PERSETUJUAN
ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SEYCHELLES
UNTUK
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK
YANG BERKENAAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Seychelles;
BERHASRAT untuk mengadakan suatu persetujuan untuk penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang berkenaan dengan pajak atas
penghasilan,
TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT :
Pasal 1
ORANG DAN BADAN YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN
Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 2
PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN
1. Persetujuan ini diterapkan terhadap pajak-pajak atas penghasilan
yang dikenakan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraannya
atau pemerintah daerahnya, tanpa melihat bagaimana cara pajak-pajak tersebut
dikenakan.
2. Yang dianggap sebagai pajak atas penghasilan adalah suatu pajak
yang dikenakan atas total penghasilan atau atas unsur-unsur penghasilan,
termasuk pajak-pajak atas keuntungan dari pengalihan harta bergerak atau
tidak bergerak serta pajak atas upah atau gaji yang dibayarkan oleh perusahaan.
3. Persetujuan ini, khususnya, diterapkan terhadap pajak-pajak yang
berlaku sekarang ini, yaitu:
(a) in the case of Seychelles: pajak usaha (the business tax) (selanjutnya
disebut "pajak Seychelles")
(b) dalam hal Indonesia: pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan
Undang-Undang pajak penghasilan Tahun 1984 (Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983) (selanjutnya disebut "pajak Indonesia");
4. Persetujuan ini berlaku pula terhadap pajak-pajak yang serupa atau
yang pada dasarnya sama yang diberlakukan setelah penandatanganan Persetujuan
ini sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak
yang sekarang ini berlaku. Para pejabat yang berwenang dari kedua
Negara pihak pada Persetujuan akan saling memberitahukan setiap perubahan
substansial yang terjadi dalam undang-undang perpajakan negara mereka.
Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya
harus diartikan lain:
(a) i) Istilah "Indonesia" berarti wilayah Republik Indonesia sebagaimana
ditegaskan dalam perundang-undangannya;
ii) Istilah "Seychelles" berarti Republik Seychelles; jika digunakan
dalam pengertian geografis, Seychelles meliputi seluruh wilayah negaranya,
termasuk semua pulau yang sesuai dengan perundang-undangan Seychelles,
merupakan Negara Seychelles dan termasuk wilayah lautan Seychelles dan
area diluar Seychelles yang sesuai dengan hukum internasional, telah atau
akan dapat diperlakukan sebagai suatu area yang termasuk dalam batas wilayah
Seychelles berdasarkan perundang-undangannya, di mana Seychelles dapat
melaksanakan hak-haknya yang berkenaan dengan laut, dasar laut dan bawah
tanah, dan sumber daya alam.
(b) Istilah "orang/badan" meliputi orang pribadi, perusahaan, dan setiap
kumpulan dari orang-orang dan/atau badan-badan;
(c) Istilah "perusahaan" berarti setiap badan hukum atau lembaga lainnya
yang untuk kepentingan perpajakan diperlakukan sebagai badan hukum;
(d) Istilah "perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti
suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan dan "perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan"
berarti suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara pihak
lainnya pada Persetujuan;
(e) Istilah "lalu lintas Internasional" berarti setiap pengangkutan
dengan kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan
dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal laut atau
pesawat udara tersebut semata-mata dioperasikan di antara tempat-tempat
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;
(f) Istilah "pejabat yang berwenang" berarti:
i) dalam hal Indonesia: Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah:
ii) dalam hal Seychelles: Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah:
(g) Istilah "warganegara" dari suatu Negara pihak pada Persetujuan berarti
:
i) setiap orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan pada suatu Negara
pihak pada Persetujuan;
ii) setiap badan hukum, persekutuan dan perkumpulan yang mendapatkan
status kewarganegaraanya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di
suatu Negara pihak pada Persetujuan;
2. Untuk kepentingan penerapan Persetujuan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan, setiap istilah yang tidak didefinisikan dalam Persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, mempunyai arti yang sesuai dengan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan yang berkenaan dengan pajak-pajak dimana Persetujuan ini berlaku.
Pasal 4
P E N D U D U K
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang/badan yang, menurut perundang-undangan
Negara tersebut, dapat dikenakan pajak di Negara tersebut berdasarkan domisilinya,
tempat kediamannya, tempat kedudukan manajemennya, atau atas dasar lainnya
yang sifatnya serupa. Namun, istilah ini tidak mencakup orang/badan yang
dapat dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.
2. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) orang pribadi
menjadi penduduk pada kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya
akan ditentukan sebagai berikut:
(a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan
dimana ia mempunyai tempat tinggal tetap; jika ia mempunyai tempat tinggal
tetap di kedua Negara pihak pada Persetujuan, ia akan dianggap sebagai
penduduk Negara pihak pada Persetujuan di mana ia mempunyai hubungan-hubungan
pribadi dan ekonomi yang lebih erat (tempat yang menjadi pusat perhatiannya);
(b) jika Negara pihak pada Persetujuan yang menjadi pusat perhatiannya
tidak dapat ditentukan, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak
pada Persetujuan dimana ia mempunyai tempat yang biasa ia gunakan untuk
berdiam.
(c) jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara pihak
pada Persetujuan atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara
tersebut, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan
di mana ia menjadi warganegaranya;
(d) jika ia mempunyai kewarganegaraan di kedua Negara pihak pada Persetujuan
atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara tersebut, pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua Negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui
persetujuan bersama.
3. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat (1) suatu badan menjadi
penduduk pada kedua Negara pihak pada Persetujuan, pejabat-pejabat yang
berwenang dari kedua Negara akan berusaha memecahkan masalah ini melalui
persetujuan bersama.
Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "bentuk usaha tetap"
berarti suatu tempat usaha tetap di mana seluruh atau sebagian usaha suatu
perusahaan dijalankan.
2. Istilah "bentuk usaha tetap" terutama meliputi:
(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel;
(f) suatu gudang, yang berhubungan dengan penyediaan fasilitas penyimpanan
dari satu pihak kepada pihak lainnya;
(g) suatu pertanian atau perkebunan;
(h) suatu tambang, sumur minyak atau gas bumi, tempat penggalian
atau tempat pengambilan sumber daya alam lainnya, anjungan pengeboran,
atau kapal kerja;
3. Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi:
(a) suatu bangunan, konstruksi, proyek perakitan atau proyek instalasi
atau kegiatan penyeliaan yang berhubungan dengannya, tetapi hanya apabila
bangunan, proyek, atau kegiatan tersebut berlangsung untuk masa lebih dari
6 (enam) bulan;
(b) pemberian jasa-jasa, termasuk jasa konsultasi, yang dilakukan
oleh suatu perusahaan melalui pegawai atau orang lain yang dipekerjakan
untuk tujuan tersebut, tetapi hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut
berlangsung di Negara pihak lainnya pada Persetujuan (dalam proyek yang
sama atau yang berhubungan) untuk suatu masa atau masa-masa yang berjumlah
lebih dari 3 (tiga) bulan dalam periode 12 (dua belas) bulan.
4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari pasal ini, istilah
"bentuk usaha tetap" dianggap tidak mencakup:
(a) penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud
untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik
perusahaan,
(b) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan,
(c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan
lain,
(d) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan
informasi, bagi keperluan perusahaan,
(e) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata untuk tujuan periklanan
atau penyediaan informasi,
(f) pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat sebagai kegiatan persiapan
atau kegiatan pununjang, bagi keperluan perusahaan,
(g) pengurusan suata tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk
melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat (a)
sampai dengan sub ayat (f), sepanjang kegiatan-kegiatan tempat usaha tetap
yang merupakan hasil penggabungan tadi bersifat sebagai kegiatan persiapan
atau kegiatan penunjang.
5. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat (1) dan (2), apabila orang/badan
- kecuali agen yang berkedudukan bebas dimana ayat (6) dapat diberlakukan
- bertindak disuatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama perusahaan
dari Negara pihak lainya pada Persetujuan, maka perusahaan tersebut dianggap
memiliki bentuk usaha tetap di Negara yang disebutkan pertama sehubungan
dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang/badan tersebut, jika
orang/badan tersebut :
(a) mempunyai dan biasa menjalankan wewenang untuk menutup kontrak-kontrak
atas nama perusahaan tersebut, kecuali kegiatan-kegiatan tersebut hanya
terbatas pada hal yang dimaksud dalam ayat (4) yang, jika dilakukan melalui
suatu tempat usaha tetap, tidak akan membuat tempat usaha tetap tersebut
menjadi suatu bentuk usaha tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
ayat tersebut; atau
(b) tidak memiliki wewenang seperti disebut diatas, namun di
Negara yang disebutkan pertama orang/badan tersebut biasa mengurus suatu
persediaan barang-barang atau barang dagangan dimana orang/badan tersebut
secara teratur melakukan pengantaran barang-barang atau barang dagangan
atas nama perusahaan tersebut.
(c) di Negara yang disebutkan pertama, mempabrikasi atau memproses
barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan untuk keperluan perusahaan
tersebut.
6. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak
akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya pada
Persetujuan hanya semata-mata karena perusahaan tersebut menjalankan usaha
di Negara pihak lainnya tersebut melalui makelar, agen komisioner umum,
atau agen lainnya yang berkedudukan bebas, sepanjang orang/badan tersebut
bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Namun, jika kegiatan-kegiatan
orang/badan tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya atas nama perusahaan
tadi, orang/badan tersebut tidak dianggap sebagai agen yang berkedudukan
bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat ini.
7. Bahwa suatu perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak
pada Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh perusahaan yang merupakan
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan, atau yang menjalankan usaha
di Negara pihak lainnya tersebut (baik melalui bentuk usaha tetap maupun
dengan cara lain), tidak dengan sendirinya mengakibatkan salah satu dari
perusahaan tersebut merupakan bentuk usaha tetap dari perusahaan lainnya.
Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TIDAK BERGERAK
1. Penghasilan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
dari harta tidak bergerak (termasuk penghasilan dari pertanian dan kehutanan)
yang berada di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak
di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Istilah "harta tidak bergerak" mempunyai arti sesuai dengan perundang-undangan
Negara pihak pada Persetujuan dimana harta yang bersangkutan berada. Istilah
tersebut mencakup benda-benda yang menyertai harta tidak bergerak, ternak
dan peralatan yang dipergunakan dalam pertanian dan kehutanan, hak-hak
di mana ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan umum yang berkenaan
dengan pertanahan berlaku, hak memungut hasil atas harta tidak bergerak,
dan hak atas pembayaran-pembayaran tetap atau tak tetap sebagai penggantian
atas pengerjaan, atau hak untuk mengerjakan, kandungan mineral dan sumber-sumber
daya alam lainnya. Kapal laut, perahu dan pesawat udara tidak dianggap
sebagai harta tidak bergerak.
3. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) berlaku pula terhadap penghasilan
yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, penyewaan, atau bentuk
lain penggunaan harta tidak bergerak.
4. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (3) berlaku pula terhadap
penghasilan dari harta tidak bergerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan
dari harta tidak bergerak yang tidak dipergunakan untuk menjalankan pekerjaan
bebas.
Pasal 7
LABA USAHA
1. Laba perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan
dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan
usahanya di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk
usaha tetap yang berada di sana. Apabila perusahaan tersebut menjalankan
usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka atas laba perusahaan tersebut
dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tetapi hanya atas bagian
laba yang berasal dari bertuk usaha tetap tersebut.
2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam ayat (3), jika suatu
perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di
Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap
yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk
usaha tetap tersebut oleh masing-masing Negara pihak pada Persetujuan ialah
laba yang diperolehnya seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan
suatu perusahaan tersendiri dan terpisah yang melakukan kegiatan-kegiatan
yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama atau serupa dan mengadakan
hubungan yang sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang memiliki bentuk usaha
tetap tersebut.
3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan
biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka kegiatan usaha bentuk usaha tetap
tersebut termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum,
baik yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap tersebut berada
maupun yang dikeluarkan di tempat lain. Namun demikian, tidak diperkenankan
untuk dikurangkan biaya-biaya, jika ada, yang dibayarkan (selain penggantian
terhadap biaya-biaya yang benar-benar terjadi) oleh bentuk usaha tetap
kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, dalam
bentuk royalti, ongkos, atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan
penggunaan paten atau hak-hak lainnya, atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa
tertentu atau untuk manajemen, atau, kecuali pada perusahaan perbankan,
dalam bentuk bunga atas uang yang dipinjamkan kepada bentuk usaha tetap
tersebut. Demikian pula, tidak perlu diperhitungkan dalam penentuan laba
suatu bentuk usaha tetap, jumlah yang ditagihkan (selain penggantian terhadap
biaya-biaya yang benar-benar terjadi) oleh bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya, dalam bentuk royalti,
ongkos, atau pembayaran serupa lainnya sehubungan dengan penggunaan paten
atau hak-hak lainnya, atau dalam bentuk komisi untuk jasa-jasa tertentu
atau untuk manajemen, atau, kecuali pada perusahaan perbankan, dalam bentuk
bunga atas uang yang dipinjamkan kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor
lain milik kantor pusatnya.
4. Untuk kepentingan ayat-ayat sebelumnya, besarnya laba bentuk usaha
tetap harus ditentukan dengan metode yang sama dari tahun ke tahun kecuali
jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan penyimpangan.
5. Apabila laba usaha mencakup bagian-bagian penghasilan yang diatur
terpisah di Pasal-Pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan
dalam Pasal-Pasal tersebut tidak akan mempengaruhi ketentuan-ketentuan
dalam Pasal ini.
6. Sepanjang merupakan kelaziman di salah satu Negara pihak pada Persetujuan
untuk menetapkan besarnya laba yang dapat dianggap berasal dari suatu bentuk
usaha tetap dengan cara menentukan bagian laba dari total laba perusahaan
dengan berbagai komponennya, ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 tidak akan
menghalangi Negara pihak pada Persetujuan tersebut untuk menentukan besarnya
laba akan yang dikenakan pajak berdasarkan pembagian yang merupakan kelaziman
tersebut. Namun cara pembagian tersebut harus sedemikian rupa sehingga
hasilnya akan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal
ini.
7. Suatu bentuk usaha tetap tidak akan dianggap memperoleh laba hanya
karena bentuk usaha tetap tersebut melakukan pembelian barang-barang atau
barang dagangan untuk perusahaan induknya.
Pasal 8
PELAYARAN DAN PENERBANGAN
1. Laba yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat
udara dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan di mana perusahaan yang mengoperasikan
kapal-kapal laut atau pesawat udara menjadi penduduknya.
2. Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 berlaku pula terhadap laba yang
berasal dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, usaha bersama,
atau perwakilan untuk kegiatan internasional.
Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA
1. Apabila :
(a) suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan
turut berpatisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen,
pengawasan, atau modal suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada
Persetujuan,
atau.
(b) terdapat orang/badan yang sama yang turut berpatisipasi secara
langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengawasan, atau modal
suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan
dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan.
dan dalam tiap kasus di atas, terdapat kondisi-kondisi yang dibuat
atau diberlakukan di antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagang
atau hubungan keuangan mereka yang berbeda dengan kondisi-kondisi yang
dibuat oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai kedudukan bebas, maka
atas laba yang, karena kondisi-kondisi tadi, tidak diakui, dapat ditambahkan
pada laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.
2. Apabila suatu Negara pihak pada Persetujuan mencantumkan laba suatu
perusahaan dari Negara tersebut dan mengenakan pajaknya - padahal atas
laba tersebut, perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan telah
dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut dan laba yang dicantumkan
tadi adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan Negara yang
disebutkan pertama seandainya kondisi-kondisi yang dibuat oleh kedua perusahaan
tersebut sama dengan kondisi-kondisi yang dibuat oleh pihak-pihak yang
mempunyai kedudukan bebas, maka Negara pihak lainnya tersebut akan membuat
penyesuaian seperlunya terhadap jumlah pajak yang telah dikenakan terhadap
laba tersebut. Dalam melakukan penyesuaian tersebut, ketentuan-ketentuan
lain dari Persetujuan ini tetap harus diperhatikan dan bila perlu pejabat-pejabat
yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan dapat saling berkonsultasi.
3. Suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan mengubah laba suatu
perusahaan seperti dimaksud dalam ketentuan ayat 2 setelah jangka waktu
yang ditetapkan dalam ketentuan perpajakan Negara tersebut.
Pasal 10
D I V I D E N
1. Dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang merupakan penduduk
suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak lainnya
pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Namun, apabila pemilik manfaat dari Dividen tersebut adalah penduduk
Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka pajak yang dikenakan oleh Negara
yang disebutkan pertama tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah bruto
dividen yang benar-benar dibagikan.
3. Istilah "dividen" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti
penghasilan dari saham atau hak-hak lainnya, tetapi yang bukan merupakan
surat-surat tagihan piutang, yang berhak atas pembagian laba serta penghasilan
dari hak-hak perseroan lainnya yang pengenaan pajaknya diperlakukan sama
dengan penghasilan dari saham oleh perundang-undangan Negara di mana perusahaan
menjadi penduduknya.
4. Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 tidak berlaku jika penerima
dividen adalah pemilik saham yang menikmati dividen tersebut yang merupakan
penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan di mana perusahaan pembayar dividen
menjadi penduduk melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana,
atau menjalankan pekerjaan bebas di suatu tempat usaha tetap yang berada
disana, dan kepemilikan saham yang menghasilkan dividen tersebut mempunyai
hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tadi.
Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, ketentuan-ketentuan dalam
pasal 7 atau pasal 14 akan berlaku.
5. Apabila suatu perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak
pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara pihak lainnya
pada Persetujuan, Negara pihak lainnya tersebut tidak dapat mengenakan
pajak atas dividen yang dibayar oleh perusahaan tersebut, kecuali sepanjang
dividen tersebut dibayarkan kepada penduduk Negara pihak lainnya tersebut
atau atau sepanjang kepemilihan saham yang menghasilkan dividen tersebut
mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat usaha
tetap yang berada di Negara pihak lainnya tersebut tidak dapat mengenakan
pajak atas laba yang tidak dibagikan meskipun dividen yang dibayarkan atau
laba yang tidak dibagikan terdiri dari laba atau penghasilan yang seluruhnya
atau sebagainya timbul di Negara pihak lainnya tersebut.
Pasal 11
B U N G A
1. Bunga yang timbul di suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan
kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak
di Negara pihak lainnya tersebut jika penduduk Negara lainnya tersebut
adalah pemilik manfaat dari bunga tersebut.
2. Tarif pajak yang dikenakan oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan
atas bunga yang diperoleh yang bersumber di Negara tersebut dan dimiliki
oleh pemberi pinjaman yang menikmati bunga yang merupakan penduduk Negara
pihak lainya pada Persetujuan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen)
dari jumlah bruto bunga.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul
di suatu Negara pihak pada Persetujuan dan diterima oleh Pemerintah Negara
pihak lainnya pada Persetujuan termasuk pemerintah daerahnya, bagian ketatanegaraannya,
Bank Sentral, atau lembaga keuangan yang dikuasai oleh Pemerintah tersebut,
yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah tersebut, sebagaimana yang
dapat disetujui dari waktu ke waktu oleh pejabat yang berwenang dari kedua
Negara pihak pada Persetujuan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di
Negara yang disebutkan pertama.
4. Istilah "bunga" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan
dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun
tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan
khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah
dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk
premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi, atau surat utang
tersebut, serta penghasilan yang berdasarkan undang-undang perpajakan Negara
dimana bunga tersebut timbul dapat dipersamakan dengan penghasilan yang
diperoleh dari uang yang dipinjamkan, termasuk bunga atas penjualan secara
kredit.
5. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) tidak akan berlaku apabila
pemilik pinjaman yang menikmati bunga tersebut, yang merupakan penduduk
suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara
pihak lainnya pada Persetujuan dimana bunga tersebut timbul melalui suatu
bentuk usaha tetap yang berada disana, atau menjalankan pekerjaan bebas
di Negara lainnya melalui suatu tempat usaha tetap yang berada di sana,
dan tagihan piutang yang menghasilkan bunga tersebut mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut. Dalam
hal demikian, tergantung pada masalahnya, ketentuan-ketentuan dalam Pasal
7 atau Pasal 14 akan berlaku.
6. Bunga dianggap timbul di suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila
pihak yang membayar bunga tersebut adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraannya,
pemerintah daerahnya, atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian apabila
orang/badan yang membayar bunga tersebut, tanpa memandang apakah ia penduduk
suatu Negara pihak pada Persetujuan atau tidak, mempunyai bentuk usaha
tetap atau tempat usaha tetap disuatu Negara pihak pada Persetujuan yang
mempunyai hutang yang kemudian menimbulkan biaya bunga, dan bunga tersebut
menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut, maka
bunga tersebut akan dianggap timbul di Negara dimana bentuk usaha tetap
atau tempat usaha tetap itu berada.
7. Apabila karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga
dengan pemilik manfaat dari bunga tersebut atau antara keduanya dengan
orang/badan lain, jumlah bunga yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya
utang yang menghasilkan bunga tersebut, melebihi jumlah yang seharusnya
disepakati antara pembayar dan pemilik manfaat dari bunga tersebut seandanya
mereka tidak mempunyai hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan dalam
Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang disebutkan terakhir tersebut.
Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan
pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada
Persetujuan dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam
Persetujuan ini.
