Blog Tools
Edit your Blog
Build a Blog
RSS Feed
View Profile
« September 2018 »
S M T W T F S
1
2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28 29
30
You are not logged in. Log in
Entries by Topic
All topics  «
Tax News
Friday, 5 March 2004
Tax Ratio APBN 2004 ditetapkan 13,6%
Mood:  energetic
Menkeu Boediono dalam raker dengan komisi IX DPR menyatakan dalam APBN 2004 tax ration ditetapkan 13,6% dengan asumsi penerimaan perpajakan ditargetkan 272,2 trilliun rupiah,

Sumber : Bisnis News, 2 Maret 2004

Posted by budiarta at 1:20 PM
Post Comment | Permalink
Wednesday, 18 February 2004
Depkeu tutup pintu bagi tax amnesty
Mood:  irritated
Pemerintah menutup 'pintu' terhadap usulan kebijakan tax amnesty yang dilemparkan dunia usaha karena menilai kondisi perpajakan dan wajib pajak belum siap ketika pengampunan pajak diimplementasikan.
Menkeu mengatakan pemeberian pengampunan tidak efektif untuk memperbaiki iklim bisbnis di Indonesia karena investor lebih sensitif pada isu yang saat ini sedang dibenahi melalui Inpres No 5/2003 ttg paket kebijakan ekomoni menjelang dan pasca IMF
Sumber : Bisnis Indonesia, 18 Feb 2004

Posted by budiarta at 12:56 PM
Post Comment | Permalink
Usulan terbaru Ditjen Pajak PPh 21 tertinggi 52,5%
Mood:  irritated
13/2/2004, Sumber Bisnis Indonesia
Usulan terbaru Ditjen Pajak PPh 21 tertinggi 52,5%

JAKARTA (Bisnis): Ditjen Pajak tetap mengusulkan membedakan tarif PPh Pasal 21 berdasarkan kepemilikan nomor pokok wajib pajak, namun lapisan tarif dibuat lebih kompleks dan lebih tinggi hingga mencapai 52,5%.

Dalam pokok-pokok pikiran RUU Perpajakan yang diperoleh Bisnis sebelumnya, Ditjen Pajak mengusulkan empat lapisan tarif PPh Pasal 21 yaitu di atas Rp 1 juta hingga Rp 5 juta; di atas Rp 5 juta hingga Rp 9 juta; di atas Rp 9 juta hingga Rp18 juta; dan di atas 18 juta per bulan.

Masing-masing lapisan pajak tersebut dikenakan PPh Pasal 21 sebesar 10%, 15%, 25% dan 25% jika wajib pajak memiliki NPWP dan 20%, 25%, 35%, dan 45% jika wajib pajak tidak mempunyai NPWP. (Bisnis, 16 Desember 2003)

Namun dalam draf terbaru, Ditjen Pajak mengusulkan enam lapisan tarif dengan tarif maksimal 52,5%. (lihat tabel)

"Pembedaan tarif PPh Pasal 21 ini dimaksudkan agar setiap wajib pajak orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) mempunyai NPWP. Bayangkan dari 220 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 2 juta yang telah ber-NPWP. Kemana yang lainnya?" ujar sumber Bisnis di Departemen Keuangan tadi malam.

PPh Pasal 21 dikenakan atas penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi.

Penghasilan tersebut dapat berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan.

Dia menjelaskan pengenaan PPh Pasal 21 atas karyawan yang berlaku saat ini tidak dibedakan antara mereka yang mempunyai NPWP atau tidak mempunyai NPWP.

"Jika pada akhir tahun ternyata pajak penghasilan yang dipungut melebihi utang pajak yang seharusnya dibayar, maka atas kelebihan pembayaran tersebut dapat dilakukan restitusi sederhana," katanya.

Kriteria WP

Dalam RUU itu juga diatur kriteria karyawan yang wajib ber-NPWP. Pertama, karyawan yang mempunyai penghasilan bruto hingga Rp1 juta per bulan tidak wajib mempunyai NPWP dan tidak dikenakan PPh Pasal 21.

Kedua, karyawan dengan penghasilan bruto di atas Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan wajib mempunyai NPWP namun tidak wajib mengisi surat pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi.

