujui bersama oleh pejabat-pejabat berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan.
(5) Pejabat-pejabat yang berwenang dari Kedua Negara pihak pada Persetujuan
dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat-ayat sebelumnya.
Pasal 26
PERTUKARAN INFORMASI
(1) Pejabat-pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan
akan mengadakan pertukaran informasi yang diperlukan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini. Setiap informasi yang diterima
oleh Negara pihak pada Persetujuan akan dijaga kerahasiaannya seperti halnya
informasi yang diperoleh berdasarkan undang-undang nasional Negara tersebut
dan akan hanya diungkapkan kepada orang atau para pejabat (termasuk pengadilan
dan badan-badan administratif dalam rangka peradilan, keputusan peradilan)
yang terlibat dalam penetapan atau penagihan, pelaksanaan atau penuntutan
atas, atau penentuan keputusan banding berkenaan dengan pajak-pajak yang
dicakup dalam Persetujuan. Orang atau para pejabat tersebut akan mempergunakan
informasi itu hanya untuk maksud tersebut diatas.
(2) Ketentuan-ketentuan ayat 1 sama sekali tidak akan ditafsirkan untuk
mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan :
(a) untuk melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan
dengan perundang-undangan atau praktek administrasi di Negara pihak pada
Persetujuan lainnya;
(b) untuk memberikan informasi atau dokumen-dokumen yang tidak dapat
diperoleh berdasarkan perundang-undangan atau dalam pelaksanaan administrasi
yang lazim di Negara tersebut atau Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(c) untuk memberikan informasi yang akan mengungkapkan rahasia di bidang
perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara
perdagangan atau informasi yang pengungkapannya akan bertentangan dengan
tata tertib umum.
Pasal 27
KEGIATAN-KEGIATAN DIPLOMATIK DAN KONSULER
.
Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang
fiskal dari para pejabat diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan-peraturan
umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu
persetujuan khusus.
Pasal 28
SAAT BERLAKUNYA PERSETUJUAN
(1) Persetujuan ini akan diratifikasi dan instrumen ratifikasinya akan
dipertukarkan di Jakarta secepat mungkin.
(2) Persetujuan ini akan diberlakukan dalam jangka waktu satu bulan
setelah tanggal dari pertukaran instrumen ratifikasinya dan akan berlaku
:
(a) dalam hal pajak yang dipungut di sumber atas dividen, bunga, royalti,
dan imbalan untuk jasa teknik dalam kaitannya dengan jumlah pembayaran
pada atau setelah hari pertama bulan Januari dalam tahun takwim saat ketentuan
Persetujuan berlaku;
(b) dalam hal pajak-pajak lainnya, untuk masa-masa pajak dimulai pada
atau setelah hari pertama bulan Januari dalam tahun takwim berikutnya saat
ketentuan Persetujuan berlaku.
(3) Dengan berlakunya Persetujuan ini maka Persetujuan antara Republik
Federal Jerman dengan Republik Indonesia mengenai penghindaran pajak berganda
atas penghasilan dan kekayaan tanggal 2 September 1977 akan berakhir dan
tidak akan berlaku sejak tanggal saat ketentuan ketentuan dari Persetujuan
ini diberlakukan.
Pasal 29
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN
Persetujuan ini akan tetap berlaku tanpa batas waktu tetap kedua Negara
pihak pada Persetujuan dapat memberitahukan secara tertulis, pada atau
sebelum hari ke tiga puluh pada bulan Juni dalam setiap tahun takwim yang
dimulai setelah lewat masa waktu lima tahun dari tanggal sejak berlakunya
Persetujuan, kepada Negara pihak pada Persetujuan lainnya, melalui saluran
diplomatik, untuk penghentian Persetujuan dan, dalam hal demikian Persetujuan
ini akan berhenti berlaku :
(a) dalam hal pajak yang dipungut di sumbernya terhadap dividen, bunga,
royalti dan imbalan untuk jasa teknik atas jumlah pembayaran, pada atau
setelah hari pertama bulan Januari dari tahun takwim setelah pemberitahuan
mengenai penghentian tersebut diberikan;
(b) dalam hal pajak-pajak lainnya, untuk masa-masa pajak yang dimulai
pada atau setelah hari pertama bulan Januari dari tahun takwim berikutnya
saat pemberitahuan penghentian tersebut diberikan.
Sebagai tanda persetujuan para penandatangan di bawah ini, yang telah
diberi kuasa yang sah untuk itu, telah menandatangani Persetujuan ini.
