UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Nomor 7 Tahun 1983 tentang
PAJAK PENGHASILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan
dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
selama satu tahun pajak.
BAB II
SUBYEK PAJAK
Pasal 2
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
a. 1) Orang pribadi atau perseorangan;
2) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan
yang berhak;
b. badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer,
badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan
koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
(2) Subyek Pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek
Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :
a. orang yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu dua belas bulan atau orang yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha, yang dipergunakan untuk
menjalankan kegiatan usaha secara teratur di Indonesia, oleh badan atau
perusahaan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, kantor cabang, kantor perwakilan,
agen, gedung kantor, pabrik, bengkel, proyek konstruksi, pertambangan dan
penggalian sumber alam, perikanan, tenaga ahli, pemberian jasa dalam bentuk
apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, orang atau badan yang kedudukannya
tidak bebas yang bertindak atas nama badan atau perusahaan yang tidak didirikan
atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan perusahaan asuransi yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek
Pajak yang tidak bertempat tinggal, tidak didirikan, atau tidak berkedudukan
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
(5) Seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan
di Indonesia ditentukan menurut keadaan sebenarnya.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu
badan berada, bertempat tinggal atau bertempat kedudukan.
Pasal 3
Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
:
a. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia, dan di Indonesia tidak melakukan pekerjaan
lain atau kegiatan usaha, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
b. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan;
c. Perusahaan Jawatan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB III
OBYEK PAJAK
Pasal 4
(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya :
a. Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau
imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
b. honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
c. laba bruto usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta,
termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota,
serta karena likuidasi;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan
sebagai biaya;
f. bunga;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan
oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi pengurus dan pengembalian Sisa
Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
h. royalti;
i. sewa dari harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang.
(2) Pengenaan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan-tabungan
lainnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(3) Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah :
a. harta hibahan atau bantuan yang tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan dari pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit
atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi
bea siswa;
d. penggantian berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang dinikmati
dalam bentuk natura, dengan ketentuan, bahwa yang memberikan penggantian
adalah Pemerintah atau Wajib Pajak menurut Undang-undang ini dan Wajib
Pajak yang memberikan penggantian tersebut, sesuai ketentuan dalam Pasal
9 ayat 1 huruf d tidak Mengurangkan penggantian itu sebagai biaya;
e. keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota
firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas
di dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, dengan syarat :
1) pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara
bersama-sama memiliki paling sedikit 90 % (sembilan puluh persen) dari
jumlah modal yang disetor;
2) pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak;
3) pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut dijamin.
f. harta yang diterima oleh perseroan, persekutuan atau badan
lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
g. dividen yang diterima oleh perseroan dalam negeri, selain
Bank atau lembaga Keuangan lainnya, dari Perseroan lain di Indonesia dengan
syarat, bahwa perseroan yang menerima dividen tersebut paling sedikit memiliki
25% (dua puluh lima persen) dari nilai saham yang disetor dari badan yang
membayar dividen dan kedua badan tsb mempunyai hubungan ekonomis dalam
jalur usahanya;
h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang disetujui
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun oleh karyawan,
dan penghasilan dana pensiun serupa dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang
tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan;
i. penghasilan Yayasan dari usaha yang semata-mata ditujukan
untuk kepentingan umum;
j. penghasilan Yayasan dari modal sepanjang penghasilan itu semata-mata
digunakan untuk kepentingan umum;
k. pembagian keuntungan dari perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi, dan persekutuan kepada para
anggotanya, kecuali apabila ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan, karena
terdapat penyalahgunaan;
l. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Reksa
Dana yang berasal dari investasi untuk kepentingan pemodal, berupa :
1) dividen dari Perseroan Terbatas yang didirikan di Indonesia,
2) bunga obligasi, dan
3) keuntungan dari penjualan atau pengalihan sepanjang seluruh
penghasilan bersih yang diterima atau diperoleh dibagikan kepada para pemodal
sebagai bagian keuntungan atau dividen;
m. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan Modal
Ventura yang berupa bagian keuntungan dari badan usaha yang didirikan di
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
keuntungan dari penjualan atau pengalihan penyertaan dengan persyaratan
:
1) penyertaan modal dari perusahaan Modal Ventura tersebut dilakukan
pada badan usaha yang melakukan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dan
2) penghasilan tersebut berasal dari badan usaha yang sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek.
Pasal 5
(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a. penghasilan dari kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya;
b. penghasilan induk perusahaan dan badan lain yang bukan Wajib
Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan
tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian
jasa di Indonesia, yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang
dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia,
kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(2) apabila induk perusahaan dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
atau badan lain yang bukan Wajib Pajak dalam negeri yang mempunyai hubungan
istimewa dengan induk perusahaan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia berdasarkan pasal 26, maka :
a. penghasilan bentuk usaha tetap itu tidak boleh dikurangi dengan
biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk perusahaan atau badan
lain tersebut;
b. pajak induk perusahaan atau badan lain itu tidak boleh dikreditkan
dengan pajak bentuk usaha tetap.
Pasal 6
(1) Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto
dikurangi :
a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus
atau gratifikasi, honorariun, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang
yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak,
kecuali pajak penghasilan;
b. penyusutan atas biaya untuk memperoleh harta berwujud perusahaan
dan amortisasi atas biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11;
c. iuran kepada dana pensiun yang mendapat persetujuan Menteri
Keuangan;
d. kerugian yang diderita karena penjualan atau pengalihan barang
dan/atau hak yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu;
e. Sisa Hasil Usaha Koperasi sehubungan dengan kegiatan usahanya
yang semata-mata dari dan untuk anggota.
(2) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam
negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Jika penghasilan bruto sesudah dikurangi biaya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan
dengan penghasilan dalam :
a. 5 (lima) tahun, atau
b. lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi tidak lebih dari 8 (delapan)
tahun khusus untuk jenis-jenis usaha tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan, terhitung mulai tahun pertama sesudah kerugian tersebut diderita.
Pasal 7
(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam
negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya
:
a. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk
diri Wajib Pajak;
b. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan
untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp. 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan
untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan
yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
d. Rp. 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan
untuk setiap orang keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus,
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
(tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun
pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan
disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Pasal 8
(1) Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak, begitu pula kerugian dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan isteri dari pekerjaan
yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 dan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan anak belum dewasa yang bukan dari pekerjaan dan penghasilan
dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha anggota keluarga lainnya,
digabung dengan penghasilan orang tuanya.
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan
dikurangkan :
a. pembayaran dividen atau pembagian laba lainnya dari perseroan
atau badan lainnya kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota dengan nama
dan dalam bentuk apapun, termasuk pembagian Sisa Hasil Usaha dari Koperasi
yang bukan pengembalian Sisa Hasil Usaha sehubungan dengan jasa anggota,
dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
dan biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu atau
anggota;
b. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali dalam hal-hal
yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah;
c. premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa kecuali jika dibayarkan pihak pemberi kerja dan
premi yang demikian itu dianggap sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak;
d. pemberian kenikmatan perjalanan cuti, kenikmatan rekreasi,
dan kenikmatan lainnya yang diperuntukkan bagi keperluan pegawai dari Wajib
Pajak, termasuk kenikmatan pemakaian kendaraan bermotor perusahaan dan
kenikmatan perumahan, kecuali perumahan di daerah terpencil berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan;
e. pembayaran yang melebihi kewajaran sebagai imbalan atas pekerjaan
yang dilakukan, yang dibayarkan kepada pemegang saham, atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa;
f. harta yang dihibahkan, bantuan dan warisan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
g. Pajak Penghasilan;
h. biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak
atau yang menjadi tanggungannya;
i. sumbangan.
(2) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari setahun tidak diperbolehkan dikurangkan
sekaligus, melainkan dibebankan melalui amortisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (10).
Pasal 10
(1) Dalam melakukan penyusutan dan amortisasi terhadap harta dan penghitungan
keuntungan atau kerugian dalam hal penjualan yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa, maka harga perolehannya adalah jumlah sesungguhnya dikeluarkan,
sedangkan dalam hal pengalihan harta nilai perolehannya adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan, kecuali :
a. dalam hal pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf e, dasar penilaian saham atau penyertaan lainnya yang diterima
oleh pihak yang melakukan pengalihan tersebut adalah sama dengan nilai
dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak yang mengalihkan;
b. dalam hal pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf f, dasar penilaian harta bagi yang menerima pengalihan
adalah sama dengan nilai dari harta yang dialihkan menurut pembukuan pihak
yang mengalihkan;
c. dalam hal penyerahan harta hibahan, pemberian bantuan yang
bebas pajak, dan warisan, dasar penilaian yang dipergunakan oleh yang menerima
penyerahan adalah sama dengan dasar penilaian bagi yang melakukan penyerahan.
(2) Harta yang telah dipergunakan oleh Wajib Pajak untuk menerima atau
memperoleh penghasilan, harga perolehan atau nilai perolehannya disesuaikan
dengan penyusutan, dan/atau amortisasi, tambahan, perbaikan atau tambahan
yang dilakukan.
(3) Penilaian persediaan hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan,
yang didasarkan atas pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
yang dilakukan secara rata-rata ataupun yang dilakukan dengan mendahulukan
persediaan yang didapat pertama.
Pasal 11
(1) Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang dimiliki
dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, dengan suatu masa manfaat yang lebih
dari satu tahun, kecuali tanah.
Keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta yang dapat disusutkan
harus dihitung dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) huruf b.
(2) Penyusutan yang dapat dilakukan dalam suatu tahun pajak adalah
jumlah penyusutan dari setiap golongan harta sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) dari penyusutan untuk setiap golongan harta ditetapkan dengan
mengalihkan dasar penyusutan golongan itu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) dengan tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(3) Untuk menghitung penyusutan, harta yang dapat disusutkan dibagi
menjadi golongan-golongan harta sebagai berikut :
a. Golongan 1 :
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan,
yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 4 (empat) tahun;
b. Golongan 2 :
harta yang dapat disusutkan dan tidak termasuk Golongan Bangunan,
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 4 (empat) tahun dan tidak lebih
dari 8 (delapan) tahun;
c. Golongan 3 :
harta yang dapat disusutkan dan yang tidak termasuk Golongan
Bangunan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 8 (delapan) tahun;
d. Golongan Bangunan :
bangunan dan harta tak gerak lainnya, termasuk tambahan, perbaikan
atau perubahan yang dilakukan.