Ketiga, karyawan dengan penghasilan bruto di atas Rp 2 juta hingga Rp 4 juta per bulan, wajib NPWP dan cukup menyampaikan Formulir 1721 A1 atau A2, daftar harta/kewajiban dan daftar PPh final sebagai pengganti SPT Tahunan PPh orang pribadi.

Keempat, karyawan dengan penghasilan bruto di atas Rp 4 juta per bulan diwajibkan mengisi SPT form 1770 normal (SPT Tahunan).

Tarif umum PPh bagi orang pribadi sendiri tidak mengalami perubahan dibanding undang-undang yang berlaku saat ini, yaitu penghasilan hingga Rp 25 juta per tahun dikenakan PPh 5%.

Sedangkan penghasilan di atas Rp 25 juta hingga Rp 50 juta dikenakan 10%, di atas Rp50 juta hingga Rp100 juta kena 15%, di atas Rp 100 juta hingga Rp 200 juta dikenakan 25% dan di atas Rp 200 juta per tahun dikenakan 35%.

Dipertanyakan

Namun pengamat masalah perpajakan menilai rencana penerapan tarif pajak penghasilan progresif semestinya memperhatikan kemampuan administrasi perpajakan dan kondisi masyarakat 'marginal' yang baru mengenal NPWP.

Menurut Muchtar Tumin, Sekjen Ikatan Akuntan Pajak, usulan pentarifan pajak penghasilan progresif yang ditawarkan pemerintah dalam RUU Perpajakan tersebut tidak mengakomodasi kondisi obyek pajak dan kemampuan Ditjen Pajak sendiri.

"Sejauh yang saya tahu, model pajak penghasilan seperti itu hanya diterapkan di Indonesia. Tapi, tolong dicek dulu apakah administrasi [Kantor Pajak] mampu mengatasi. Dan lihat masyarakat kita adalah masyarakat marginal baru tahu NPWP," paparnya kepada Bisnis di Jakarta tadi malam.

Pilihan tarif 35% bagi yang ber-NPWP, sambungnya, menunjukkan Ditjen Pajak kurang percaya diri teradap target meningkatkan objek pajak itu.

Dia melihat pemerintah memaksa masyarakat untuk memiliki NPWP dan bukannya didorong atas kesadaran wajib pajak.

Karena itu dia menduga, rencana pengenaan tarif pajak penghasilan tersebut kurang efektif untuk kondisi masyarakat dan kemampuan administrasi seperti saat ini. Apalagi jika Ditjen Pajak tidak mampu menyederhanakan sistem SPT pajak yang masuk. (08/luz/par)




Posted by budiarta at 12:28 PM
Post Comment | Permalink
Pajak & jamuan untuk relasi
Mood:  lucky
13/2/2004, Sumber Bisnis Indonesia
Pajak & jamuan untuk relasi

Bagi warga Jakarta, apalagi mereka yang berkantong tebal, tentu tidak akan pusing bila harus menjamu atau men-entertain relasi. Di setiap pelosok Jakarta tersedia tempat-tempat bersantai untuk melemaskan kepenatan.

Anda senang, relasi Anda bahagia. Yang pusing adalah kepala bagian keuangan di perusahaan Anda. Dia kadang bingung bagaimana membukukan pengeluaran entertain tersebut.

Apalagi ketika petugas pajak datang melakukan pemeriksaan. Bukan hanya biaya entertain yang sering membuat pusing pengusaha. Pengeluaran lain seperti biaya riset, pelatihan, perjalanan dinas, promosi dan sebagainya juga sering membuat perselisihan karena ketidakjelasan aturan pajak.

Inilah salah satu poin yang dikeluhkan oleh Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dalam dengar pendapat dengan DPR belum lama ini.

Entertainment

Pada prinsipnya, semua pengeluaran perusahaan yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara (3M) penghasilan dapat dikurangkan terhadap penghasilan bruto. Tentu, jika benar-benar dikeluarkan dan ada bukti-bukti pendukungnya.

Biaya entartainment juga dapat dibiayakan. Ini diatur dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 27/PJ.22/1986 tentang Biaya Entertainment dan Sejenisnya, yang diteken Salamun AT pada 14 Juni 1986.

