PERSETUJUAN
ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SOSIALIS DEMOKRASI SRI LANKA
MENGENAI PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN
PAJAK ATAS PENGHASILAN
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Demokrasi
Sri Lanka.
BERHASRAT mengadakan suatu Persetujan mengenai Penghindaran pajak berganda
dan pencegahan pengelakan pajak atas penghasilan.
TELAH MENYETUJUI SEBAGAI BERIKUT :
Pasal 1
ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN
Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang merupakan penduduk
salah satu atau kedua Negara pihak pada persetujuan.
Pasal 2
PAJAK-PAJAK YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN
1. Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang
dikenakan oleh masing masing Negara pihak pada Persetujuan, tanpa memperhatikan
cara pemungutan pajak-pajak tersebut.
2. Sebagai pajak-pajak atas penghasilan dianggap semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan atau atas unsur-unsur penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta gerak atau harta tak gerak.
3. Pajak-pajak yang berlaku menurut Persetujuan ini adalah :
(a) di Indonesia:
Pajak Penghasilan yang dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan
1994 (Undang-undang No 7 Tahun 1983) dan sejauh dinyatakan dalam Undang-undang
Pajak Penghasilan tersebut, pajak perseroan yang dikenakan berdasarkan
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara No. 319 Tahun 1925 terakhir
diperbaharui dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1970) dan pajak yang dikenakan
berdasarkan Undang undang Pajak atau Bunga, Dividen dan Royalti 1970 (Undang-undang
No. 10 Tahun 1970),
(selanjutnya disebut pajak Indonesia);
(b) di Sri Lanka
Pajak penghasilan termasuk pajak penghasilan yang berdasarkan turnover
dari perusahaan-perusahaan yang mendapat lisensi oleh Greater Colombo Economic
Commission,
(selanjutnya disebut pajak Sri Lanka).
4. Persetujuan ini berlaku pula bagi setiap pajak penghasilan yang
serupa atau pada hakekatnya sejenis yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan
Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap, ataupun sebagai pengganti
dari, pajak-pajak yang tersebut dalam ayat 3. Para pejabat yang berwenang
dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan saling memberitahukan satu
sama lain setiap perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam perundang-undangan
pajak masing-masing.
Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM
1. Kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, maka
yang dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :
(a) (i) istilah Indonesia meliputi wilayah Republik Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undangnya dan daerah yang berbatasan,
dimana Republik Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atau yurisdiksi sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Konvensi hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa
Tahun 1982;
(ii) istilah Sri Lanka berarti Republik Sosialis Demokrasi
Sri Lanka meliputi daerah di luar wilayah laut Sri Lanka yang menurut hukum
internasional telah atau selanjutnya dapat ditentukan, berdasarkan hukum
Sri Lanka mengenai landas kontinen, sebagai suatu daerah dimana Sri Lanka
dapat melaksanakan hak-haknya berkenaan dengan perairan dasar laut dan
lapisan tanah dibawahnya serta sumber sumber daya alam;
(b) istilah suatu Negara pihak pada Persetujuan dan Negara pihak pada
Persetujuan lainnya berarti Sri Lanka atau Indonesia tergantung pada hubungan
kalimatnya;
(c) istilah orang atau badan meliputi orang pribadi, perseroan dan
setiap kumpulan lain dari orang atau badan yang diperlakukan sebagai badan
hukum untuk tujuan perpajakan;
(d) istilah perseroan berarti setiap badan hukum atau setiap kesatuan
hukum yang untuk tujuan pemungutan pajak diperlakukan sebagai badan hukum;
(e) istilah perusahaan dari suatau Negara pihak pada Persetujuan dan
perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya berarti berturut-turut
suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk Negara
pihak pada Persetujuan lainnya;
(f) istilah lalu lintas internasional berarti setiap pengangkutan oleh
kapal laut atau pesawat udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari
suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali dioperasikan antara tempat-tempat
yang berada di dalam Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(g) istilah warganegara berarti :
(i) semua orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan suatu Negara
pihak pada Persetujuan;
(ii) semua badan hukum, usaha bersama dan persekutuan yng memperoleh
statusnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di suatu Negara pihak
pada Persetujuan;
(h) istilah pejabat yang berwenang berarti :
(i) di Indonesia :
Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;
(ii) di Sri Lanka :
Direktur Jenderal Pajak
2. Untuk penerapan Persetujuan ini oleh salah satu Negara pihak pada
Persetujuan, setiap istiah yang tidak dirumuskan, kecuali jika dari hubungan
kalimatnya harus diartikan lain, akan mempunyai arti menurut perundang-undangan
Negara pihak pada persetujuan itu sepanjang mengenai pajak-pajak yang ditentukan
dalam Persetujuan ini.
Pasal 4
PENDUDUK
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan berarti setiap orang dan badan yang berdasarkan
perundang-undangan di Negara kediaman dapat dikenakan pajak berdasarkan
domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan manajemen ataupun kriteria
lain yang sifatnya serupa.