Pasal 12
R O Y A L T I
1. Royalti yang timbul di Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan
kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak
di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Tarif pajak yang dikenakan oleh salah satu oleh Negara pihak pada
Persetujuan atas royalti yang diperoleh yang bersumber di Negara tersebut
dimiliki oleh pihak yang menikmati royalti tersebut yang merupakan penduduk
Negara pihak lainnya pada Persetujuan tidak akan melebihi 10% (sepuluh
persen) dari jumlah bruto royalti sebagaimana dijelaskan di ayat (3).
3. Istilah "royalti" sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti
pembayaran-pembayaran, baik secara berkala maupun tidak, dan dalam bentuk,
nama, atau istilah apapun sepanjang pembayaran tersebut dibuat sebagai
imbalan untuk:
(a) Penggunaan, atau hak untuk menggunakan, hak cipta, paten, desain
atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang atau harta
atau hak lainnya yang serupa; atau
(b) Penggunaan atau hak untuk menggunakan, peralatan industri, perdagangan,
atau ilmu pengetahuan; atau
(c) Penyediaan pengetahuan atau informasi tentang ilmu pengetahuan,
industri, atau perdagangan; atau
(d) penyediaan bantuan yang merupakan pelengkap atau tambahan dari
setiap harta atau hak yang telah disebutkan di huruf (a), peralatan yang
telah disebutkan di huruf (b), atau pengetahuan dan informasi yang telah
disebutkan di huruf (c); atau
(e) penggunaan, atau hak untuk menggunakan:
i) film-film bioskop; atau
ii) film-film atau video yang digunakan dalam hubungannya dengan siaran
televisi; atau
iii) pita yang digunakan dalam hubungannya dengan siaran radio;
atau
(f) seluruh atau sebagian pembayaran sehubungan dengan penggunaan
atau penyediaan harta atau hak yang dimaksud dalam ayat ini.
4. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tidak akan berlaku jika pihak
yang menikrnati royalti tersebut, yang merupakan penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada
Persetujuan di mana royalti tersebut timbul melalui suatu bentuk usaha
tetap yang berada disana, atau melakukan pekerjaan bebas di Negara pihak
lainnya tersebut melalui suatu tempat usaha tetap yang berada di sana,
dan hak atau harta yang menghasilkan royalti tersebut mernpunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap atau termpat usaha tetap. Dalam hal demikian.
tergantung pada masalahnya, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 atau Pasal
14 akan berlaku.
5. Royalti dianggap timbul di Negara pihak pada Persetujuan apabila
pembayarnya adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraannya, pemerintah
daerahnya, atau penduduk Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Namun
demikian, apabila orang/badan yang membayar royalti tersebut, tanpa memandang
apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Pesetujuan atau bukan, memiliki
bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan
di mana kewajiban membayar royalti tersebut timbul, maka royalti tersebut
dianggap timbul di Negara pihak pada Persetujuan di mana bentuk usaha tetap
atau tempat usaha tetap tersebut berada.
6. Apabila, karena alasan adanya hubungan istirnewa antara pernbayar
royalti dengan pihak yang menikmati manfaat dari royalti tersebut atau
antara keduanya dengan orang/badan lain, jumlah royalti yang dibayarkan,
dengan memperhatikan penggunaan, hak, atau informasi yang menghasilkan
royalti tersebut, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati antara pembayar
dan pemilik manfaat dari royalti tersebut seandainya mereka tidak mempunyai
hubungan istirnewa, rnaka ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini akan berlaku
hanya atas jumlah yang disebutkan terakhir tersebut. Dalam hal demikian,
jumlah kelebihan pernbayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana royalti tersebut tirnbul sesuai dengan perundang-undangan
Negara tersebut.
Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PENGALIHAN HARTA
1. Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
dari pengalihan harta tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan terletak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak
di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Keuntungan dari pengalihan harta bergerak yang merupakan bagian
kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu
Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan
atau dari harta bergerak yang terkait dengan tempat usaha tetap yang tersedia
bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya
pada Persetujuan guna menjalankan pekerjaan bebasnya, termasuk keuntungan
dari pengalihan bentuk usaha tetap itu sendiri (terpisah atau beserta keseluruhan
perusahaan) atau tempat usaha tetap tersebut, dapat dikenakan pajak di
Negara pihak lainnya tersebut.
3. Keuntungan yang diperoleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan dari pengalihan kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional atau harta bergerak yang terkait
dengan Pengoperasian kapal atau pesawat udara tersebut hanya akan dikenakan
pajak di Negara tersebut.
4. Keuntungan dari pengalihan harta lainnya selain yang disebut pada
ayat-ayat sebelumnya hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan
di mana orang/badan yang mengalihkan harta tersebut menjadi penduduknya.
Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS
1. Penghasilan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya
akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali dia mempunyai tempat usaha
tetap yang tersedia baginya secara teratur di Negara pihak lainnya pada
Persetujuan guna melaksanakan kegiatan-kegiatannya atau ia berada di Negara
lainnya tersebut untuk masa-masa yang melebihi 90 hari dalam suatu masa
12 ( dua belas ) bulan. Jika dia mempunyai tempat usaha tetap atau berada
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan selama masa-masa tersebut diatas,
maka atas penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara lainnya
tersebut tetapi hanya sebatas penghasilan yang berkaitan dengan tempat
usaha tetap tersebut atau yang diperoleh di Negara lainnya tersebut selama
masa-masa tersebut di atas.