Dalam SE itu dinyatakan: biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya jika benar digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibiayakan.

Syaratnya, WP harus dapat membuktikan biaya tersebut benar telah dikeluarkan (formal) dan berhubungan dengan kegiatan perusahaan untuk keperluan 3M tadi (material).

Oleh karena itu, dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) harus dilampirkan daftar nominatif yang berisi: tanggal entertainment, nama, alamat, dan jenis tempat entertainment, dan jumlah (rupiah) yang dikeluarkan.

Identitas relasi yang mendapat entertainment juga harus jelas, siapa namanya, posisi/jabatannya, perusahaannya, dan jenis usahanya.

Litbang

Ketentuan pajak atas pengeluaran perusahaan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan juga sudah jelas aturan mainnya.

Dalam Kepmenkeu No. 769/KMK.04/1990 jo SE Dirjen Pajak No. 22/PJ.31/1990, dinyatakan semua biaya litbang yang nyata-nyata dikeluarkan perusahaan yang didukung bukti-bukti pembukuan dan terkait langsung dengan kegiatan usaha pada saat ini maupun di masa datang dapat dikategorikan sebagai biaya.

Termasuk dalam kategori biaya litbang adalah biaya untuk mengembangkan produk baik jenis maupun mutu, serta biaya untuk meningkatkan efisiensi, termasuk teknologi untuk mengembangkan proses produksi.

Biaya litbang-dalam kacamata pajak-dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, biaya-biaya yang harus disusutkan atau diamortisasi, seperti biaya untuk pembangunan gedung laboratorium. Biaya ini tidak dapat dikurangkan seketika, tapi harus disusutkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Kedua, biaya litbang sehari-hari. Ini dapat dikurangkan seketika, misalnya biaya untuk karyawan litbang dan biaya untuk membeli bahan-bahan penelitian.

Ketiga, biaya-biaya yang tidak masuk kedua kategori di atas. Misalnya biaya untuk konsultan. Jika biaya ini dianggap terlalu material sehingga jika dibebankan sekaligus akan membuat daya saing berkurang, perusahaan boleh membebankan secara amortisasi. Ketentuan pajak akan mengikutinya.

Pelatihan

Bagaimana dengan biaya pelatihan karyawan? Biaya ini, termasuk di dalamnya biaya pemagangan dan bea siswa, juga dapat dibiayakan.

Dasar hukumnya Kepmenkeu No. 770/KMK. 04/1990 tentang Perlakukan PPh atas biaya pelatihan karyawan, pemagangan dan bea siswa.

Semua biaya pelatihan dengan bukti yang sah dapat dikurangkan sebagai biaya. Pelatihan dapat dilakukan di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan. Bahkan pelatihan karyawan di luar negeri dapat dikurangkan sebagai biaya.

Biaya pemagangan juga dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan bruto. Baik pemagangan bagi calon karyawan maupun pemagangan untuk memenuhi anjuran pemerintah dapat dijadikan biaya.

Uang saku dan imbalan yang diterima para pemagang secara bulanan diperlakukan sama dengan honorarium tenaga lepas sehingga memperoleh pengurangan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) sebelum dikenakan PPh Pasal 21.

Promosi

Khusus bagi perusahaan rokok, Ditjen Pajak membuat aturan-tepatnya batasan-berapa pengeluaran promosi yang dapat dijadikan biaya.

Bagi perusahaan rokok dengan peredaran di bawah Rp 100 miliar, biaya promosi maksimal yang diizinkan adalah 5%. Sedangkan perusahaan dengan peredaran di atas Rp100 miliar maksimal 2% (SE Dirjen Pajak No. 29/PJ.42/1990).

Mengapa untuk perusahaan rokok biaya promosinya dibatasi? Perusahaan rokok adalah perusahaan padat promosi dan padat sumbangan. Kadang mereka tidak bisa memisahkan antara pengeluaran murni promosi dan pengeluaran sumbangan, karena keduanya digabungkan.

Namun, bagi perusahaan lain tidak ada batasan yang bersifat kuantitatif. Berapa pun biaya promosi yang dikeluarkan dapat dibiayakan sepanjang dilengkapi bukti sah dan benar-benar dikeluarkan dalam rangka 3M.