2. Jika seseorang berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1 menjadi penduduk
di kedua Negara pihak pada persetujuan, maka statusnya akan ditentukan
sebagai berikut :
(a) ia akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan
dimana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di kedua
Negara pihak pada Persetujuan, ia akan dianggap sebagai penduduk di Negara
pihak pada Persetujuan dimana ia mempunyai hubungan pribadi dan hubungan
ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok);
(b) jika Negara pihak pada Persetujuan dimana ia mempunyai pusat kepentingan-kepentingan
pokoknya tidak dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal
tetap yang tersedia baginya di kedua Negara pihak pada Persetujuan, ia
akan dianggap sebagai penduduk Negara pihak pada Persetujuan dimana ia
menurut kebiasaannya berdiam;
(c) jika ia mempunyai tempat dimana ia biasanya berdiam di kedua Negara
pihak pada Persetujuan atau tidak mempunyainya di kedua Negara itu,
maka pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan
menyelesaikan persoalan tersebut melalui persetujuan bersama.
3. Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1, orang atau badan, selain
dari orang pribadi, merupakan penduduk kedua Negara pihak pada Persetujuan,
pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan
masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.
Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP
1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah bentuk usaha tetap berarti
suatu tempat kedudukan tetap dimana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan
dijalankan.
2. Istilah bentuk usaha tetap terutama meliputi :
(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel;
(f) suatu pertambangan, suatu ladang minyak atau gas, suatu tempat
penggalian atau tempat penambangan sumber alam lainnya.
3. Istilah bentuk usaha tetap meliputi pula :
(a) suatu lokasi bangunan, proyek-proyek konstruksi, perakitan
atau instalasi, atau suatu instalasi atau kapal yang digunakan untuk pengeboran
atau kapal yang digunakan untuk eksplorasi atau pengembangan sumber-sumber
alam, termasuk kegiatan pengawasan yang berkaitan dengan hal tersebut,
hanya jika kegiatan tersebut berlangsung lebih dari 90 hari;
(b) pemberian jasa konsultasi, oleh perusahaan melalui karyawannya
atau personil lainnya yang ditunjuk oleh perusahaan untuk tujuan itu, tetapi
hanya apabila kegiatan-kegiatan tersebut (untuk proyek yang sama atau yang
ada kaitannya) berlangsung di Negara itu selama masa atau masa-masa lebih
dari 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah
bentuk usaha tetap tidak dianggap meliputi :
(a) penggunaan fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan
atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;
(b) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;
(c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan
milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan
lainnya;
(d) pengurusan suatu tempat tetap semata-mata dengan maksud untuk membeli
barang barang atau barang dagangan, atau untuk mengumpulkan keterangan,
untuk kepentingan perusahaan;
(e) pengurusan suatu tempat tetap semata-mata dengan maksud untuk tujuan
periklanan, untuk memberikan keterangan, untuk melakukan riset ilmiah,
atau untuk kegiatan kegiatan serupa yang bersifat persiapan atau penunjang
bagi kepentingan perusahaan.
5. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada ayat 1 dan 2, jika orang
atau badan selain dari agen yang berdiri sendiri dimana berlaku ayat 7
bertindak di Negara pihak pada Persetujuan atas nama perusahaan dari Negara
pihak pada Persetujuan lainnya, maka perusahaan tersebut akan dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan yng disebut
pertama berkenaan dengan setiap kegiatan yang dilakukan oleh orang atau
badan tersebut untuk kepentingan perusahaan, jika orang atau badan itu
:
(a) memiliki kuasa dan biasa melaksanakannya untuk menutup kontrak
di Negara tersebut atas nama perusahaan, kecuali jika kegiatan orang atau
badan iu dibatasi pada hal-hal yang diatur pada ayat 4, yang meskipun dilakukan
melalui suatu tempat tetap tidak akan menjadikan tempat tetap tersebut
suatu bentuk usaha tetap berdasarkan ketentuan dalam ayat tersebut; atau
(b) tidak memiliki kuasa semacam itu, tetapi biasa mengurus persediaan
barang-barang atau barang dagangan di Negara yang disebut pertama dan secara
teratur menyerahkan barang barang atau barang dagangan itu atas nama perusahaan
tersebut; atau
(c) biasa memenuhi permintaan di Negara yang disebut pertama untuk
perusahaan dan perusahaan-perusahaan di bawah pengawasannya atau ia mempunyai
kepentingan di dalamnya, dan permintaan tersebut berjumlah 60 % dari usahanya
atau lebih.
6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, suatu
perusahaan asuransi dari Negara pihak pada Persetujuan, kecuali dalam hal
reasuransi, akan dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah
Negara lainnya itu atau menanggung resiko yang terjadi di sana melalui
orang atau badan yang bukan merupakan agen yang berdiri sendiri dimana
baginya berlaku ayat 7.
7. Suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di negara pihak pada Persetujuan lainnya tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri sepanjang orang atau badan tersebut bertindak dalam rangka usahanya yang lazim. Walaupun demikian, bilamana kegiatan agen dimaksud lebih dari 60 % dilakukan untuk atau atas nama perusahaan itu, maka ia tidak akan dianggap sebagai agen yang berdiri sendiri dalam arti ayat ini.
8. Jika suatu perseroan yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada
Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh suatu perseroan yang merupakan
penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, atau menjalankan usaha
di negara lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap ataupun dengan
cara lainnya) maka hal itu tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa salah
satu dari perseroan itu merupakan bentuk usaha tetap dari perseroan lainnya.
Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TAK GERAK
1. Penghasilan yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak
pada Persetujuan dari harta tak gerak (termasuk penghasilan yang diperoleh
dari lahan pertanian) yang berada di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
dapat dikenakan pajak di negara lain tersebut.
2. Istilah harta tak gerak akan mempunyai arti sesuai dengan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan di mana harta yang bersangkutan berada. Namun demikian istilah tersebut meliputi benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha pertanian dan kehutanan, hak-hak terhadap mana ketentuan ketentuan dalam undang-undang umum mengenai pemilikan atas lahan berlaku, hak pakai atas hasil atas harta tak gerak serta hak atas pembayaran-pembayaran tetap ataupun tidak tetap sebagai balas jasa untuk pekerjaan atau hak untuk mengerjakan bahan-bahan galian, sumber sumber dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya. Kapal laut, perahu dan pesawat udara tidak dianggap sebagai harta tak gerak.
3. Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, penyewaan, atau dari penggunaan dalam bentuk apapun atas harta tak gerak.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 3 akan berlaku pula terhadap penghasilan
yang diperoleh dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan
dari harta tak gerak yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan bebas.
Pasal 7
LABA USAHA
1. Laba suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak
pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali jika
perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya
melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha
seperti tersebut diatas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak
di Negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang dianggap berasal dari
(a) bentuk usaha tetap tersebut; (b) penjualan yang dilakukan di Negara
lainnya berupa barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa
jenisnya seperti yang dijual melalui bentuk usaha tetap, atau (c) kegiatan-kegiatan
usaha lainnya yang dijalankan di negara lain itu yang sama atau jenisnya
serupa seperti yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap tersebut.
2. Tunduk pada ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing negara ialah laba yang dapat diharapkan diperoleh, seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama atau serupa dan yang mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dari perusahaan yang mempunyai bentuk usaha tetap itu.
3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk uasaha tetap itu, termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain. Namun pengurangan demikian tidak diperkenankan untuk pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain miliknya (selain dari penggantian biaya yang benar benar dikeluarkan) berupa royalti, biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan hak paten atau hak-hak lainnya, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya, tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap, jumlah-jumlah yang dibayarkan (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) oleh kantor pusatnya atau kanor-kantor lain miliknya, berupa royalti, biaya atau pembayaran lainnya yang serupa karena penggunaan paten atau penggunaan hak-hak lain, atau berupa komisi untuk jasa-jasa khusus yang dilakukan atau untuk manajemen atau, kecuali dalam usaha perbankan, berupa bunga atas uang yang dipinjamkan kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lainnya.
4. Sepanjang merupakan kebiasaan di Negara pihak pada Persetujuan untuk menentukan besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap berdasarkan suatu pembagian secara sebanding atas seluruh laba berbagai bagian dari perusahaan, maka ketentuan ayat 2 tidak akan menghalangi Negara pihak pada Persetujuan itu untuk menentukan besarnya laba yang akan dikenakan pajak berdasarkan pembagian secara sebanding seperti yang lazim digunakan; namun, cara pembagian secara sebanding tersebut harus sedemikian rupa sehingga hasilnya akan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal ini.
5. Untuk kepentingan ayat-ayat sebelumnya, besarnya laba yang dianggap berasal dari bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk menyimpang.
6. Jika dalam jumlah laba terdapat penghasilan-penghasilan lain yang
diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam persetujuan ini, maka
ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh ketentuan-ketentuan
Pasal ini.
Pasal 8
PERKAPALAN DAN PENGANGKUTAN UDARA
1. Laba yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan yang
diperoleh perusahaan dari Negara pada persetujuan lainnya dari pengoperasian
kapal-kapal di jalur lalu lintas internasional dapat dikenakan pajak di
Negara yang disebut pertama, tetapi pengenaan pajak akan dikurangi sejumlah
50 % nya.
2. Laba dari pengoperasian pesawat udara di jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana perusahaan yang mengoperasikan pesawat udara merupakan penduduk.
3. Ketentuan ayat 1 akan berlaku pula terhadap laba yang diperoleh dari
penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha patungan, atau
dari suatu perwakilan usaha internasional.
Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
1. Apabila :
(a) suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan baik
secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan
atau modal suatu perusahaan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya,
atau
(b) orang atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung
turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari
suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan lainnya,
dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan
dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau ditetapkan syarat-syarat
yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara perusahaan-perusahaan yang
sama sekali bebas satu sama lain, maka laba yang seharusnya diterima oleh
salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterima
karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan
itu dan dikenakan pajak.
2. Apabila suatu Negara pihak pada Persetujuan melakukan pembetulan
atas laba suatu perusahaan di Negara itu dan dikenakan pajak, sedang bagian
laba yang dibetulkan itu adalah juga laba perusahaan yang telah dikenakan
pajak di negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya
diperoleh perusahaan di Negara yang disebut pertama akibat adanya syarat-syarat
yang dibuat antara kedua perusahaan menyimpang dari yang lazim diadakan
antara perusahaan-perusahaan yang bebas, maka Negara lain itu akan melakukan
penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenakan pajak dari perusahaan
di negara lain tersebut. Penyesuaian-penyesuaian tersebut harus dilakukan
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini dan
apabila dianggap perlu pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara
pihak pada Persetujuan akan saling berkonsultasi.