(4) Dasar penyusutan setiap golongan harta untuk suatu tahun pajak
sama dengan jumlah awal pada tahun pajak untuk golongan harta itu ditambah
dengan tambahan, perbaikan atau perubahan dan dikurangkan dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
(5) Jumlah awal dari masing-masing golongan 1, golongan 2 dan golongan
3 untuk suatu tahun pajak adalah sama dengan dasar penyusutan pada tahun
pajak sebelumnya, dikurangi dengan penyusutan yang diperkenankan pada tahun
pajak sebelumnya.
(6) Jumlah awal dari Golongan Bangunan untuk suatu tahun pajak adalah
sama dengan dasar penyusutan pada tahun pajak sebelumnya, yaitu sebesar
harga atau nilai perolehan.
(7) Apabila terjadi penarikan harta dari pemakaian :
a. karena sebab luar biasa sebagai akibat bencana atau karena
penghentian sebagian besar usaha, maka suatu jumlah sebesar harga sisa
buku dikurangi dari jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan, dan
jumlah sebesar harga sisa buku itu merupakan kerugian dalam tahun pajak
yang bersangkutan, sedangkan hasil penjualan atau penggantian asuransinya
merupakan penghasilan;
b. karena sebab biasa, yaitu lain dari yang tersebut pada huruf
a, maka penerimaan netto dari harta yang bersangkutan dikurangkan dari
jumlah awal untuk memperoleh dasar penyusutan.
(8) Jika pengurangan yang dimaksud dalam ayat (7) dalam suatu tahun
pajak menghasilkan dasar penyusutan di bawah nol, maka dasar penyusutan
itu harus dinaikkan menjadi nol, dan jumlah yang sama dengan kenaikan itu
harus ditambahkan pada penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
(9) Tarif penyusutan tiap tahun pajak untuk :
a. Golongan 1 : 50% (lima puluh persen);
b. Golongan 2 : 25% (dua puluh lima persen);
c. Golongan 3 : 10% (sepuluh persen);
d. Golongan bangunan : 5% (lima persen).
(10) Harga perolehan dari harta tak berwujud yang dipergunakan dalam
perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, seperti penyewaan
harta berwujud, diamortisasi dengan tarif berdasarkan masa manfaatnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (9) huruf a atau huruf b atau huruf c, atau dengan
tingkat tarif Golongan 1 sebagaimana dimaksud dalam ayat (11), atau dengan
mempergunakan metode satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12)
atau ayat (13).
(11) Biaya pendirian dan biaya perluasan modal satuan perusahaan diamortisasi
dengan tingkat tarif penyusutan Golongan 1, kecuali apabila Wajib Pajak
menganggapnya sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a sesuai dengan pembukuannya.
(12) Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi,
dan hak pengusahaan hutan, diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan
produksi, setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun.
(13) Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya-biaya lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas
bumi diamortisasi dengan mempergunakan metode satuan produksi.
(14) Menteri Keuangan mengeluarkan Keputusan untuk menentukan jenis-jenis
harta yang termasuk dalam masing-masing golongan harta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dengan memperhatikan masa manfaat dari jenis harta yang
bersangkutan.
Pasal 12
(1) Tahun Pajak adalah tahun takwim, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan
tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
(2) Wajib Pajak tidak diperbolehkan mengubah tahun pajak tanpa mendapat
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 13
(1) Wajib Pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari usaha dan/atau pekerjaan bebas, wajib menyelenggarakan pembukuan di
Indonesia, sehingga dari pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya penghasilan
kena pajak berdasarkan undang-undang ini.
(2) Pada setiap tahun pajak berakhir Wajib Pajak menutup pembukuannya
dengan membuat neraca dan perhitungan rugi-laba berdasarkan prinsip pembukuan
yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.
Pasal 14
(1) Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan
peredaran atau penerimaan bruto dan untuk menentukan penghasilan netto
berdasarkan jenis usaha perusahaan atau jenis pekerjaan bebas, yang dibuat
dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak, berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak yang peredaraan usahanya atau penerimaan bruto dari
pekerjaan bebasnya yang berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta rupiah) setahun dapat menghitung penghasilan netto dengan menggunakan
Norma Penghitungan, asal hal itu diberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
(3) Jumlah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) disesuaikan dengan
faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan
menggunakan Norma Penghitungan, dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan, dan karenanya tidak diperbolehkan menghitung penghasilan netto
dengan Norma Penghitungan tanpa kenaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(7).
(5) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung
penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan, wajib menyelenggarakan
pencatatan tentang peredaran atau penerimaan brutonya.
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau menyelenggarakan
pencataan peredaran atau menyelenggarakan pencatatan penerimaan bruto tetapi
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakannya sebagaimana ditetapkan
oleh Undang-undang ini, atau tidak memperlihatkan buku dan catatan serta
bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sehubungan dengan
kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut, penghasilan
nettonya dihitung dengan menggunakan norma penghitungan.
(7) Pajak yang dihasilkan dari penghitungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 15
Menteri Keuangan dapat mengeluarkan keputusan untuk menetapkan Norma
Penghitungan Khusus guna menghitung penghasilan netto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan Pasal 16.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 16
(1) Penghasilan kena pajak, sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib
Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak, dihitung dengan cara mengurangkan
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal
9 ayat (1) huruf b, huruf c dan huruf d.
(2) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(3) Penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak luar negeri adalah jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh.
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak, kecuali
atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, adalah sebagai berikut
:
Penghasilan kena pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) 15% (lima
belas -persen)
di atas Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
s/d Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 25% (dua
puluh lima-persen)
di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) 35% (tiga puluh
lima persen)
(2) Jumlah penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tersebut akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(3) Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh.
(4) Bagi Wajib Pajak orang pribadi atau perseorangan yang kewajiban
pajak Subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri dimulai setelah permulaan
tahun pajak atau berakhir dalam tahun pajak, maka pajak yang terutang adalah
sebanyak jumlah hari dari bagian tahun pajak dibagi 360 (tiga ratus enam
puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak yang
dihasilkan karena penerapan ayat (1) dan ayat (2).
Penghasilan netto yang diperoleh selama bagian dari tahun pajak
dihitung terlebih dahulu menjadi jumlah setahun.
(5) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan pemungutan
pajak berdasarkan undang-undang ini.
(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya.
(3) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 9 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Pasal ini :
a. dalam hal Wajib Pajak adalah badan :
1. hubungan antara dua atau lebih Wajib Pajak yang berada di
bawah pemilikan atau penguasaan yang sama, baik langsung maupun tidak langsung;
2. hubungan antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada pihak yang lain, atau hubungan
antara Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua
pihak atau lebih yang disebut terakhir;
b. dalam hal Wajib Pajak adalah orang pribadi atau perseorangan
:
keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat atau keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan kesamping
satu derajat.
(4) Dua pihak atau lebih yang masing-masing merupakan perseroan, persekutuan,
atau perkumpulan lainnya yang mempunyai hubungan istimewa dengan penyertaan
50% (lima puluh persen) atau lebih, pengenaan pajaknya dihitung dengan
menggunakan lapisan tarif terendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
hanya diterapkan satu kali saja.
Pasal 19
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan faktor penyesuaian dalam
hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
yang disebabkan karena perkembangan harga.
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak,
dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak
lain serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri tersebut, merupakan
angsuran pajak yang akan dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk seluruh tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Masa pajak dipergunakan sebagai jangka waktu untuk menentukan besarnya
Obyek Pajak dan besarnya pajak yang terutang, yang harus dilunasi sebagai
angsuran dalam tahun berjalan.
(4) Masa pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah 1 (satu)
tahun atau selama jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 21
(1) Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan
penyetorannya ke Kas Negara, wajib dilakukan oleh :
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, dan honorarium dengan
nama apapun sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai
atau oleh orang lain yang dilakukan di Indonesia;
b. bendaharawan Pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan tetap, dan pembayaran lain, dengan nama apapun sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan yang dibebankan kepada keuangan negara;
c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun;
d. perusahaan dan badan-badan yang membayar honorarium atau pembayaran
lain sebagai imbalan atas jasa yang dilakukan di Indonesia oleh tenaga
ahli dan/atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam negeri
yang melakukan pekerjaan bebas.
(2) Bagian penghasilan yang dipotong pajak untuk setiap masa pajak
adalah bagian penghasilan yang melebihi seperdua belas dari penghasilan
tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(3) Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapat
pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ia harus menyerahkan surat
pernyataan kepada pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana
pensiun, yang menyatakan jumlah tanggungan keluarganya.
(4) Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) akan digunakan oleh
pemberi kerja, bendaharawan Pemerintah atau badan dana pensiun, untuk menetapkan
besarnya penghasilan kena pajak, kecuali apabila Wajib Pajak yang bersangkutan
memasukkan surat pernyataan baru tentang adanya perubahan.
(5) Tarif pemotongan pajak atas gaji, upah, dan honorarium adalah sama
dengan tarif penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(6) Jumlah pajak yang dipotong atas bagian upah setiap masa pajak akan
dimuat dalam buku petunjuk yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9).
(7) Setiap orang yang tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan yang secara benar dan tepat telah dipotong
pajaknya, jumlah pajak yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (5) merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun yang
bersangkutan berdasarkan Undang-undang ini.
(8) Setiap orang yang mempunyai penghasilan lain di luar penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan dan setiap orang yang memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja diharuskan menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal
3 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
Pajak yang terutang seluruhnya dikurangi dengan pajak yang telah
dipotong sebagai kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(9) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk tentang pemotongan
pajak atas pembayaran gaji, upah, honorarium dan lain-lain sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa lain yang diberikan.
Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut
pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang Import atau
kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran untuk barang dan
jasa dari Belanja Negara.
(2) Dasar pemungutan dan besarnya pungutan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan, bahwa jumlah pungutan itu diperkirakan
mendekati jumlah pajak yang terutang atas penghasilan dari kegiatan usaha
yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Badan
Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, atau
oleh Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri,
selain bank atau lembaga keuangan lainnya, dipotong pajak sebesar 15 %
(lima belas persen) dari jumlah bruto, oleh pihak yang berwajib membayarkan
:
a. dividen dari perseroan dalam negeri;
b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c. sewa, royalti, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
d.. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik dan jasa managemen yang
dilakukan di Indonesia.