2. Istilah "jasa-jasa profesional" terutama meliputi kegiatan-kegiatan
bebas di bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, kependidikan,
atau pengajaran, serta pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter,
insinyur, pengacara, dokter gigi, arsitek, dan akuntan.
Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA
1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 16, 18, 19,
dan 20, gaji, upah, dan imbalan serupa lainnya yang diperoleh penduduk
suatu Negara pihak pada Persetujuan karena pekerjaan dalam hubungan kerja
hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali pekerjaan tersebut
dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Jika pekerjaan tersebut
dilakukan di Negara pihak lainnya, maka imbalan yang diterima dari pekerjaan
dimaksud dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (1), imbalan yang
diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan
hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertarna jika:
(a) penerima imbalan tersebut berada di Negara pihak lainnya tersebut
dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; dan
(b) imbalan tersebut dibayarkan oleh, atau atas nama, pemberi kerja
yang bukan merupakan penduduk Negara pihak Iainnya tersebut; dan
(c) imbalan tersebut tidak menjadi beban bagi suatu bentuk usaha tetap
atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di Negara pihak
lainnya tersebut.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Pasal ini,
imbalan yang diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan di atas kapal laut
atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu lintas internasional
oleh suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan
dikenakan pajak di Negara tersebut.
Pasal 16
IMBALAN UNTUK DIREKTUR
1. Imbalan para direktur dan pembayaran-pembayaran serupa lainnya yang
diperoleh penduduk Negara Pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai
anggota dewan direksi suatu perusahaan atau badan serupa lainnya dari perusahaan
yang merupakan penduduk suatu Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat
dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Imbalan yang diperoleh para direktur sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 dari perusahaan sehubungan dengan pekerjaan yang bersifat manajerial
atau teknis sehari-hari dapat dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 15.
Pasal 17
ARTIS DAN ATLET
1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 14 dan 15, penghasilan
yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan sebagai artis/penghibur,
seperti misalnya seperti artis teater, film, radio atau televisi, atau
pemusik, atau sebagai atlet, dari kegiatan-kegiatannya sebagai artis atau
atlet yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dapat dikenakan
pajak di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Apabila penghasilan yang berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh artis atau atlet tersebut tidak diterima oleh artis atau
atlet itu sendiri tetapi oleh orang/badan lain, maka, menyimpang dari ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 7, 14, dan 15, atas penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan di mana kegiatan-kegiatan artis atau atlet
tersebut dilakukan.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2), penghasilan
yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang dilakukan berdasarkan suatu pengaturan atau Persetujuan kebudayaan
antara kedua Negara pihak pada Persetujuan akan dibebaskan dari pajak di
Negara Pihak pada Persetujuan dimana kegiatan tersebut dilakukan apabila
kunjungan ke Negara tersebut sepenuhnya atau secara substansial dibiayai
oleh salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan, pemerintah daerahnya,
atau lembaga publik lainnya.
Pasal 18
PENSIUN DAN PEMBAYARAN BERKALA
1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2),
pensiun atau imbalan sejenis lainnya yang dibayarkan kepada penduduk salah
satu Negara pihak pada Persetujuan dari sumber di Negara pihak lainnya
pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa-jasa dalam hubungan
kerja di Negara pihak lainnya di rnasa lalu dan pembayaran berkala yang
dibayarkan kepada penduduk tadi dari sumber seperti tersebut di atas hanya
akan dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.
2. Istilah "pembayaran berkala" berarti suatu jumlah tertentu yang
dibayarkan secara berkala selama hidup atau selama jangka waktu tertentu
atau yang telah ditentukan karena adanya suatu kewajiban untuk melakukan
pembayaran yang merupakan pengganti nafkah yang layak dan utuh dalam bentuk
uang atau yang dapat dinilai dengan uang.
Pasal 19
PEGAWAI PEMERINTAH
1. (a) Imbalan, selain pensiun, yang dibayarkan oleh suatu Negara pihak
pada Persetujuan, atau bagian ketatanegaraannya, atau pemerintah daerahnya,
kepada orang pribadi sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada
Negara tersebut atau bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya
hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
(b) Namun demikian, imbalan tersebut hanya akan dikenakan pajak
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan jika jasa-jasa tersebut diberikan
di Negara pihak lainnya tersebut dan orang pribadi tersebut adalah penduduk
Negara pihak lainnya tersebut yang:
i) mempunyai kewarganegaraan di Negara pihak lainnya tersebut; atau
ii) tidak menjadi penduduk Negara pihak lainnya tersebut semata-mata
dengan tujuan untuk melakukan jasa-jasa tadi.
2. (a) Pensiun yang dibayarkan oleh, atau berasal dari dana yang
dibentuk oleh, suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraannya
atau pemerintah daerahnya kepada orang pribadi sehubungan dengan jasa-jasa
yang diberikan kepada Negara tersebut atau bagian ketatanegaraanya atau
Pemerintah daerahnya hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
(b) Namun demikian, pensiun tersebut hanya akan dikenakan pajak di
Negara pihak lainnya pada Persetujuan jika orang pribadi tersebut adalah
penduduk dan warganegara dari Negara pibak lainnya tersebut.
3. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 15, 16, dan 18 akan berlaku
terhadap imbalan dan pensiun yang berkenaan dengan jasa-jasa yang diberikan
sehubungan dengan usaha yang dijalankan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan
atau bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya.