Meski tidak ada batasan kuantitatif, jika angkanya tidak wajar juga akan dilakukan koreksi. Misalnya, perusahaan dengan omzet Rp 100 miliar, namun biaya promosinya sampai Rp 15 miliar. Apakah itu wajar?

Dibandingkan dengan ketentuan lain, aturan perpajakan sebenarnya paling lengkap.

Sama saja dengan biaya perjalanan dinas. Jika biaya tersebut benar-benar dikeluarkan untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan pasti dapat dibiayakan.

Yang tidak bisa dibiayakan adalah pengeluaran perjalanan dinas bukan karyawan. Misalnya, pengeluaran untuk membiayai istri seorang direktur yang ikut pergi bersama suaminya yang sedang melakukan perjalanan tugas.

Demikian pula dengan biaya entertainment. Jika benar untuk entertainment, boleh-boleh saja. Tapi pemberian mobil, rumah atau cincin berlian untuk relasi jelas bukan entertainment. Itu adalah hadiah atau gift.

Oleh Parwito
Wartawan Bisnis Indonesia




Posted by budiarta at 12:01 PM
Post Comment | Permalink
Monday, 26 January 2004
Penegakan hukum perpajakan butuh sinergi
Depkeu menilai perlunya sinergi bersama dengan pihak kepolisian dalam upaya penegakan hukum dibidang perpajakan menyangkut sinkronisasi pelaksanaan di lapangan. Menkeu berbicara setelah penandatangan kesepakantan DJP-Polri di bidang penegakan hukum. Bentuk penegakan hukum itu meliputi pemeriksaan pajak, pemblokiran rekening bank WP, surat paksa, dan surat lelang, termasuk cekal dan penyanderaan serta penyidikan.

Bisnis Indonesia, 24 Jan 2003

Posted by budiarta at 2:17 PM
Post Comment | Permalink
Friday, 23 January 2004
DJP siapkan bank data nasional
Mood:  energetic
Tahun 2004 DJP berencana untuk membuat bank data nasional yang meliputi 28 indentitas unik yang ada di Indonesia untuk memonitor potensi ekonomi Wajib Pajak. Hal tsb untuk mengatasi kesulitan DJP untuk menggali informasi mengenai WP melalui akses bank, lalu lintas devidsa, money laundering, dan kartu kredit. Yang berhasil hanya akses WP dalam lingkup antar departemen.

sumber : bisnis Indonesia, 23 Jan 2004

Posted by budiarta at 2:05 PM
Post Comment | Permalink
Monday, 19 January 2004
Pemerintah jamin uang pajak kembali ke masyarakat
Mood:  energetic
Pemerintah akan menata 3 elemen penting dalam reformasi perpajakan agar uang pajak kembalai bagi kepentingan masyarakat tanpa adanya penyelewengan, kata Menkeu Boediono
Menurut Menkeu, tiga elemen tsb adalah :
Pertama, mengajukan UU Perpajakan yg baru
Kedua, menata kembali birokrasi perpajakan dengan meningkatkan pengawasan, penerapan, kode etik, pembenahan instansi, serta aturan lainnya secara konsisten
Ketiga, meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat di bidang pajak agar mereka lebih sadar dan ikut membayar pajak.
(sumber : Bisnis Indonesia, 19 Jan 2004

Posted by budiarta at 10:29 AM
Post Comment | Permalink
Tuesday, 13 January 2004
KPP BUMN
Mood:  happy
KPP BUMN telah diresmikan tanggal 29 Desember 2003 oleh Menko Kesra yang didampingi oleh Menkeu dan Meneg BUMN. KPP BUMN sebelumnya adalah KPP PND, yang berada di Kanwil VII Jaya Khusus, yang membawahi BUMN dan BUMD.
Dengan perubahan nama dan sistem admnistrasi (mirip seperti yang diberlakukan di KPP LTO), maka diharapkan para BUMN dapat ditingkangkatkan penerimaan pajaknya.

Posted by budiarta at 1:48 PM
Updated: Thursday, 15 January 2004 9:09 AM
Post Comment | Permalink

Newer | Latest | Older