(2) Orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri
dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Bunga dan Dividen tertentu yang tidak melampaui suatu jumlah yang
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, dikecualikan dari pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 24
(1) Pajak yang dikenakan dalam suatu Tahun Pajak yang dihitung menurut
ketentuan Undang-undang ini dikreditkan dengan pajak yang dibayar atau
terhutang di luar negeri oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak yang sama atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
(2) Kredit yang diperbolehkan berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperoleh di luar negeri itu untuk tahun pajak yang bersangkutan,
terbatas pada jumlah pajak yang dihitung atas penghasilan luar negeri,
berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang dapat dikreditkan, penghasilan-penghasilan
yang dimaksud dalam Pasal 26 dianggap berasal dari Indonesia, dan dalam
menentukan sumber penghasilan lainnya dipergunakan prinsip yang sama.
(4) Jika pajak penghasilan luar negeri yang diminta untuk dikreditkan
itu ternyata dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan
atau pengembalian itu dilakukan.
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak, adalah sebesar pajak
yang terutang pada tahun pajak yang lalu dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan pajak serta pajak yag dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana
dimaksud masing-masing dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24,
dibagi dengan banyaknya masa pajak.
(2) Yang dimaksud dengan pajak yang terhutang dalam ayat (1) adalah
pajak menurut Surat Pemberitahuan Tahunan terakhir oleh Direktur Jenderal
Pajak jumlahnya lebih besar.
(3) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak tertentu untuk setiap masa pajak diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, yang dibayarkan atau yang terhutang oleh badan Pemerintah, Badan
Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun atau
oleh Wajib Pajak dalam negeri, dipotong pajak yang bersifat final sebesar
20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan
:
a. dividen dari perseroan dalam negeri;
b. bunga, termasuk imbalan karena jaminan pengembalian hutang;
c. sewa, royalti, dan penghasilan lain karena penggunaan harta;
d. imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen
dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;
e. keuntungan sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia.
Pasal 27
Pengaturan lebih lanjut pemenuhan kewajiban pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KREDIT PAJAK, PELUNASAN KEKURANGAN PEMBAYARAN PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK
Pasal 28
Bagi Wajib Pajak dalam negeri, pajak yang terhutang untuk seluruh tahun
pajak menurut undang-undang ini dikurangi dengan kredit pajak berupa :
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud
dalam pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga, dividen, royalti,
sewa, dan imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri untuk tahun pajak
yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25.
Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya pada
akhir bulan ketiga sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir, sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.
Pasal 30
(1) Wajib Pajak dalam negeri diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan berupa neraca dan perhitungan
rugi-laba, sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 4 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dalam ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah penghasilan kena pajak,
jumlah pajak yang terhutang, jumlah pajak yang telah dilunasi dalam tahun
berjalan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
(3) Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah orang pribadi atau perseorangan :
a. yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
b. yang memperoleh penghasilan netto yang tidak melebihi jumlah
penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(4) Jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terhutang menurut
undang-undang ini.
(5) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti, bahwa jumlah
pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan itu tidak benar,
maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya.
Pasal 31
(1) Apabila pajak yang terhutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dari pada jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan atau diperhitungkan dengan
utang pajak lainnya.
(2) Sebelum dilakukan pengembalian atau diperhitungkan kelebihan pembayaran
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku, dan catatan lainnya,
serta atas hal lain yang dianggapnya perlu untuk menetapkan besarnya pajak
yang terhutang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan
undang-undang ini diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali apabila tata cara pengenaan
pajak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir pada tangal 30 Juni 1984
serta yang berakhir antara tanggal 30 Juni 1984 dan tanggal 30 Desember
1984 dapat memilih cara menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan dalam
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atau Ordonansi Pendapatan 1944, atau berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan sampai dengan tanggal
31 Desember 1983, yang:
a. jangka waktunya terbatas, dapat dinikmati oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan sampai selesai;
b. jangka waktunya tidak ditentukan, dapat dinikmati sampai dengan
tahun pajak sebelum tahun pajak 1984.
(3) Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang
penambangan minyak dan gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnya
sehubungan dengan Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil, yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang-undang ini, dikenakan pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen
dan Royalti 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya.
Pasal 34
Dengan berlakunya Undang-undang ini, peraturan pelaksanaan di bidang
pengenaan Pajak Perseroan 1925, Pajak Pendapatan 1944 dan Pajak atas Bunga,
Dividen dan Royalti 1970 tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini dan sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan
yang baru.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
(2) Undang-undang ini disebut Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di : JAKARTA
Pada tanggal: 31 Desember 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat
(2) sistem dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan
pelaksanaan pemungutan pajak negara, termasuk tentang Pajak Penghasilan,
harus ditetapkan dengan Undang-undang.
2. Pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila diarahkan agar
Negara dan Bangsa mampu membiayai Pembangunan Nasional dari sumber-sumber
dalam negeri dengan membagi beban pembangunan antara golongan berpendapatan
rendah, sesuai dengan rasa keadilan, untuk mendorong pemerataan Pembangunan
Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
3. Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu sumber penerimaan Negara
yang berasal dari pendapatan Rakyat, perlu diatur dengan Undang-undang
yang dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam Negara
Demokrasi Pancasila.
4. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak
yang pada dasarnya menyangkut Subyek Pajak (siapa yang dikenakan), Obyek
Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak)
dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata
cara pemungutannya diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam rangka mewujudkan
keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami
serta mematuhinya.
5. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama,
pengenaan pajak atas penghasilan diatur dalam berbagai Undang-undang, yaitu
:
(a) Ordonansi Pajak Perseroan 1925, yang mengatur mengenai materi
pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari badan-badan.
(b) Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, yang mengatur mengenai materi
pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas penghasilan dari orang-orang
pribadi. Dalam ordonansi ini juga diatur pemotongan pajak oleh pemberi
kerja atas penghasilan dari pegawai atau karyawan dari pemberi kerja tersebut.
(c) Undang-undang Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalty 1970,
yang mengatur mengenai materi pengenaan dan tata cara pengenaan pajak atas
penghasilan berupa bunga, dividen dan royalty, yang wajib dipotong oleh
orang-orang dan badan-badan yang membayarkan bunga, dividen dan royalty
yang bersangkutan.
(d) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 11 Tahun 1967, yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas
penghasilan, terutama berupa laba usaha, sepanjang mengenai tata cara pemungutan
oleh pihak lain (MPO) dan pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri (MPS-Masa)
dalam tahun berjalan serta perhitungan pada akhir tahun (MPS-Akhir).
6. Dalam sistem peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru,
diatur :
(a) semua ketentuan yang berkenaan dengan materi pengenaan pajak
atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau perseorangan dan badan-badan,
diatur dalam Undang-undang ini.
(b) ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengenaan pajak baik
berkenaan dengan Pajak Penghasilan, maupun berkenaan dengan pajak-pajak
lain yang pengenaannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, diatur dalam
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Tujuan dari penyederhanaan ini sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
adalah untuk mempermudah masyarakat mempelajari, memahami, dan mematuhinya.
Undang-undang ini menyederhanakan struktur pajak, seperti jenis-jenis pajak,
tarip dan cara pemenuhan kewajiban pajak. Tarip pajak ditetapkan secara
wajar berdasarkan prinsip-prinsip pemerataan dalam pemungutan pajak dan
keadilan dalam pembebanan pajak.
Struktur tarip disederhanakan dan bersifat progresif, artinya semakin
tinggi penghasilan semakin tinggi persentase tarip pajak.
Tarip untuk orang pribadi atau perseorangan sama dengan tarip untuk
badan, dengan tingkat tarif maksimal yang lebih rendah dari pada tarip
lama, sehingga akan dicapai kebaikan-kebaikan sebagai berikut :
(a) sederhana, artinya bagi Wajib Pajak mudah untuk menghitung, bagi
administrasi pajak mudah menguji penghitungan pajak yang dilakukan oleh
Wajib Pajak; juga bagi Wajib Pajak badan tidak ada lagi tarip yang berbeda-beda,
sehingga lebih mendukung lagi kesederhanaan dan kemudahan seperti disebutkan
di atas.
(b) keadilan dan pemerataan beban, berlakunya tarip yang sama saja
bagi tingkat penghasilan yang sama dari manapun diterima atau diperoleh.
(c) meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, oleh karena tarip marginal
tertinggi hanya 35% (tiga puluh lima persen), maka kerelaan Wajib Pajak
untuk membayar akan meningkat; meningkatnya kerelaan membayar dan bertambah
mudahnya bagi administrasi pajak untuk menguji akan lebih meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak.
(d) mengurangi pengalihan penghasilan dari badan kepada perseorangan
atau sebaliknya, sebab pengalihan semacam itu tidak memberikan manfaat
kepada Wajib Pajak.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak atas penghasilan,
baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perseorangan
maupun badan yang terhutang selama satu tahun pajak.
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subyek Pajak mencakup, baik orang pribadi atau perseorangan
dan warisan yang belum terbagi maupun badan.
Huruf a
1) Orang pribadi atau perseorangan adalah Subyek Pajak, baik
apabila mereka bertempat tinggal di Indonesia maupun apabila mereka bertempat
tinggal di luar Indonesia.
Mereka yang bertempat tinggal di Indonesia mulai menjadi
Subyek Pajak pada saat lahir di Indonesia, atau bila seseorang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, maka ia menjadi Subyek Pajak pada saat pertama
kali berada di Indonesia. Jumlah 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
tersebut tidaklah harus berturut-turut.
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
tidak lagi menjadi Subyek Pajak pada saat meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia,
baru menjadi Subyek Pajak di Indonesia apabila mereka dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia. Mereka tidak lagi menjadi Subyek
Pajak di Indonesia pada saat tidak mungkin lagi menerima atau memperoleh
penghasilan di Indonesia, yaitu penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26.
2) Warisan yang belum terbagi merupakan Subyek Pajak pengganti,
yaitu menggantikan yang berhak.
Bagi warisan yang belum terbagi mulai menjadi Subyek Pajak
pada saat timbulnya warisan dimaksud (sejak saat meninggalnya pewaris),
dan berakhir pada saat warisan tersebut dibagi kepada mereka yang berhak
(ahli waris).
Warisan baru menjadi Wajib Pajak apabila warisan yang
belum terbagi itu memberikan penghasilan.
Huruf b
Badan-badan seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer,
badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apapun, persekutuan perseroan atau perkumpulan lainnya, firma,
kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga merupakan Subyek Pajak
pada saat didirikannya badan usaha atau organisasi tersebut, atau pada
waktu memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 bagi badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia.
Bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia tidak lagi menjadi Subyek Pajak setelah penyelesaian likuidasi,
dan bagi badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia,
tidak lagi menjadi Subyek Pajak Indonesia pada saat terputusnya hubungan
ekonomis dengan Indonesia, yaitu sejak tidak mungkin lagi menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Perlu diperhatikan, bahwa setiap unit tertentu dari badan
pemerintah yang melakukan kegiatan usaha secara teratur di bidang sosial
ekonomi merupakan Subyek Pajak sebagai badan usaha milik negara.
Sudah barang tentu, badan usaha milik negara akan benar-benar
dikenakan pajak, apabila terdapat Obyek Pajak, yaitu mendapatkan penghasilan.
Demikian pula halnya dengan badan usaha milik daerah.
Suatu badan di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia mulai menjadi Subyek Pajak di Indonesia, sejak adanya
bentuk usaha tetap itu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Bentuk usaha tetap di Indonesia dari badan atau perusahaan
luar negeri digolongkan sebagai Subyek Pajak dalam negeri.
Pada prinsipnya Subyek Pajak dalam negeri akan dikenakan
pajak atas seluruh penghasilannya di manapun diperoleh, baik di Indonesia
maupun di luar Indonesia.
Penghasilan dari bentuk usaha tetap sebagai Wajib Pajak
dalam negeri dirumuskan tersendiri dalam Pasal 5. Yang dapat mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia bukan saja setiap badan, tetapi juga setiap
perusahaan termasuk perusahaan perseorangan di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah wujud tertentu
atau sesuatu yang kurang lebih mempunyai sifat tetap, yang dijadikan pusat
kegiatan sebagian atau seluruh usaha di Indonesia dari suatu badan atau
perusahaan yang didirikan, bertempat kedudukan atau berada di luar Indonesia.
Yang dimaksud dengan menjalankan usaha secara teratur
ialah melakukan kegiatan usaha yang menunjukkan adanya maksud untuk dilakukan
terus-menerus. Misalnya dalam hal pemberian jasa-jasa (furnishing of services),
yang di dalamnya termasuk pemberian jasa konsultasi (consultancy services),
apabila diberikan satu kali oleh seorang asing yang datang di Indonesia
sebagai turis, karena kebetulan diminta oleh seorang temannya di Indonesia,
maka pemberian jasa semacam itu belum termasuk kegiatan usaha yang dilakukan
secara teratur, dan oleh karena itu belum dapat dianggap adanya bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Namun apabila turis tersebut datang lagi ke Indonesia
untuk memberikan jasa konsultasi atas nama suatu perusahaan luar negeri
karena misalnya direkomendasikan oleh temannya tersebut di atas, kepada
suatu perusahaan di Indonesia, maka telah terdapat suatu petunjuk
tentang adanya maksud untuk memberikan jasa konsultasi di Indonesia secara
terus-menerus dan oleh karena itu dalam hal ini telah terdapat bentuk
usaha tetap di Indonesia.
Perusahaan asuransi luar negeri mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia, apabila perusahaan tersebut menerima pembayaran premi
asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia, melalui karyawannya
atau perwakilan lain, yang bukan merupakan agen yang mempunyai kedudukan
bebas (independent).
Sebuah perusahaan luar negeri tidak dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila dalam melakukan kegiatannya di
Indonesia, dipergunakan perantara atau broker atau agen lain yang sifatnya
bebas, asalkan perantara atau agen tersebut bertindak dalam rangka perusahaannya
sendiri.
Oleh karena itu, bila agen tersebut bertindak sepenuhnya
atau hampir sepenuhnya atas nama perusahaan luar negeri, maka perantara
atau agen tersebut tidak memenuhi syarat sebagai agen yang mempunyai kedudukan
yang bebas, dengan perkatan lain, perantara atau agen tersebut merupakan
bentuk usaha tetap dari perusahaan luar negeri tersebut.
Ayat(4)
Subyek Pajak luar negeri adalah Subyek Pajak yang bertempat
tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Subyek Pajak yang benar-benar memperoleh penghasilan dan oleh
karena itu berkewajiban untuk membayar pajak, disebut dalam undang-undang
ini sebagai Wajib Pajak.
Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah seseorang atau suatu
badan yang tidak memenuhi syarat-syarat kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting dari kewajiban Wajib Pajak dalam negeri
dibandingkan dengan kewajiban Wajib Pajak luar negeri adalah bahwa
Wajib Pajak dalam negeri, setelah tahun pajak berakhir, berkewajiban untuk
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan itu Wajib Pajak melaporkan
tentang semua penghasilan yang diterima atau diperoleh, penghitungan penghasilan
kena pajak, dan pajak yang terhutang. Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
itu Wajib Pajak juga melaporkan tentang semua pelunasan atas pajak yang
terhutang. Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan itu telah diisi dengan benar
dan pajak yang terhutang telah dilunasi sebagaimana mestinya, maka kepada
Wajib Pajak yang bersangkutan tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak.
Surat Ketetapan Pajak hanya perlu dikeluarkan, dalam hal Wajib Pajak tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau dalam hal Surat Pemberitahuan
Tahunan tidak benar dan/atau tidak lengkap, sehingga pajak yang kurang
dibayar perlu ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak, ditambah dengan sanksi
administrasi yang berkenaan. Sedangkan atas Wajib Pajak luar negeri tidak
diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Untuk menentukan seseorang atau suatu badan berada, bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia adalah berdasarkan keadaan
atau kenyataan yang sebenarnya, sehingga dengan demikian tidak ditentukan
berdasarkan hal-hal yang sifatnya formal.
Ayat (6)
Dalam hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan
seseorang atau suatu badan berada, bertempat tinggal, atau berkedudukan.
Hal ini berdasarkan pertimbangan praktis untuk memberikan kepastian
hukum.
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, anggota perwakilan diplomatik,
konsuler dan pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak
di negara tempat mereka mewakili negaranya. Demikian juga halnya dengan
anggota Angkatan Bersenjata negara asing dan wakil-wakil organisasi internasional
seperti World Health Organization (WHO), International Monetary Fund (IMF)
dan sebagainya. Syarat timbal-balik adalah merupakan kelaziman internasional.
Jika mereka mempunyai pekerjaan lain atau usaha, maka pengecualian itu
gugur dan akan dikenakan pajak atas peghasilan yang diterima atau diperoleh
dari pekerjaan lain atau kegiatan usahanya.
Huruf c
Berdasarkan tujuan dan sifat dari Perusahaan Jawatan, maka Perusahaan
Jawatan dapat dikecualikan sebagai Subyek Pajak, berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan.
Pasal 4
Dalam undang-undang ini dianut pengertian penghasilan yang luas,
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh seseorang atau badan merupakan ukuran yang terbaik
mengenai kemampuan seseorang atau badan untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan Pemerintah guna membiayai kegiatan-kegiatannya baik
yang rutin, maupun untuk pembangunan.
Ini merupakan salah satu sifat dari sistem Pajak Penghasilan
ini yang bertujuan untuk memeratakan beban pembangunan. Setiap tambahan
kemampuan ekonomis, dari mana pun datangnya, merupakan tambahan kemampuan
untuk ikut memikul biaya kegiatan Pemerintah.
Pengertian penghasilan dalam undang-undang ini tidak terikat
lagi pada ada tidaknya sumber-sumber penghasilan tertentu seperti yang
dianut oleh undang-undang lama. Penghasilan itu dilihat dari mengalirnya
tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, dapat dikelompokkan menjadi
:
- penghasilan dari pekerjaan, yaitu pekerjaan dalam hubungan
kerja dan pekerjaan bebas seperti penghasilan dari praktek dokter, notaris,
akuntan publik, aktuaris (ahli matematika asuransi jiwa) pengacara dan
sebagainya;
- penghasilan dari kegiatan usaha, yaitu kegiatan melalui sarana
perusahaan;
- penghasilan dari modal, baik penghasilan dari modal berupa
harta gerak, seperti bunga, dividen, royalti, maupun penghasilan dari modal
berupa harta tak gerak, sewa rumah, dan sebagainya; juga termasuk dalam
kelompok penghasilan dari modal ini adalah penghasilan dari harta yang
dikerjakan sendiri, misalnya penghasilan yang diperoleh dari pengerjaan
sebidang tanah, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipakai
dalam melakukan kegiatan usaha;
- penghasilan lain-lain, seperti menang lotere, pembebasan hutang
dan lain-lain penghasilan yang tidak termasuk dalam kelompok lain.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk
konsumsi dan dapat pula ditabung, yang selanjutnya dipakai untuk memperoleh
harta yang tidak terpakai habis sebagai konsumsi dalam satu tahun. Walaupun
penghasilan itu dapat dikelompokkan, namun pengertian penghasilan tidak
terbatas pada yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan tertentu.
Contoh-contoh yang disebut dalam undang-undang ini sekedar untuk
memperjelas tentang pengertian penghasilan yang luas, dan tidak terbatas
pada apa yang disebutkan oleh undang-undang ini.
Ayat (1)
Huruf a
Semua imbalan atau pembayaran dari pekerjaan dalam hubungan
kerja yang dapat berupa upah, gaji, dan sebagainya, termasuk premi asuransi
jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja. Pemberian
gaji dalam bentuk natura tidak dimasukkan dalam pengertian penghasilan
bagi penerima, seperti misalnya perumahan (kecuali di daerah terpencil,
yang tidak tersedia rumah yang disewakan), kendaraan bermotor, dan sebagainya.
Bagi pihak pemberi kerja, pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan
sebagai biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d.
Huruf b
Honorarium yang dibayarkan kepada artis, olahragawan, pemberi
ceramah seperti pada seminar-seminar internasional. Hadiah undian mencakup
juga pengertian hadiah yang diberikan tanpa diundi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan laba bruto usaha adalah penghasilan bruto
yang diperoleh dari usaha. Laba bruto usaha ditambah penghasilan bruto
lainnya sama dengan jumlah penghasilan bruto seluruhnya.
Dalam Surat Pemberitahuan Tahunan perlu dilaporkan laba bruto
usaha dan pengurangan yang diperbolehkan oleh undang-undang ini.
Jadi tidak dimaksudkan, bahwa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
hanya dilaporkan penghasilan kena pajak. Penambahan penghasilan lain-lain
dan pengurangan biaya lain-lain terhadap laba netto dari usaha mencerminkan
adanya apa yang disebut dalam dunia perpajakan sebagai kompensasi horisontal.