Pasal 10
DIVIDEN
1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan di
suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian, dividen itu dapat juga dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana perseroan yang membayarkan dividen tersebut
berkedudukan dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, akan
tetapi apabila penerima deviden adalah pemilik saham yang menikmati dividen
itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 15 % dari jumlah bruto
dividen.
Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan menetapkan dengan persetujuan akan menetapkan dengan persetujuan bersama
cara penerapan mengenai pembatasan tarip ini.
Ketentuan-ketentuan dari ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan
pajak terhadap perseroan atas labanya, dari mana dividen tersebut dibayarkan.
3. Istilah dividen sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan
dari saham saham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat
piutang, namun berhak atas pembagian laba, demikian pula penghasilan dari
hak-hak dari perseroan lainnya yang diperlakukan sama dalam pengenaan pajaknya
sebagai penghasilan dari saham-saham oleh undang-undang negara dimana perusahaan
yang membagikan dividen berkedudukan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik saham yang menikmati dividen yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada persetujuan, menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan lainnya di mana perseroan yang membayarkan dividen berkedudukan, atau menjalankan pekerjaan bebas di negara lainnya melalui suatu tempat tetap yang berada di sana, dan pemilikan saham-saham atas nama deviden itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian, tergantung pada permasalahannya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.
5. Apabila suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, Negara lain tersebut tidak boleh mengenakan pajak apapun juga atas dividen yang dibayarkan oleh perseroan itu kecuali apabila dividen itu dibayarkan kepada penduduk negara lain itu atau apabila penguasaan saham-saham atas nama dividen itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang berada di Negara lain itu, demikian pula tidak boleh mengenakan pajak atas laba perseroan yang tidak dibagikan, meskipun dividen yang dibayarkan atau laba yang tidak dibagikan tersebut seluruhnya atau sebagian berasal dari laba atau penghasilan yang diperoleh di Negara lain tersebut.
6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini, perseroan
yang merupakan penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan mempunyai bentuk
usaha tetap di Negara pada Persetujuan lainnya, laba dari bentuk usaha
tetap tersebut dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lainnya sesuai
dengan undang-undang negara tersebut.
Pasal 11
BUNGA
1. Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat
dikenakan pajak di negara lain tersebut.
2. Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak
pada Persetujuan di mana bunga itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan
Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemberi pinjaman
yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi
15 % dari jumlah kotor bunga.
Pejabat yang berwenang kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menetapkan
cara penerapan mengenai pembatasan ini melalui suatu persetujuan bersama.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 2, bunga yang berasal dai
suatu Negara pihak pada Persetujuan dan diperoleh Pemerintah dari Negara
pihak pada Persetujuan lainnya termasuk pemerintah daerahnya, Bank Sentral
atau lembaga keuangan di bawah pengawasan Pemerintah, akan dibebaskan dari
pengenaan pajak di Negara yang disebut pertama.
4. Dengan menunjuk ayat 3, istilah Bank Sentral dan lembaga keuangan
di bawah pengawasan pemerintah berarti :
(a) dalam hal Indonesia :
(i) Bank Indonesia (Bank Sentral Indonesia);
(ii) lembaga keuangan lainnya, yang modal sepenuhnya dimiliki
oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang dimufakati dari waktu ke waktu
antara Pemerintah kedua Negara pihak pada Persetujuan.
(b) dalam hal Sri Lanka :
(i) Bank Sentral Sri Lanka
(ii) lembaga keuangan lainnya, yang modal sepenuhnya dimiliki
oleh Pemerintah Sri Lanka, yang dimufakati dari waktu ke waktu antara Pemerintah
kedua Negara pihak pada Persetujuan.
5. Istilah bunga seperti yang dipergunakan dalam Pasal ini berarti
penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan
hipotik ataupun tidak, dan baik yang berhak mapun yang tidak berhak atas
bagian laba debitur dan pada khususnya penghasilan dari surat-surat berharga
pemerintah dan penghasilan dari obligasi atau surat-surat hutang termasuk
premi dan hadiah-hadiah yang terikat pada surat-surat berharga, obligasi
maupun surat-surat hutang tersebut demikian pula penghasilan yang oleh
undang-undang perpajakan dari Negara di mana penghasilan itu timbul dipersamakan
dengan penghasilan dari pinjaman uang, termasuk bunga atas penjualan yang
pembayarannya dilakukan kemudian.
6. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemberi pinjaman yang menikmati bunga yang berkedudukan di suatu Negara pihak Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya di mana bunga itu berasal melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau menjalankan pekerjaan bebas di Negara lainnya melalui suatu tempat tetap yang berada disana, dan tagihan piutang atas nama bunga itu dibayar mempunyai hubungan yang efektif dengan (a) bentuk usaha tetap atau tempat tetap, atau (b) dengan kegiatan usaha yang menunjuk pada Pasal 7 ayat 1 butir c. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.