Pasal 20
GURU DAN PENELITI
Orang pribadi yang sesaat sebelum melakukan kunjungan ke suatu Negara
pihak pada Persetujuan merupakan penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan
dan yang, atas undangan dari Pemerintah Negara yang disebutkan pertama
atau universitas, akademi, sekolah, museum, atau lembaga kebudayaan serupa
lainnya yang ada di Negara yang disebutkan pertama atau berdasarkan program
resmi pertukaran kebudayaan, berada di Negara pihak pada Persetujuan tersebut
untuk masa tidak lebih dari 2 (dua) tahun berturut-turut semata-mata untuk
tujuan mengajar, memberikan kuliah, atau melakukan penelitian di lembaga
dimaksud akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara pihak pada Persetujuan
tersebut atas imbalan untuk kegiatan-kegiatan tersebut, asalkan pembayaran
imbalan yang diperolehnya tersebut berasal dari luar Negara pihak pada
Persetujuan tersebut.
Pasal 21
PELAJAR DAN PEMAGANG
1. Pembayaran-pembayaran yang dimaksudkan unmk memenuhi biaya hidup,
pendidikan, atau latihan yang diterima oleh siswa atau pemagang yang sesaat
sebelum melakukan kunjungan ke suatu Negara pihak pada Persetujuan merupakan
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dan berada di Negara yang
disebutkan pertama semata-mata untuk mengikuti pendidikan atau latihan
tidak akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan tersebut, sepanjang
pembayaran-pembayaran tersebut timbul dari sumber di luar Negara pihak
pada Persetujuan tersebut.
2. Sehubungan dengan hibah, beasiswa, dan imbalan dari pekerjaan yang
tidak dicakup dalam ayat (1), seorang siswa atau pemagang yang disebutkan
dalam ayat (1), sebagai tambahan, selama masa pendidikan atau pelatihan
tersebut berhak atas pengecualian-pengecualian, keringanan, atau pengurangan
pajak yang sama dengan yang diberikan kepada penduduk Negara pihak pada
Persetujuan yang ia kunjungi.
Pasal 22
PENGHASILAN LAINNYA
1. Jenis-jenis penghasilan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan,
dari mana pun asalnya, yang tidak diatur dalam Pasal-Pasal sebelumnya dari
Persetujuan ini, selain penghasilan yang timbul dari pengalihan atau pengambilalihan
hak atas kepemilikan atau pengelolaan suatu harta yang berada di Negara
pihak lainnya pada Persetujuan dan juga penghasilan dari lotere, hadiah,
dan premi asuransi atau reasuransi, akan dikenakan pajak di Negara yang
disebutkan pertama.
2. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dari Pasal ini tidak berlaku
terhadap penghasilan dari harta tidak bergerak sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 6 ayat (2) dari Persetujuan ini, jika penerirna penghasilan tersebut,
yang merupakan penduduk Negara pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap
yang berada di sana, atau melakukan pekerjaan bebas di Negara pihak lainnya
tersebut melalui tempat usaha tetap yang berada di sana, dan hak atau harta
yang menghasilkan penghasilan tersebut mempunyai hubungan efektif dengan
bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut. Dalam hal demikian,
tergantung pada masalahnya, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 atau Pasal
14 akan berlaku.
Pasal 23
METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Apabila penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan memperoleh penghasilan
dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, jumlah pajak atas penghasilan
tersebut yang terutang di Negara pihak lainnya tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam Persetujuan ini dapat dikreditkan terhadap pajak yang dikenakan kepada
penduduk tersebut di Negara yang disebutkan pertama. Namun, jumlah kredit
pajak tersebut tidak boleh melebihi jumlah pajak atas penghasilan yang
terutang di Negara yang disebutkan pertama yang dihitung sesuai dengan
undang-undang dan peraturan perpajakannya.
Pasal 24
NON-DISKRIMINASI
1. Warga Negara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban-kewajiban yang terkait dengan pajak tersebut
di Negara pihak lainnya pada Persetujuan yang berlainan atau lebih memberatkan
dibandingkan dengan pajak atau kewajiban terkait yang diberlakukan atau
dapat diberlakukan terhadap warga negara dari Negara pihak lainnya pada
Persetujuan dalam keadaan yang sama.
2. Perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang modalnya
sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung atau tidak
langsung oleh satu atau beberapa penduduk dari Negara pihak lainnya pada
Persetujuan, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban yang terkait dengan
pengenaan pajak tersebut di Negara yang disebut pertama yang berlainan
atau lebih memberatkan dibandingkan dengan pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban
terkait yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan
lainnya yang serupa di Negara yang disebut pertama.
3. Kecuali di mana ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (7), atau
Pasal 12 ayat (6) berlaku, bunga. royalti, dan pembayaran-pembayaran lain
yang dibayarkan oleh perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan kepada
penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan, untuk menentukan laba yang
dapat dikenakan pajak atas perusahaan tersebut, akan dapat dikurangkan
berdasarkan kondisi yang sama apabila pembayaran tersebut dibayarkan kepada
penduduk dari Negara yang disebut pertama.
4. Dalam Pasal ini, istilah "pajak" berarti pajak-pajak yang dicakup
dalam Persetujuan ini.
Pasal 25
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA
1. Apabila seseorang/badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah
satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini, maka terlepas
dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan nasional
masing-masing Negara tersebut, ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat
yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi penduduknya
atau, apabila kasusnya berkenaan dengan Pasal 24 ayat (1), kepada pejabat
yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan di mana ia menjadi warga
negaranya. Masalah tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sejak adanya pemberitahuan pertama tentang tindakan yang mengakibatkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan
ini.