Baik laba netto usaha maupun penghasilan lain-lain setelah dikurangi biaya
yang bersangkutan dapat menjadi negatif.
Kompensasi horisontal semacam itu diperbolehkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak.
Huruf d
Apabila seorang Wajib Pajak menjual harta lebih dari harga sisa
buku atau harga/nilai perolehan pada saat penjualan, maka selisih harga
tersebut merupakan penghasilan. Jika harta yang dijual itu bukan merupakan
harta perusahaan dan telah dimiliki sebelum berlakunya undang-undang ini,
penghasilan yang diperoleh adalah selisih antara harga penjualan dengan
nilai jual pada saat undang-undang ini berlaku.
Demikian pula apabila sebuah badan usaha menjual kekayaan kepada
npemegang saham misalnya berupa mobil dengan harga sebesar harga sisa buku
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sedangkan di pasar harganya Rp.5.000.000,00
(lima juta rupiah), maka selisih sebesar Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah)
merupakan penghasilan bagi badan usaha tersebut dan bagi pemegang saham
yang membeli itu, Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) merupakan penghasilan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya pada
saat menghitung penghasilan kena pajak, misalnya Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang setelah ditetapkan
kembali ternyata kelebihan bayar, maka kelebihan bayar tersebut adalah
penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula imbalan lain sehubungan
dengan jaminan pengembalian hutang, baik yang dijanjikan maupun tidak.
Huruf g
Ketentuan ini mengatur tentang pengertian penghasilan berupa
dividen, yaitu bagian keuntungan yang diterima oleh para pemegang saham
atau pemegang polis asuransi.
Nama apapun yang diberikan atau dalam bentuk apa bagian keuntungan
itu diterima tidak menjadi pertimbangan.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah :
1) Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah
modal yang disetorkan;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang
tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
4) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran
yang tidak berasal dari penilaian kembali harta perusahaan;
5) apa yang diterima atau diperoleh karena pembelian kembali
saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan, yang melebihi jumlah setoran
sahamnya;
6) pembayaran kembali seluruh atau sebagian dari modal yang
telah disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
7) pembayaran atas tanda-tanda laba, termasuk apa yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda tersebut;
8) laba dari obligasi yang ikut serta dalam pembagian laba;
9) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham
yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa dari apa yang disebut pada angka
1 sampai dengan angka 9 di atas dapat disimpulkan, bahwa pengertian dividen
atau pembagian keuntungan perusahaan mencakup pengertian yang luas, yaitu
setiap pembagian keuntungan perusahaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian/pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dengan pengalihan harta perusahaan kepada pemegang
saham atau peserta dengan penggantian harga di bawah harga pasar.
Selisih antara harga pasar dengan harga yang dibayar oleh pemegang
saham adalah merupakan pembayaran dividen secara terselubung (lihat penjelasan
ayat (1) huruf d).
Contoh : Suatu harta PT. A berupa mobil yang mempunyai harga
sisa buku sebesar Rp.1.000.000,00 sedangkan harga pasar sebesar Rp.5.000.000,00.
Mobil tersebut dialihkan kepada pemegang saham B dengan penggantian sebesar
harga sisa buku, yaitu Rp.1.000.000,00.
Disini terdapat pembayaran dividen secara terselubung sebesar
Rp.4.000.000,00. Berdasarkan ketentuan ini PT. A harus memotong Pajak Penghasilan
sebesar 15% x Rp.4.000.000,00 = Rp.600.000,00.
Dalam pengertian dividen ini termasuk pula bagian keuntungan
yang diterima oleh pengurus dan anggota koperasi. Pada tingkat koperasi,
Sisa Hasil Usaha koperasi yang semata-mata berasal dari kegiatan yang dilakukan
oleh dan untuk kepentingan anggota tidak termasuk dalam pengertian penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan.
Oleh karena itu, bagi pengurus dan anggota koperasi, pembagian
dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi yang diterimanya merupakan penghasilan
yang dikenakan pajak. Apabila pembagian dan pengembalian Sisa Hasil Usaha
yang diterima oleh masing-masing pengurus dan anggota koperasi tidak melebihi
penghasilan tidak kena pajak, maka pembagian dan pengembalian Sisa Hasil
Usaha koperasi tersebut tidak terkena pajak.
Huruf h
Yang dimaksud di sini adalah pembayaran royalti atau apapun
namanya sehubungan dengan penggunaan hak : hak paten/oktroi, lisensi, merek
dagang, pola atau model, rencana, rahasia perusahaan, cara pengerjaan,
hak pengarang dan hak cipta mengenai sesuatu karya di bidang kesenian atau
ilmiah, termasuk karya film sinematografi.
Pada dasarnya pembayaran royalti terdiri dari tiga kelompok,
yaitu pembayaran atas penggunaan :
1) hak atas harta tak berwujud : hak pengarang, paten, merek
dagang, formula atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud : hak atas alat-alat industri, komersial
dan ilmu pengetahuan;
3) jasa : pemberian informasi yang diperlukan mengenai usaha
dan investasi pada umumnya, pengalaman di bidang industri, perniagaan dan
ilmu pengetahuan pada khususnya; yang dimaksudkan dengan informasi di sini
adalah informasi yang belum diungkapkan secara terbuka.
Huruf i
Ketentuan ini mengatur penghasilan uang sewa yang diterima atau
diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta, baik harta gerak misalnya
sewa pemakaian mobil dan sebagainya maupun penggunaan harta tak gerak,
misalnya sewa rumah.
Huruf j
Contoh : tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berkala.
Huruf k
Pembebasan hutang oleh pihak yang berpiutang merupakan penghasilan
bagi pihak yang semula berhutang.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1) huruf f pasal ini bunga
merupakan Obyek Pajak.
Tabungan masyarakat merupakan pula sumber dana bagi pelaksanaan
pembangunan.
Dengan Peraturan Pemerintah, terhadap bunga deposito berjangka
dan tabungan lainnya dapat dibebaskan dari pengenaan pajak dengan memperhatikan
perkembangan moneter serta pelaksanaan pembangunan.
Ayat (3)
Huruf a
Harta hibahan atau bantuan yang diterima yang tidak ada hubungannya
dengan usaha atau pekerjaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak termasuk
penghasilan.
Ini sebagai imbangan dari Pasal 9 ayat (1) huruf f undang-undang
ini yang mengatur, bahwa harta hibahan atau bantuan tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan pihak pemberi.
Huruf b
Warisan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang di terima ahli
waris tidak merupakan Obyek Pajak, walaupun warisan itu jumlahnya besar.
Warisan sebagai Subyek Pajak, baru dikenakan pajak apabila warisan
tersebut memberikan penghasilan, misalnya sewa yang diterima dari rumah
warisan.
Huruf c
Pembayaran oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, misalnya
karena kecelakaan, kerugian atau karena meninggalnya tertanggung, demikian
juga penerimaan pembayaran bea siswa dari perusahaan asuransi tidak merupakan
penghasilan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c undang-undang ini ditentukan,
bahwa premi asuransi jiwa, kesehatan, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, kecuali premi tersebut
ditanggung oleh pemberi kerja.
Huruf d
Bila seorang pemberi kerja yang merupakan Wajib Pajak menurut
pengertian undang-undang ini memberi kenikmatan berupa natura kepada karyawan
atau orang lain yang ada hubungan pekerjaan, maka kenikmatan tersebut tidak
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak-pihak penerima. Yang dimaksud dengan
kenikmatan dalam bentuk natura ialah suatu tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh tidak dalam bentuk uang, seperti kenikmatan
mempergunakan mobil perusahaan dengan cuma-cuma, kenikmatan mendiami rumah
yang disewa oleh perusahaan atau rumah milik perusahaan, pemberian beras
dengan cuma-cuma, dan sebagainya.
Bagi pihak pemberi kerja jumlah tersebut tidak boleh dikurangkan
sebagai biaya. Kenikmatan pemakaian rumah yang diberikan oleh Pemerintah
kepada pegawai Pemerintah, Pejabat Negara dan Pejabat Lembaga Pemerintah
non Departemen lainnya, tidak merupakan penghasilan bagi pihak yang bersangkutan.
Dalam pengertian Pemerintah termasuk Perusahaan Jawatan. Apabila
yang memberi kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak menurut pengertian undang-undang
ini, maka kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pihak yang menerima.
Contoh : Seorang pegawai bangsa Indonesia yang bekerja di salah
satu perwakilan diplomatik, memperoleh kenikmatan menempati rumah yang
disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan
lainnya, maka kenikmatan-kenikmatan tersebut harus dimasukkan sebagai penghasilan
bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan tidak
merupakan Subyek Pajak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong pembayaran
oleh pemberi kerja kepada pegawai atau karyawannya dilakukan dalam bentuk
uang, sehingga dengan demikian mempermudah pengenaan pajaknya.
Huruf e
Seseorang yang mengalihkan harta atau anggota persekutuan firma,
perseroan komanditer, kongsi yang mengalihkan harta persekutuan untuk mendirikan
Perseroan Terbatas dengan pembayaran berupa saham (inbreng), maka keuntungan
berupa selisih antara harga sisa buku dengan nilai jual harta tersebut,
tidak merupakan penghasilan, apabila setelah terjadinya pengalihan, pihak
yang mengalihkan harta atau pihak-pihak yang mengalihkan harta secara bersama-sama,
memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari seluruh nilai
saham disetor dari Perseroan Terbatas yang menerima pengalihan. Syarat
90% (sembilan puluh persen) tersebut harus dipenuhi pada saat terjadinya
pengalihan yang bersangkutan.
Huruf f
Harta yang dialihkan kepada perseroan, persekutuan atau badan-badan
lainnya sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal
tidak dikenakan pajak pada saat pengalihan kepada perseroan itu, melainkan
dikemudian hari, apabila harta itu dijual atau dialihkan lagi; oleh karena
itu penilaian harta tersebut ketika perseroan menerima pengalihan harus
sama dengan harga sisa buku pada saat pengalihan.
Huruf g
Dividen yang diperoleh atau diterima oleh perseroan dalam negeri
dari perseroan lain, tidak dianggap sebagai penghasilan, apabila perseroan
yang menerima tersebut tidak sekedar membungakan uang yang sedang tidak
dipakai, melainkan pada dasarnya bersifat kekal dan kedua perseroan tersebut
sebenarnya merupakan satu kesatuan jalur usaha. Dividen sebagai hasil pembungaan
uang, sementara uang itu tidak terpakai, dikenakan pajak.