7. Bunga dianggap berasal dari suatu negara pihak pada Persetujuan apabila yang membayar bunga adalah Negara itu sendiri, pemerintah daerah, atau penduduk negara itu. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayar bunga itu, tanpa memandang apakah ia penduduk Negara pihak pada Persetujuan atau bukan, mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat tetap di Negara pihak pada Persetujuan dalam hubungan mana hutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu telah dibuat, dan bunga itu menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan di mana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
8. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga
dengan penerima yang menikmati bunga atau antara kedua-duanya dengan orang
atau badan lain, dengan memperhatikan besarnya tagihan piutang, bunga yang
dibayarkan melebihi jumlah yang telah disetujui antara pembayar dengan
penerima yang menikmati bunga tersebut seandainya hubungan istimewa itu
tidak ada, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini hanya berlaku atas jumlah
yang disebut kemudian. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan yang dibayarkan
akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
lain dalam persetujuan ini.
Pasal 12
ROYALTI
1. Royalti yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan
dibayarkan kepada penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya dapat
dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan di mana royalti itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan
negara tersebut, tetapi apabila penerima royalti adalah pemilik hak yang
menikmati royalti itu, maka pajak yang dikenakan akan melebihi 15 % dari
jumlah bruto royalti.
Pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan
menetapkan cara penerapan mengenai pembatasan ini melalui suatu persetujuan
bersama
3. Istilah royalti sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti pembayaran
dalam bentuk apapun yang diterima sebagai balas jasa karena penggunaan
atau hak untuk menggunakan, hak cipta kesusasteraan, karya seni atau karya
ilmiah, termasuk film sinematografi atau film film atau pita-pita yang
digunakan untuk siaran radio atau televisi, paten merk dagang, pola atau
model, rencana, rumus, atau cara pengolahan yang dirahasiakan, atau untuk
penggunaan, atau hak untuk menggunakan, perlengkapan industri, perniagaan
atau ilmu pengetahuan informasi yang menyangkut pengalaman di bidang industri,
perniagaan atau ilmu pengetahuan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima royalti yang berhak menikmatinya, yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak pada Persetujuan lainnya di mana royalti itu berasal, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau melakukan suatu pekerjaan bebas di Negara lain itu melalui suatu tempat tetap yang berada di sana, dan hak atau milik sehubungan dengan royalti itu dibayarkan mempunyai hubungan yang efektif dengan (a) bentuk usaha tetap atau tempat tetap, atau dengan (b) kegiatan usaha yang menunjuk Pasal 7 ayat 1 butir (c). Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau 14.
5. Royalti dapat dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan apabila pembayar royalti itu adalah Negara itu sendiri, pemerintah daerah, atau penduduk dari Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang dan badan yang membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia penduduk salah satu negara pihak pada Persetujuan atau tidak, memiliki suatu bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam hubungan mana kewajiban untuk membayar royalti itu dibuat, dan royalti tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka royalti tersebut akan dianggap berasal dari negara di mana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.
6. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar royalti
dengan pemilik hak yang menikmati royalti itu atau antara kedua-duanya
dengan orang atau badan lain, jumlah royalti yang dibayarkan, dengan memperhatikan
pemakaian, hak atau keterangan untuk mana royalti itu dibayar melebihi
jumlah yang seharusnya telah disepakati oleh pembayar dengan pemilik hak
yang menikmati royalti seandainya hubungan istimewa tersebut tidak ada,
maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini hanya akan berlaku bagi jumlah
yang disebut kemudian. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran
tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
lain dalam persetujuan ini.
Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHTANGANAN HARTA
1. Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan
dari pemindahtanganan harta tak gerak, seperti disebutkan dalam Pasal 6,
dan terletak di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dapat dikenakan
pajak di Negara lain tersebut.
2. Keuntungan dari pemindahtanganan harta tak gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya atau dari harta gerak suatu tempat tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya untuk maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha tetap (tersendiri atau dengan seluruh perusahaan) atau tempat tetap, dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
3. Keuntungan yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu lintas internasional atau dari harta gerak yang berkenaan dengan pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat-pesawat udara tersebut, hanya akan dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
4. Keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan setiap harta selain dari yang telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di mana yang memindahtangankan berkedudukan.
5. Istilah pemindahtanganan berarti penjualan, pertukaran, pengalihan,
atau pelepasan harta atau penghapusan setiap hak yang ada atau kewajiban
yang diperoleh berdasarkan undang undang yang berlaku di masing-masing
Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS
1. Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada
Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan bebas yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan
lainnya yang serupa, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali
ia mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan di Negara pihak pada Persetujuan lain itu
atau ia berada di Negara lainnya tersebut untuk suatu masa atau masa masa
yang jumlahnya melebihi 90 hari dalam masa 12 bulan. Jika ia mempunyai
suatu tempat tetap atau berada di negara lain itu untuk masa atau masa-masa
seperti tersebut di atas, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak
di Negara lainnya tetapi hanya bagian penghasilan yang dianggap berasal
dari tempat tetap tersebut atau yang diperoleh dari Negara lain tersebut
selama masa atau masa-masa tersebut.
2. Istilah pekerjaan bebas meliputi khususnya pekerjaan bebas di bidang
ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, kegiatan pendidikan atau pengajaran,
demikian pula pekerjaan pekerjaan bebas oleh para dokter, ahli hukum, ahli
tehnik, arsitek, dokter gigi dan akuntan.
Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA
1. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18, 19, 20 dan 21, gaji,
upah dan balas jasa lain yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara
pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukannya dalam
hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika
pekerjaan itu dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya. Jika
pekerjaan itu dilakukan demikian, maka balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan
itu dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh
seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya hanya
akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama, apabila :
a) penerima balas jasa berada di Negara lain itu dalam suatu masa atau
masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan
b) balas jasa itu dibayarkan oleh, atau atas nama majikan yang bukan
merupakan penduduk Negara lain tersebut; dan
c) balas jasa itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat
tetap yang dimiliki oleh majikan itu di Negara lain tersebut.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Pasal ini,
balas jasa yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja
yang dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan
dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari Negara pihak
pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di negara tersebut.
Pasal 16
PENGHASILAN PARA DIREKTUR
1. Penghasilan-penghasilan para direktur dan pembayaran-pembayaran
serupa lainnya yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam
kedudukannya sebagai anggota dewan komisaris atau jabatan lain yang serupa
dari perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara tersebut.
2. Gaji, upah dan balas jasa lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk
dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai seorang
manajer tingkat atas dari suatu perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara
pihak pada Persetujuan lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.
Pasal 17
PARA SENIMAN DAN OLAHRAGAWAN
1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 14 dan 15, penghasilan
yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan sebagai seniman,
seperti artis teater, film, radio atau televisi, dan pemain musik,
atau sebagai olahragawan dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka yang dilakukan
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dapat dikenakan pajak di Negara
lain tersebut.
2. Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pribadi yang dilakukan oleh seniman atau olahragawan tersebut tersebut diterima bukan oleh seniman atau olahragawan itu sendiri tetapi oleh orang atau badan lain, menyimpang dari ketentuan-ketentuan pada Pasal pasal 7, 14 dan 15, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan seniman atau olahragawan itu dilakukan.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2, penghasilan
yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan seperti disebut dalam ayat 1 yang
dilakukan berdasarkan persetujuan atau pengaturan kebudayaan antara kedua
Negara pihak pada Persetujuan akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara
pihak pada Persetujuan tempat kegiatan tersebut dilakukan jika kedatangan
di Negara tersebut seluruhnya atau sebagian besar dibiayai oleh salah satu
Negara pihak pada Persetujuan, pemerintah daerah atau lembaga pemerintahnya.
Pasal 18
PENSIUN DAN JAMINAN SOSIAL
1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 2, setiap
pensiun atau balas jasa lainnya yang sejenis yang dibayarkan kepada penduduk
salah satu Negara pihak pada Persetujuan yang berasal dari sumber di Negara
pihak pada Persetujuan lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jasa pada
masa lalu di Negara lain tersebut dan setiap tunjangan hari tua yang dibayarkan
kepada penduduk yang berasal dari sumber di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dapat dikenakan pajak di negara lainnya tersebut.
2. Istilah tunjangan hari tua berarti suatu jumlah tertentu yang dibayarkan secara berkala pada waktu tertentu selama hidup atau selama masa atau jangka waktu tertentu, berdasarkan suatu kewajiban untuk melakukan pembayaran yang memadai dan penuh dalam bentuk uang atau yang dapat dinilai dengan uang sebagai penggantian balas jasa.
3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, pensiun yang dibayarkan
atau pembayaran pembayaran lainnya yang dilakukan berdasarkan suatu program
pemerintah yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial dari Negara
pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
Pasal 19
JABATAN PEMERINTAH
1. (a) Balas jasa, selain dari pensiun, yang dibayarkan oleh Negara
pihak pada Persetujuan, atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan
dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara tersebut atau pemerintah
daerahnya hanya dikenakan pajak di Negara itu.
(b) Namun demikian, balas jasa tersebut hanya akan dikenakan pajak
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, apabila jasa-jasa tersebut diberikan
di Negara lain tersebut dan orang tersebut adalah penduduk Negara
itu yang :
(i) merupakan warganegara Negara itu; atau
(ii) tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata karena bermaksud
untuk memberikan jasa-jasanya.
2. Pensiun yang dibayarkan oleh, atau dari dana-dana yang dibentuk
oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya kepada
seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara itu
atau pemerintah daerahnya hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.
3. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 15, 16, dan 18 akan berlaku terhadap balas jasa dan pensiun dari jasa -jasa yang diberikan sehubungan dengan usaha yang dijalankan oleh Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya.
4. Sehubungan dengan Pasal ini, istilah Pemerintah termasuk setiap Pemerintah
Negara Bagian atau pemerintah daerah dari masing-masing Negara pihak pada
Persetujuan, dan Bank Sentral dari masing-masing Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 20
GURU DAN PENELITI
1. Dosen. guru atau peneliti yang mengadakan kunjungan sementara ke
Negara pihak pada Persetujuan untuk tujuan mengajar atau melakukan penelitian
pada universitas, akademi, sekolah atau lembaga pendidikan yang diakui
lainnya dan yang pada saat atau sebelumnya mengadakan kunjungan adalah
penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya akan dibebaskan dari
pengenaan pajak di Negara yang disebut pertama untuk jangka waktu tidak
melebihi dua tahun sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh dari mengajar
atau dari penelitian tersebut.
2. Pasal ini tidak akan berlaku untuk penghasilan yang diterima oleh
dosen atau guru dari kegiatan penelitian jika penelitian itu dilaksanakan
terutama untuk keuntungan pribadi bagi orang-orang atau badan-badan tertentu.