Dibuat di Bonn pada tanggal 30 Oktober 1990 dalam rangkap dua dalam
bahasa Indonesia, Jerman dan Inggris, ketiga naskah tersebut merupakan
naskah asli. Dalam hal terjadi perbedaan dalam penafsiran dari bahasa Indonesia
dan Jerman maka yang berlaku adalah naskah bahasa Inggris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia
Republik Federal Jerman
ttd ttd
PROTOKOL
Republik Indonesia
dengan
Republik Federal Jerman
telah sepakat bahwa pada saat penandatanganan di Bonn pada tanggal
30 Oktober 1990, Persetujuan antara kedua Negara mengenai Penghindaran
Pajak Berganda yang berhubungan dengan Pajak-Pajak atas Penghasilan dan
Kekayaan, ketentuan-ketentuan berikut ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Persetujuan tersebut.
1. Menunjuk Pasal 5 ayat 5
Seorang agen dari perusahaan Jerman yang bertindak sebagai perwakilan
dari perusahaan dagang asing di Republik Indonesia yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku berdasarkan Undang-undang Indonesia dan Peraturan-peraturannya,
tidak akan dianggap sebagai bentuk usaha tetap sepanjang aktivitasnya terbatas
kepada batasan-batasan yang ditentukan oleh Undang-undang Indonesia dan
Peraturan-peraturannya.
2. Menunjuk pada Pasal 7
(a) Dalam menentukan laba dari proyek pembangunan gedung atau konstruksi,
perakitan atau instalasinya maka yang dianggap laba dari bentuk usaha tetap
di Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap itu berada,
hanya laba yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas dari bentuk usaha
tetap tersebut. Jikalau mesin-mesin atau peralatan itu diterima dari kantor
pusat atau bentuk usaha tetap lainnya dari perusahaan tersebut atau orang
ketiga yang ada hubungannya dengan aktivitas tersebut atau dari pihak ketiga
yang tidak mempunyai hubungan sama sekali maka laba dari pembangunan gedung
atau konstruksi, assembling atau instalasi, tidak termasuk nilai penyerahan
mesin atau peralatan tersebut.
(b) Penghasilan yang diterima oleh penduduk dari Negara pihak pada
Persetujuan dari perencanaan, proyek, konstruksi atau aktivitas penelitian
dan penghasilan dari jasa teknik yang dilakukan di Negara tersebut dalam
hubungannya dengan bentuk usaha tetap yang ada di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya, tidak akan dimasukkan dalam bentuk usaha tetap itu.
(c) Sehubungan dengan ayat 1 dari Pasal 7, penghasilan yang diterima
dari penjualan barang atau barang dagangan yang sama atau sejenis seperti
yang telah dijual, atau dari aktivitas usaha lain yang sama atau sejenis
yang melalui bentuk usaha tetap itu, dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan
ke dalam laba bentuk usaha tetap itu jika hal ini dapat dibuktikan, termasuk
fotocopy atau pesawat radio kaset, bahwa
(aa) transaksi ini telah digunakan untuk menghindar pajak di Negara
pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap itu berada dan
(bb) bentuk usaha tetap itu dengan cara apapun telah terlibat dalam
transaksi tersebut.
Disepakati bahwa bentuk usaha tetap dari suatu perusahaan itu
dianggap terlibat dalam transaksi jika bentuk usaha tetap itu menanda-tangani
kontrak walaupun sebagian dari pengirimannya dilakukan oleh perusahaan
itu.
3. Menunjuk Pasal-pasal 10 dan 11
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan mengenai Pasal-pasal ini,
dividen dan bunga dapat dipajaki di Negara pihak pada Persetujuan dimana
penghasilan itu timbul, dan sesuai dengan undang-undang dari Negara tadi,
jika penghasilan tersebut.
(a) diterima dari hak-hak atas atau surat pengakuan hutang yang dikaitkan
dengan hak mendapatkan keuntungan-keuntungan (termasuk penghasilan yang
diterima dari saham-saham dan hak-hak jouissance, dari peserta diam karena
keikutsertaannya sebagai partiarischers Darlehen dan dari Gewinnobligationen
berarti dari perundang-undangan pajak dari Republik Federal Jerman) dan
(b) dengan syarat bahwa penghasilan tersebut dapat dikurangkan dalam
perhitungan dari keuntungan peminjam.
4. Menunjuk Pasal 19
Disepakati bahwa ketentuan-ketentuan ayat 1 dari Pasal 19 akan
diperlakukan juga terhadap pendapatan yang dibayar dari sumber didalam
Republik Federal Jerman kepada anggota dari Goethe Institut yang dikirim
ke Indonesia.
5. Menunjuk Pasal 23
Dalam hal suatu perusahaan merupakan penduduk Republik Federal
Jerman membagikan penghasilan yang berasal dari sumber di Indonesia, ayat
1 tidak akan menghalangi penerapan kompensasi atas pajak perseroan dari
pembagian penghasilan tersebut sesuai dengan ketentuan ketentuan dari Undang-undang
pajak Jerman.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Republik Federal Jerman
ttd ttd