Contoh : PT. A pabrik tekstil, PT. B pabrik benang tenun. Antara
PT. A dan PT. B ada hubungan ekonomis dalam jalur usahanya. PT. A memiliki
25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor PT. B, maka dividen
yang diterima atau diperoleh PT. A dan PT. B tidak termasuk dalam pengertian
penghasilan.
Apabila badan yang menerima atau memperoleh dividen memiliki
saham 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari nilai saham yang disetor,
sedangkan kedua badan tersebut tidak mempunyai hubungan ekonomis dalam
jalur usahanya, maka dividen yang diterima atau diperoleh tidak termasuk
dalam pengecualian sebagai Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
ini.
Contoh : PT. X pabrik tekstil. PT. Y pabrik minuman. PT. X memiliki
25% (dua puluh lima persen) dari saham yang disetor dari PT. Y. Antara
PT. X dan PT. Y tidak terdapat hubungan ekonomis dalam jalur usahanya.
Oleh karena itu, dividen yang diterima atau
diperoleh PT. X dari PT. Y tidak dikecualikan sebagai Obyek Pajak. Dengan
perkataan lain, dividen yang diterima atau diperoleh PT. X dari PT. Y merupakan
Obyek Pajak.
Huruf h
Iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pembentukannya telah
mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan, baik yang dibayar secara berkala
dan yang dibayar sekaligus oleh pemberi kerja maupun oleh Wajib Pajak sendiri
tidak termasuk penghasilan yang dikenakan pajak.
Huruf i
Pengertian usaha yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan
umum adalah kegiatan usaha yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
:
1) kegiatan usaha harus semata-mata bersifat sosial dalam bidang
keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan;
2) kegiatan usaha harus semata-mata bertujuan membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat umum;
3) kegiatan usaha ini tidak mempunyai tujuan mencari laba.
Laba yayasan yang tidak termasuk pengertian penghasilan adalah
tidak lain daripada kelebihan hasil usaha yang terjadi karena realisasi
penerimaan melebihi realisasi biaya yang dikeluarkan dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Laba ini tidak termasuk dalam pengertian Obyek Pajak menurut
undang-undang ini, sepanjang laba tersebut semata-mata merupakan kelebihan
hasil usaha sebagai diuraikan di atas, yang telah diperhitungkan untuk
melakukan kegiatan sosial yayasan atau perkumpulan tersebut. Apabila pembayaran
balas jasa yang diterima cukup tinggi sehingga kelebihan itu dibagikan
kepada pengurus yayasan maka kegiatan yayasan itu tidak lagi semata-mata
untuk kepentingan umum dan kelebihan tersebut merupakan bagian penghasilan
yang dikenakan pajak.
Huruf j
Penghasilan yayasan dari modal yang ditanam di luar kegiatan
yang semata-mata untuk kepentingan umum yang digunakan untuk membiayai
kegiatan sosial yayasan, tidak merupakan Obyek Pajak. Misalnya suatu yayasan
atau wakaf dalam membiayai kegiatan sosialnya menerima sumbangan. Kelebihan
sumbangan yang diterima dari keperluan biaya kegiatan tersebut ditanam
di luar kegiatan sosialnya. Hasil yang diperoleh dari penanaman modal ini
sepanjang dipergunakan untuk membiayai kegiatan sosialnya, tidak merupakan
Obyek Pajak.
Huruf k
Pembagian keuntungan yang diterima atau diperoleh anggota perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, firma, kongsi,
dan persekutuan, tidak merupakan Obyek Pajak. Namun, undang-undang memberikan
wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengenakan Pajak Penghasilan atas
pembagian keuntungan tersebut di atas jika ketentuan ini disalahgunakan,
sehingga dapat merugikan Keuangan Negara.
Pasal 5
Ayat (1)
Penghasilan yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah
sebagai berikut :
Huruf a
Yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah penghasilan dari kegiatan
usaha yang dilakukan bentuk usaha tetap itu atau dari harta yang
dikuasai atau dimiliki oleh bentuk usaha tetap tersebut. Jadi semua penghasilan
yang berkenaan dengan kegiatan usaha atau harta bentuk usaha tetap yang
bersangkutan, baik yang diperoleh di Indonesia maupun yang diperoleh
dari luar Indonesia merupakan penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan
ketentuan ini, misalnya penghasilan dari pemilikan saham-saham di luar
negeri oleh bentuk usaha tetap di Indonesia merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Bila induk perusahaan atau badan lain di luar negeri yang mempunyai
hubungan istimewa, melakukan kegiatan yang sejenis dengan yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetapnya di Indonesia, maka penghasilan dari kegiatan
tersebut harus dikenakan Pajak Penghasilan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan,
agar supaya penghasilan kegiatan-kegiatan tertentu yang pada hakekatnya
termasuk kegiatan usaha tetap, dapat dikenakan pajak kepada bentuk usaha
tetap tersebut untuk mencegah adanya alasan, bahwa kegiatan-kegiatan tertentu
tidak termasuk kegiatan-kegiatan bentuk usaha tetap, padahal Pajak Penghasilan
atas kegiatan-kegiatan itu seharusnya menjadi tanggung jawab bentuk usaha
tetap itu.
Ayat (2)
Undang-undang ini tidak bermaksud untuk mengenakan pajak atas
bentuk usaha tetap, apabila diperoleh penghasilan oleh induk perusahaan
yang tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap itu, sedangkan atas
penghasilan itu telah dilakukan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 26.
Biaya-biaya untuk mendapatkan, mempertahankan dan menagih penghasilan induk
perusahaan tersebut juga tidak dapat dibebankan kepada bentuk usaha tetap
di Indonesia.
Pasal 6
Termasuk dalam biaya usaha (biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan) sehari-hari adalah biaya pembelian bahan baku,
bahan penolong dan pembungkus, sewa dan royalti, biaya perjalanan untuk
melakukan pekerjaan, pajak-pajak tidak langsung misalnya Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Biaya yang
dikeluarkan untuk memperoleh harta mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun hanya boleh mengurangi penghasilan kena pajak melalui penyusutan
atau amortisasi.
Apabila dana pensiun yang dibentuk oleh perusahaan atau dana
pensiun lain, mendapat persetujuan Menteri Keuangan, maka iuran yang dibayarkan
kepada dana pensiun tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan.
Ayat (1)
Huruf a
Penghasilan kena pajak diperoleh dengan jalan menjumlahkan semua
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak dan menguranginya
dengan biaya-biaya atau pengurangan yang diperbolehkan oleh pasal ini.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
adalah biaya atau pengeluaran yang ada hubungan langsung dengan penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Dalam biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan dari usaha (yang dapat disebut sebagai
biaya usaha sehari-hari), termasuk pembayaran gaji kepada pegawai perusahaan
yang bersangkutan, kecuali pembayaran yang diberikan dalam bentuk natura
atau kenikmatan (kenikmatan mendiami rumah dengan cuma-cuma). Pembayaran
premi oleh pemberi kerja untuk pegawai dapat dikurangkan sebagai biaya
perusahaan, sedangkan bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan
penghasilan. Gaji kepada pegawai yang juga merupakan pemegang saham, apabila
berlebih-lebihan yaitu melampaui gaji pegawai lain yang bukan pemegang
saham, yang melakukan pekerjaan, tugas atau jabatan yang kurang lebih sama
dengan pemegang saham itu, maka kelebihannya itu tidak diperbolehkan mengurangi
penghasilan. Dalam biaya ini termasuk pula bunga yang dibayarkan sehubungan
dengan hutang perusahaan, kecuali apabila jumlahnya melampaui jumlah yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(1).
Bunga yang dibayarkan sehubungan dengan bunga hutang pribadi
tidak boleh mengurangi penghasilan, sebab bunga semacam ini merupakan penggunaan
dari penghasilan. Pembayaran bunga yang dilakukan untuk menyelundupkan
pajak yang dapat terjadi dalam hal ada hubungan istimewa juga tidak boleh
mengurangi penghasilan kena pajak.
Huruf b
Istilah penyusutan untuk harta berwujud dan amortisasi untuk
harta tak berwujud atau hak sudah lazim dipergunakan dalam bidang akuntansi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penggunaan penghasilan tidak dapat dipakai sebagai faktor pengurang
dalam menghitung penghasilan kena pajak. Pembelian barang untuk dipakai
sendiri dan bukan untuk dipergunakan dalam kegiatan usaha atau bukan untuk
dipakai guna mendapatkan penghasilan tidak diperkenankan untuk disusutkan.
Apabila barang yang dipakai sendiri itu dijual dengan rugi, maka kerugian
itu juga tidak dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Perlu ditegaskan
bahwa barang yang kerugian penjualannya dapat mengurangi penghasilan kena
pajak adalah barang yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan usaha (juga
yang dipakai untuk mendapatkan penghasilannya), maka kerugian penjualan
tanah yang termasuk kekayaan perusahaan dapat mengurangi penghasilan kena
pajak.
Hal ini perlu ditegaskan karena berdasarkan Pasal 11 ayat (1),
tanah tidak termasuk harta yang dapat disusutkan.
Huruf e
Sisa Hasil Usaha koperasi sehubungan dengan kegiatan yang semata-mata
dari dan untuk anggota, tidak dikenakan pajak pada tingkat koperasi.
Ayat (2)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, untuk menghitung penghasilan kena pajak, masih diberikan pengurangan
berupa penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(lihat penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 7).
Ayat (3)
Jika setelah penghasilan bruto dikurangkan beban-beban yang
diperbolehkan berdasarkan ayat (1) menghasilkan kerugian, maka kerugian
tersebut dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun dihitung sejak tahun
yang berikut sesudah tahun dideritanya kerugian itu.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, bagi jenis-jenis usaha
tertentu, yang menurut pertimbangan obyektif tidak menghasilkan laba dalam
lima tahun, kerugian yang dideritanya dapat dikompensasikan dalam jangka
waktu paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal 7
Ayat (1)
Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam
negeri untuk sampai kepada penghasilan kena pajak diberikan pengurangan
yang dinamakan penghasilan tidak kena pajak. Untuk Wajib Pajak sendiri
jumlah penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus
enam puluh ribu rupiah).
Apabila Wajib Pajak kawin, maka jumlah itu ditambah dengan Rp.