Pasal 21
SISWA DAN PESERTA LATIHAN
Pembayaran yang diterima oleh siswa, pekerja magang atau peserta latihan
di bidang usaha yang pada saat atau sebelum mengadakan kunjungan ke suatu
Negara pihak pada Persetujuan, adalah penduduk Negara pihak pada Persetujuan
lainnya dan yang kehadirannya di Negara yang disebut pertama semata-mata
untuk tujuan pendidikan atau latihan untuk membiayai keperluan hidupnya,
pendidikan atau latihannya, tidak akan dikenakan pajak di negara yang disebut
pertama sepanjang pembayaran yang diberikan kepada mereka tersebut berasal
dari sumber sumber di luar negara tersebut.
Pasal 22
PENGHASILAN LAINNYA
Undang-undang yang berlaku di masing-masing Negara akan tetap berlaku
untuk pengenaan pajak atas penghasilan kecuali jika ada ketentuan-ketentuan
dalam persetujuan ini mengatur yang sebaliknya.
Pasal 23
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
1. Undang-undang yang berlaku di masing-masing negara akan tetap berlaku
untuk pengenaan pajak atas penghasilan di masing-masing Negara pihak pada
Persetujuan kecuali jika Persetujuan ini mengatur sebaliknya, Apabila penghasilan
itu dikenakan pajak di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka pencegahan
atas pengenaan pajak berganda tersebut akan dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan
ayat-ayat berikut dalam Pasal ini.
2. Apabila seorang penduduk Indonesia memperoleh penghasilan dari Sri Lanka dan penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Sri Lanka berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, maka jumlah pajak Sri Lanka yang terhutang atas penghasilan itu akan diperkenankan untuk dikurangkan dari pajak Indonesia yang dikenakan pada penduduk tersebut. Namun demikian, jumlah pajak yang boleh dikurangkan itu tidak akan melebihi bagian dari pajak Indonesia yang sesuai dengan penghasilan yang diperoleh dari Sri Lanka tersebut.
3. Apabila seorang penduduk Sri Lanka memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Indonesia berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, maka jumlah pajak Indonesia
yang terhutang atas penghasilan itu akan diperkenankan untuk dikurangkan
dari pajak Sri Lanka yang dikenakan pada penduduk tersebut. Namun demikian,
jumlah pajak yang boleh dikurangkan itu tidak akan melebihi bagian dari
pajak Sri Lanka yang sesuai dengan penghasilan yang diperoleh dari Indonesia
tersebut.
4. (a) Pengertian pengurangan pajak di suatu Negara pihak pada Persetujuan
termasuk pajak yang seharusnya dibayar di Negara pihak pada Persetujuan
lainnya akan tetapi diturunkan tarifnya atau dibebaskan oleh Negara tersebut
berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangannya dalam rangka pemberian
insentip di bidang perpajakan.
(b) Ketentuan ini akan berlaku untuk tiga tahun pertama setelah Persetujuan
ini berlaku dan para pejabat yang berwenang akan berkonsultasi untuk menentukan
peraturan tentang insentip perpajakan yang memenuhi syarat untuk diterapkannya
ketentuan ini.
Pasal 24
NON-DISKRIMINASI
1. Warganegara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan
dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan itu di Negara pihak
pada Persetujuan lainnya, yang berlainan atau lebih memberatkan dari pada
pengenaan pajak atau kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan itu,
yang dapat dikenakan atau mungkin akan dikenakan terhadap warganegara dari
Negara lainnya dalam keadaan yang sama.
2. Pengenaan pajak suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan di Negara lain tersebut, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan di Negara lainnya yang menjalankan kegiatan kegiatan yang sama. Ketentuan ini tidak akan ditafsirkan sebagai mewajibkan Negara pihak pada Persetujuan lainnya suatu potongan pribadi, keringanan-keringanan dan pengurangan pengurangan untuk kepentingan perpajakan dalam kedudukannya sebagai penduduk atau kepala keluarga yang hanya diberikan kepada penduduknya.
3. Perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki atau dikuasai baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satu atau lebih penduduk Negara pihak pada Persetujuan lainnya, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berhubungan dengan itu di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama, yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak ataupun kewajiban yang berkaitan dengan itu, jika dibandingkan dengan pengenaan pajak terhadap perusahaan lain yang serupa di Negara pihak pada Persetujuan yang disebut pertama.
4. Dalam Pasal ini istilah pajak berarti pajak-pajak yang dicakup
dalam Persetujuan ini.
Pasal 25
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA
1. Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan
salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau
akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Persetujuan ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian
yang diatur oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara,
ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara
pihak pada Persetujuan di mana ia mejadi penduduk Negara itu atau, jika
masalahnya timbul karena Pasal 24 ayat 1, terhadap Negara pihak pada Persetujuan
dimana ia menjadi warga negara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu
dua tahun sejak tanggal diterimanya pemberitahuan mengenai tindakan yang
menimbulkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Persetujuan ini.
2. Pejabat yang berwenang akan berusaha, apabila keberatan yang diajukan itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, akan menyelesaikan masalah itu melalui persetujuan bersama dengan Pejabat yang berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan lainnya, dengan maksud untuk menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.
3. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan Persetujuan ini melalui suatu persetujuan bersama. Mereka dapat juga berkonsultasi satu sama lain untuk mencegah pengenaan pajak berganda terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Persetujuan.
4. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai suatu persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat ayat sebelumnya. Para pejabat yang berwenang,
melalui konsultasi, akan mengembangkan prosedur yang sesuai, kondisi, metoda
dan tehnik-tehnik untuk pelaksanaan tatacara persetujuan bersama yang ditetapkan
di dalam Pasal ini.
Pasal 26
PERTUKARAN INFORMASI
1. Para pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan
akan melakukan tukar-menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini atau undang-undang nasional di
kedua Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pajak-pajak yang
dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak tersebut tidak bertentangan
dengan Persetujuan ini, khususnya untuk mencegah terjadinya penggelapan
atau pengelakan pajak-pajak tersebut. Pertukaran informasi yang diterima
oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dijaga kerahasiaannya seperti
halnya informasi yang diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional
Negara tersebut. Namun demikian, apabila informasi tersebut yang semula
diperlakukan secara rahasia di Negara asalnya, informasi tersebut hanya
akan diungkapkan pada orang atau badan atau para pejabat (termasuk pengadilan
dan badan-badan administratif) yang terlibat di dalam penetapan atau penagihan,
pelaksanaan undang-undang atau penuntutan sehubungan dengan, atau penentuan
keputusan mengenai banding berkaitan dengan, pajak-pajak yang diatur dalam
persetujuan. Orang atau badan atau para pejabat tersebut akan mempergunakan
informasi itu hanya untuk maksud tersebut di atas tetapi dapat pula mengungkapkannya
di dalam peradilan umum atau dalam keputusan-keputusan pengadilan.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 sama sekali tidak akan ditafsirkan untuk
mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan :
(a) untuk melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan
dengan perundang-undangan dan praktek administrasi di Negara tersebut atau
di Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(b) untuk memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh berdasarkan
perundang undangan atau dalam pelaksanaan administrasi yang lazim di Negara
tersebut atau Negara pihak pada Persetujuan lainnya;
(c) untuk memberikan informasi yang akan mengungkapkan setiap rahasia
di bidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau
tata cara perdagangan atau informasi yang pengungkapannya akan bertentangan
dengan kebijaksanaan umum.
Pasal 27
KETENTUAN-KETENTUAN UMUM
Ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini tidak akan ditafsirkan sebagai
pembatasan apapun, juga terhadap setiap pengecualian, pembebasan, pengurangan,
potongan, atau hak-hak lainnya yang diberikan sekarang atau kemudian :
(a) oleh undang-undang salah satu Negara pihak pada Persetujuan dalam
menetapkan pajak yang dikenakan oleh Negara pihak pada Persetujuan tersebut.
atau
(b) oleh setiap pengaturan khusus terhadap perpajakan dalam hubungan
kerjasama ekonomi atau tehnik antara Negara pihak pada Persetujuan.
Pasal 28
PEJABAT DIPLOMATIK DAN KONSULAT
Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang
perpajakan dari para pejabat diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan
umum dalam hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
suatu persetujuan khusus.
Pasal 29
SAAT BERLAKUNYA PERSETUJUAN
1. Persetujuan ini akan disahkan dan Piagam Pengesahan itu akan dipertukarkan
di Jakarta secepat mungkin.
2. Persetujuan ini akan berlaku pada saat pertukaran Piagam Pengesahan
dan akan berlaku :
(a) di Indonesia :
sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh pada atau setelah
1 Januari pada tahun berikutnya dimana Persetujuan ini berlaku.
(b) di Sri Lanka :
sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh pada atau setelah
1 April pada tahun berikutnya dimana Persetujuan ini berlaku.
Pasal 30
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN
Persetujuan ini akan tetap berlaku hingga diakhiri oleh salah satu
Negara pihak pada Persetujuan. Masing-masing Negara pihak pada Persetujuan
dapat mengakhiri Persetujuan ini melalui saluran diplomatik, dengan menyampaikan
pemberitahuan tertulis tentang berakhirnya Persetujuan pada atau sebelum
tanggal 30 Juni tahun takwim berikutnya setelah masa lima tahun berlakunya
persetujuan ini.
Dalam hal demikian, persetujuan ini tidak akan berlaku lagi :
(a) di Indonesia :
terhadap penghasilan yang diperoleh pada atau setelah 1 Januari
pada tahun berikutnya dimana pemberitahuan berkahirnya persetujuan tersebut
diberikan.
(b) di Sri Lanka :
terhadap penghasilan yang diperoleh pada atau setelah 1 April
pada tahun berikutnya dimana pemberitahuan berakhirnya persetujuan tersebut
diberikan.
SEBAGAI BUKTI para penandatanganan di bawah ini, yang telah diberi
kuasa yang sah, telah menandatangani Persetujuan ini.
DIBUAT dalam rangkap dua di Colombo, tanggal 3 Pebruari 1993, dalam
Bahasa Indonesia, Bahasa Sinhala dan Bahasa Inggris semua naskah tersebut
merupakan naskah asli. Dalam hal terjadi perbedaan dalam penafsiran, maka
yang berlaku adalah naskah Bahasa Inggris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Republik Sosialis Demokrasi SriLanka