2. Jika muncul pengajuan keberatan kepada pejabat yang berwenang dan
jika pejabat yang berwenang itu sendiri tidak dapat menemukan penyelesaian
yang tepat, maka pejabat yang berwenang tersebut akan berusaha untuk menyelesaikan
masalah tersebut melalui persetujuan bersama dengan pejabat yang berwenang
dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk menghindarkan
pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.
3. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan,
melalui persetujuan bersama, akan berusaha untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan
atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan Persetujuan
ini. Pejabat-pejabat yang berwenang tersebut dapat juga berunding bersama
untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam masalah-masalah yang tidak
diatur dalam Persetujuan.
4. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat-ayat sebelumnya. Pejabat-pejabat yang berwenang melalui
konsultasi akan menetapkan prosedur-prosedur bilateral, syarat-syarat,
cara-cara, dan teknik-teknik yang sesuai untuk penerapan prosedur persetujuan
bersama yang diatur dalam Pasal ini.
Pasal 26
PERTUKARAN INFORMASI
1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan melakukan pertukaran informasi yang diperlukan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini atau untuk melaksanakan perundang-undangan
domestik masing-masing Negara pihak pada Persetujuan yang berkenaan dengan
pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak berdasarkan
perundang-undangan Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Persetujuan
ini. Pertukaran informasi ini tidak dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal
1. Setiap informasi yang diterima oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan
harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi
itu diperoleh berdasarkan perundang-undangan domestik Negara tersebut.
Namun, apabila informasi tersebut pada awalnya sudah dianggap sebagai rahasia
oleh Negara yang memberikannya, maka informasi tersebut hanya dapat diungkapkan
kepada pihak-pihak atau instansi-instansi yang berwenang (termasuk pengadilan
dan badan-badan administratif) yang terlibat dalam penetapan, penagihan,
penegakan hukum, atau penuntutan yang berkenaan dengan pajak-pajak yang
dicakup dalam Persetujuan ini. Pihak-pihak atau instansi-instansi yang
berwenang tersebut hanya boleh menggunakan informasi tadi untuk tujuan-tujuan
tersebut di atas, tetapi mereka boleh mengungkapkan informasi tadi dalam
proses pengadilan atau dalam pembuatan keputusan pengadilan.
2. Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) sama sekali tidak dapat ditafsirkan
sedemikian rupa sehingga membebani suatu Negara pihak pada Persetujuan
suatu kewajiban:
(a) untuk melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang menyimpang
dari perundang-undangan dan praktik administratif dari Negara tersebut
atau dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan;
(b) untuk memberikan informasi yang tidak mungkin diperoleh berdasarkan
perundang-undangan atau dalam praktik administratif yang lazim dari Negara
tersebut atau dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan;
(c) untuk memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia di bidang
perdagangan, bisnis, industri, perniagaan, atau keahlian atau informasi
yang mengungkapkan proses perdagangan, atau informasi lainnya yang pengungkapannya
akan bertentangan dengan kebijaksanaan publik.
Pasal 27
PEJABAT-PEJABAT DIPLOMATIK DAN KONSULER
Tidak ada sesuatu pun dalam Persetujuan ini yang akan mempengaruhi
hak-hak istimewa di bidang fiskal dari para pejabat diplomatik atau pejabat
konsuler sebagaimana diatur dalam peraturan umum dari hukum internasional
maupun dalam ketentuan-ketentuan dalam persetujuan-persetujuan khusus.
Pasal 28
BERLAKUNYA PERSETUJUAN
1. Persetujuan ini akan mulai berlaku pada tanggal terakhir dilakukannya
pemberitahuan tertulis oleh masing-masing Pemerintah bahwa syarat-syarat
formal berdasarkan konstitusi masing-masing Negara telah dipenuhi.
2. Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini akan berlaku:
(a) Untuk pajak-pajak yang dipungut di Negara sumbernya, atas penghasilan
yang diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya
sesudah berlakunya Persetujuan ini; dan
(b) Untuk pajak-pajak atas penghasilan lainnya, pada tahun-tahun pajak
yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun berikutnya sesudah
tahun berlakunya Persetujuan ini.
Pasal 29
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN
1. Persetujuan ini akan tetap berlaku sarnpai diakhiri oleh salah satu
Negara pihak pada Persetujuan. Masing-masing Negara pihak pada Persetujuan
dapat mengakhiri Persetujuan ini, melalui saluran diplomatik, dengan menyampaikan
pemberitahuan tertulis tentang penghentian Persetujuan pada atau sebelum
tanggal 30 Juni dalam suatu tahun takwim setelah 10 (sepuluh) tahun berlakunya
Persetujuan ini.
2. Dalam hal demikian Persetujuan akan tidak mempunyai pengaruh lagi:
(a) untuk pajak-pajak yang dipungut di Negara sumbernya, atas penghasilan
yang diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya
sesudah pemberitahuan penghentian diberikan.
(b) untuk pajak-pajak atas penghasilan lainnya, pada tahun-tahun pajak
yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun berikutnya sesudah
pemberitahuan penghentian diberikan.
Sebagai kesaksian, yang bertandatangan dibawah ini, sebagai kuasa dari
Pemerintahnya masing-masing, telah menandatangani Persetujuan ini.
Dibuat dalam rangkap dua di New York pada tanggal 7 September 1999
dalam bahasa Inggris.