480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah). Dalam hal isteri memperoleh
penghasilan dari pekerjaan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal
21, maka penghasilan tidak kena pajak untuk isteri Rp. 960.000,00 (sembilan
ratus enam puluh ribu rupiah) sedangkan untuk menghitung pajak atas penghasilan
suami diberikan pengurangan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam
puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu
rupiah). Dalam hal demikian, ketika pemberi kerja menghitung penghasilan
kena pajak untuk memotong pajak dari penghasilan isteri, telah dikurangkan
sejumlah Rp.960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah), tetapi
tidak lagi diberikan tambahan pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat
ratus delapan puluh ribu rupiah).
Dalam hal isteri menerima atau memperoleh penghasilan dari usaha,
besarnya penghasilan tidak kena pajak ditambah dengan Rp. 960.000,00 (sembilan
ratus enam puluh ribu rupiah).
Tambahan pengurangan sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan
puluh ribu rupiah) diberikan kepada isteri, apabila isteri menerima atau
memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan, sedangkan suami tidak
menerima atau memperoleh penghasilan apapun. Dalam hal demikian, tambahan
pengurangan untuk tanggungan keluarga diberikan kepada isteri tersebut.
Dengan pengurangan yang demikian kepada pemberi kerja diberikan kemudahan
dalam melaksanakan pemotongan pajak atas penghasilan pegawai atau karyawannya,
sebab pemberi kerja tidak dibebani kewajiban terlalu banyak untuk meneliti
lebih jauh tentang isteri bekerja atau tidak, penghasilan isteri telah
kena pajak atau tidak, dan sebagainya.
Untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak tiri, cucu,
dan sebagainya yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Wajib Pajak diberikan
pengurangan sebesar Rp.480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah)
dengan paling banyak untuk 3 (tiga) orang.
Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri, yaitu
Wajib Pajak orang pribadi yang berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam 12 (dua belas) bulan berturut-turut dari
suatu tahun pajak, tidak diberikan potongan berupa penghasilan tidak kena
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Bagi orang pribadi sebagai Wajib
Pajak luar negeri, penghasilan kena pajak, adalah jumlah penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3).
Ayat (2)
Untuk menghitung jumlah pengurangan berupa penghasilan tidak
kena pajak, ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau pada
saat menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Misalnya pada 1 Januari seorang
Wajib Pajak kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Jika pada pertengahan
tahun lahir anak kedua, maka untuk tahun pajak ketika anak kedua lahir
dihitung kawin dengan 1 (satu) orang anak.
Ayat (3)
Menteri Keuangan diberi wewenang untuk melakukan penyesuaian
besarnya penghasilan tidak kena pajak, dengan memperhatikan perubahan-perubahan
di bidang perekonomian dan moneter.
Pasal 8
Ayat (1)
Berdasarkan ayat ini, penghasilan begitu pula kerugian seorang
wanita, yang telah kawin pada awal tahun pajak, dianggap penghasilan atau
kerugian suaminya.
Ketentuan ini lebih menekankan pada segi-segi kemampuan ekonomis,
yaitu bahwa suami dan isteri merupakan suatu kesatuan dan dengan adanya
ketentuan tersebut, pengenaan pajak tidak kehilangan unsur progresif dalam
penerapan tarif.
Penggabungan penghasilan tidak dilakukan dalam hal penghasilan
isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai karyawati, atau suami memperoleh
penghasilan semata-mata dari pekerjaan sebagai karyawan, dan atas penghasilan
dimaksud telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, kecuali apabila penghasilan
isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang ada hubungannya dengan usaha
suami atau anggota keluarga lainnya adalah anggota keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya dari suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf d.
Ini berarti, bahwa terhadap mereka (yang memperoleh penghasilan
dari pekerjaan sebagai karyawan/karyawati) dalam pengenaan pajak diberikan
jumlah pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 untuk dirinya masing-masing sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus
enam puluh ribu rupiah).
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini diberikan beberapa contoh
sebagai berikut :
a. Saat yang menentukan :
1. Seorang wanita yang kawin sesudah tanggal 1 Januari
(dalam hal tahun pajak sama dengan tahun takwim), maka secara fiskal ia
pada tahun tersebut belum dianggap kawin, sehingga pengenaan pajaknya masih
dikenakan pada diri masing-masing suami dan isteri. Penghasilan atau kerugian
wanita tersebut baru dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya
dimulai pada tahun pajak berikutnya.
2. Suami-isteri yang telah kawin sejak menetap di Indonesia,
maka sejak mereka menetap di Indonesia penghasilan atau kerugian isteri
dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya.
b. Penghasilan isteri sebagai karyawati :
1. Isteri dan suami kedua-duanya memperoleh penghasilan
semata-mata sebagai karyawati/karyawan dan masing-masing telah dipotong
pajak berdasarkan Pasal 21.
Dalam hal demikian tidak ada penghasilan isteri
yang dianggap sebagai penghasilan suaminya. Pajak mereka sebagai karyawan/karyawati
yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final. Terhadap mereka
tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 undang-undang ini.
2. Isteri memperoleh penghasilan sebagai karyawati yang
telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang ini.
Selain itu ia juga memperoleh penghasilan lain di
luar penghasilan sebagai karyawati, misalnya penghasilan dari usahanya
membuka salon kecantikan. Suaminya memperoleh penghasilan semata-mata sebagai
karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 undang-undang
ini.
Dalam hal ini, penghasilan isteri yang dianggap
sebagai penghasilan suaminya ialah hanya penghasilan dari usahanya membuka
salon kecantikan.
Pajak penghasilan atas penghasilan isteri sebagai
karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah final.
Hal yang demikian juga berlaku dalam hal suami dan/atau isteri tidak nyata-nyata
dipotong pajak oleh pemberi kerja, sebab jumlah penghasilannya berada di
bawah penghasilan tidak kena pajak. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang
terhutang, yang perlu dipertanggungjawabkan melalui penyampaian surat Pemberitahuan
Tahunan, hanya didasarkan atas besarnya penghasilan suami ditambah penghasilan
isteri dari usaha salon kecantikan saja.
Dalam penghitungan penghasilan kena pajak dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan, mereka masih diperbolehkan melakukan pengurangan
sebesar Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, di samping jumlah sebesar Rp.
960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Pajak yang telah dipotong
atas penghasilan suami dari pekerjaan diperhitungkan sebagai kredit.
3. Isteri memperoleh penghasilan semata-mata dari pekerjaan
sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21.
Suaminya di samping memperoleh penghasilan sebagai
karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh
penghasilan lain di luar penghasilan sebagai karyawan, misalnya penghasilan
dari usaha taksi. Dalam hal ini penghasilan isteri tidak dianggap sebagai
penghasilan suaminya dan pajaknya yang telah dipotong berdasarkan Pasal
21 adalah final. Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang
didasarkan atas jumlah penghasilan suami yang berasal dari pekerjaan sebagai
karyawan dan dari hasil usaha taksi. Dalam penghitungan pajak atas nama
suami tersebut, pengurangan sebagai penghasilan tidak kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 diberikan untuk suami sebesar Rp.960.000,00 (sembilan
ratus enam puluh ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan
puluh ribu rupiah) sebab dalam status kawin. Pajak yang telah dipotong
atas penghasilan suami sebagai karyawan diperhitungkan sebagai kredit dari
pajak yang terhutang.
4. Isteri memperoleh penghasilan selain sebagai karyawati
yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21, juga memperoleh penghasilan
dari usaha salon kecantikan.
Demikian pula suami selain memperoleh penghasilan
dari pekerjaan sebagai karyawan yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal
21, juga memperoleh penghasilan dari usaha taksi. Dalam hal demikian penghasilan
isteri yang dianggap penghasilan suami ialah hanya penghasilan dari usaha
salon kecantikan.
Pajak penghasilan atas penghasilan isteri dari pekerjaan
sebagai karyawati yang telah dipotong pajak berdasarkan Pasal 21 adalah
final.
Dengan demikian Pajak Penghasilan yang terhutang
yang harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sebesar
pajak yang terhutang atas jumlah penghasilan suami dari pekerjaan dan dari
usaha taksi, serta penghasilan isteri dari usaha salon kecantikan. Dalam
penghitungan pajak di luar pajak yang telah dipotong dan dibayar oleh pemberi
kerja isteri, pengurangan penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 diberikan sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh
ribu rupiah) ditambah Rp. 480.000,00 (empat ratus delapan puluh ribu rupiah)
sebab berada dalam status kawin. (Tambahan penghasilan tidak kena pajak
sebesar Rp. 960.000,00 (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tidak lagi
diberikan karena telah diperhitungkan pada waktu pemotongan Pajak Penghasilan
sebagai karyawati).
Ayat (2)
Penghasilan anak, termasuk anak angkat, yang belum dewasa juga
digabungkan dengan penghasilan orang tuanya.
Sesuai dengan tujuan pengenaan pajak bagi Wajib Pajak yang belum
dewasa maka pengertian belum dewasa dalam ketentuan perpajakan, seyogyanya
memperhatikan pula ketentuan mengenai hal yang sama dalam undang-undang
lain, termasuk pula ketentuan dalam bidang ketenagakerjaan, bahwa orang
dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan
belas) tahun ke atas, dengan catatan bahwa anak laki-laki maupun anak perempuan
yang telah kawin meskipun umurnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
dianggap telah dewasa. Bagi anak laki-laki maupun perempuan yang telah
berumur 18 (delapan belas) tahun atau bagi anak yang telah kawin, di masyarakat
dinyatakan sebagai orang yang telah mampu melakukan tindakan hukum sendiri
dan dianggap telah mampu bahkan wajib untuk mencari nafkahnya sendiri.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut, maka pengertian dewasa dalam undang-undang
ini, ialah laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 (delapan belas) tahun
ke atas atau telah kawin walaupun umurnya kurang dari 18 (delapan belas)
tahun.
Pasal 9
Ayat(1)
Huruf a
Dividen tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya, karena dividen adalah bagian dari penghasilan badan tersebut
yang dimaksudkan untuk dikenakan pajak oleh undang-undang ini, sehingga
apabila dividen diperkenankan untuk dikurangkan, maka akan mengurangi jumlah
penghasilan kena pajak dari badan yang memberikan. Atas dividen yang dibagikan
oleh badan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal
23 atau Pasal 26 undang-undang ini.
Huruf b
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada umumnya dimaksudkan
untuk perluasan perusahaan dan untuk menjamin kelangsungan perusahaan.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan sedemikian, tidak dapat dibebankan
sebagai pengurangan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hubungan
ini perlu diadakan pembedaan antara cadangan dengan penyisihan. Penyisihan
dimaksudkan untuk beban atau kewajiban yang sudah pasti ada, akan tetapi
jumlahnya belum diketahui secara tepat, misalnya penyisihan untuk Iuran
Pembangunan Daerah (Ipeda), tambahan pajak dan lain-lain.
Bagi jenis-jenis usaha tertentu, secara ekonomis memang diperlukan
adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang mungkin akan terjadi,
misalnya usaha bank dan asuransi. Mengenai hal ini, undang-undang ini menunjuk
Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaannya.
Huruf c
Premi asuransi yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan. Pada saat pemegang polis menerima pembayaran,
pembayaran ini bukan merupakan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf c.
Huruf d
Semua kenikmatan yang diberikan kepada karyawan/ karyawati,
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan pemberi kerja, sebab pemberian
kenikmatan tersebut bukan sebagai penghasilan bagi penerima (karyawan/karyawati),
sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d.
Berkenaan dengan daerah terpencil, maka Menteri Keuangan berwenang
mengeluarkan keputusan tentang pengertian daerah terpencil, yaitu daerah
yang tidak terdapat tempat tinggal yang disewa, sehingga oleh karena itu
perusahaan harus menyediakan tempat tinggal untuk pegawai atau karyawan/karyawati.
Dengan demikian hanya pengeluaran untuk itu boleh dikurangkan.
Huruf e
Sebagai contoh misalnya seorang ahli yang kebetulan juga pemegang
saham dari suatu badan, memberikan jasa sebagai seorang ahli untuk badan
tersebut. Untuk jasa tersebut ia memperoleh bayaran Rp.500.000,00 (lima
ratus ribu rupiah), padahal untuk hal yang sama oleh ahli lain hanya harus
dibayar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Karena adanya hubungan istimewa tersebut, maka Rp. 400.000,00
(empat ratus ribu rupiah) tidak boleh dikurangkan karena sudah melebihi
kewajaran.
Bagi ahli yang juga pemegang saham tersebut pembayaran itu dikenakan
pajak sebagai dividen.
Huruf f
Harta yang dihibahkan, warisan dan pembayaran bantuan tidak
boleh dikurangkan karena bagi pihak penerima bukan merupakan penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b.
Huruf g
Pajak Penghasilan tidak boleh dikurangkan, karena bukan biaya
untuk memperoleh atau menagih penghasilan, dan jumlah pajak yang terhutang
itu dihitung atas penghasilan kena pajak sebagai hasil perhitungan setelah
dilakukan pengurangan yang diperbolehkan.
Huruf h
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya tidak merupakan biaya perusahaan, melainkan penggunaan dari
penghasilan, oleh karena itu pengeluaran demikian tidak boleh mengurangi
penghasilan kena pajak.
Huruf i
Sumbangan dalam bentuk apapun juga tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan.
Ayat (2)
Biaya ini misalnya biaya iklan besar-besaran sehubungan dengan
diperkenalkannya produk baru dan yang tidak akan dikeluarkan lagi dalam
beberapa tahun mendatang, maka biaya tersebut tidak boleh langsung dikurangkan
dari penghasilan, melainkan harus melalui amortisasi.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal pembelian biasa, maka dasar penilaian adalah harga
perolehan.
Dalam hal tukar menukar atau dalam hal dibeli dari Wajib Pajak
lain yang mempunyai hubungan istimewa, maka dipakai nilai perolehan yaitu
harga yang harus dibayar berdasarkan harga pasar yang wajar.
Contoh dari pertukaran adalah :
PT. A
PT. B
harta X harta Y
harga sisa buku Rp.10.000.000,- Rp.12.000.000,-
harga pasar Rp.20.000.000,- Rp.20.000.000,-
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak
terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun
karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah sebesar Rp.20.000.000,-
(dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh
juta rupiah) ini merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan.
Nilai perolehan ini juga menjadi penerimaan netto untuk keperluan penerapan
Pasal 11 ayat (7) huruf b undang-undang ini. Sedangkan selisih antara harga
pasar dengan harga sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan
yang dikenakan pajak.
Bagi PT. A terdapat keuntungan sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi
Rp.10.000.000,- = Rp. 10.000.000,- sedangkan bagi PT. B terdapat keuntungan
sebesar Rp. 20.000.000,- dikurangi Rp. 12.000.000,- = Rp. 8.000.000,-.
Pengecualian dari ketentuan tentang penerapan harga perolehan
atau nilai perolehan tersebut adalah dalam hal-hal :
Huruf a
Terdapat pertukaran saham dari suatu badan dengan harta orang
pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, maka dasar
penilaian saham atau penyertaan lainnya adalah sama dengan nilai harta
yang dialihkan (perubahan bentuk dari perseorangan menjadi badan tidak
mengakibatkan terhutangnya pajak, dan apabila saham-saham tersebut dialihkan
dengan memperoleh laba, maka laba ini baru dikenakan pajak);
Huruf b
Bagi badan atau perseroan yang menerima harta sebagai pertukaran
atas saham-sahamnya dasar penilaian harta adalah nilai harta atau harga
sisa buku harta yang dipertukarkan;
Huruf c
Contoh :
Seseorang yang menerima warisan suatu harta, maka nilai perolehannya
adalah harga perolehan bagi pewaris dalam hal harta tersebut tidak boleh
disusutkan, atau harga sisa buku harta tersebut pada saat dialihkan dalam
hal harta tersebut boleh disusutkan. Dalam hal ini berlaku juga asas yang
sama dengan huruf a dan huruf b, yaitu apabila harta warisan tersebut dijual,
keuntungan penjualan itu dikenakan pajak. Contoh yang sama berlaku juga
untuk harta hibahan dan pemberian bantuan yang bebas pajak.
Ayat (2)
Dalam hal ada tambahan, perbaikan, dan pengeluaran lain yang
secara wajar telah dikeluarkan untuk meningkatkan kapasitas dari harta
yang bersangkutan, maka harga perolehan harus disesuaikan dengan pengeluaran
tersebut.
Tambahan dapat berarti pengeluaran untuk memperoleh suatu aktiva
tambahan, dan dapat pula seperti dimaksudkan dalam ayat ini, yaitu pengeluaran
untuk menambah kapasitas dari suatu aktiva tertentu.
Yang dimaksudkan dengan penyesuaian atas harga perolehan suatu
harta adalah :
- pengurangan nilai karena penyusutan;
- penambahan nilai karena adanya tambahan pengeluaran untuk
tambahan, perbaikan atau perubahan untuk meningkatkan kapasitas harta yang
bersangkutan.
Misalnya suatu harta mempunyai jumlah awal Rp. 100.000.000,-
(seratus juta rupiah). Dalam tahun berjalan telah dilakukan tambahan atau
perbaikan sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), maka jumlah
awal tahun berikutnya adalah Rp. 100.000.000,- ditambah Rp. 25.000.000,-
dikurangi penyusutan.
Pembebanan pengeluaran sehubungan dengan perkiraan harta pada
dasarnya terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu :
a. pengeluaran yang dapat dianggap sebagai biaya sehari-hari,
misalnya biaya pemeliharaan dan reparasi yang biasanya dilakukan secara
berkala, yang dilakukan untuk memelihara manfaat teknis dari harta yang
bersangkutan;
b. pengeluaran yang dilakukan, yang tidak dapat dianggap sebagai
biaya sehari-hari, misalnya biaya rehabilitasi, biaya reparasi besar, yang
biasanya dilakukan untuk meningkatkan kembali kapasitas atau menambah kapasitas
harta yang bersangkutan.
Pengeluaran yang termasuk kelompok b, yang masa manfaatnya tidak
hanya dinikmati pada tahun pengeluaran itu saja, melainkan untuk beberapa
jangka waktu tertentu, maka wajar apabila pengeluaran tersebut dibebankan
kepada perkiraan harta (dikapitalisasi) dan selanjutnya dilakukan penyusutan
sesuai masa manfaat dari harta yang bersangkutan.
Ayat (3)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu
:
a. barang jadi;
b. barang dalam proses produksi;
c. bahan baku dan bahan pelengkap.
Ketentuan dalam ayat ini mengatur, bahwa penilaian persediaan
barang hanya diperbolehkan menggunakan harga perolehan. Sedangkan penilaian
pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan
dengan cara rata-rata ataupun dengan cara mendahulukan persediaan yang
didapat pertama (dengan menggunakan metode first in first out atau disingkat
FIFO).
Contoh :
1. persediaan awal 100 satuan @ Rp. 9,00
2. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 12,00
3. pembelian/didapat 100 satuan @ Rp. 11,25
4. penjualan/dipakai 100 satuan
5. penjualan/dipakai 100 satuan
persediaan akhir 100 satuan
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
dengan cara : rata-rata :
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 200 s.a Rp10,50=Rp2.100,00
3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 300 s a Rp10,75=Rp 3.225,00
4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 200 s a Rp10,75=Rp2.150,00
5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00
- penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok
dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama :
No Didapat Dipakai Sisa/persediaan
1. 100 s a Rp 9,00=Rp 900,00
2. 100 s a Rp12,00=Rp1.200,00 100 s.a Rp 9,00=Rp
900,00
100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
3. 100 s a Rp11,25=Rp1.125,00 100 s a Rp 9,00=Rp
900,00
100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
4. 100 s a Rp10,75=Rp1.075,00 100 s a Rp12,00=Rp 1.200,00
100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
5. 100 s a Rp10,75=Rp1,075,00 100 s a Rp11,25=Rp 1.125,00
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan
untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya
harus digunakan cara yang sama.
Pasal 11
Pembebanan biaya untuk menghasilkan (mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
berdasarkan undang-undang ini dilakukan melalui penyusutan (apabila mengenai
harta berwujud) dan amortisasi (jika berkenaan dengan harta tak berwujud
atau biaya lain), yang untuk keduanya berlaku prinsip-prinsip yang sama.
Dalam sistem penyusutan menurut ketentuan ini, semua aktiva dikelompokkan
menjadi empat golongan harta, sesuai dengan masa manfaatnya. Untuk masing-masing
golongan harta ditentukan persentase penyusutannya dan persentase tersebut
diterapkan atas suatu jumlah yang menjadi dasar penyusutan. Apabila dalam
suatu tahun pajak tidak ada tambahan aktiva dan tidak ada aktiva yang ditarik
dari pemakaian, maka jumlah harga sisa buku tahun yang lalu, yang menjadi
jumlah awal tahun ini langsung dapat dikalikan dengan persentase tarip
penyusutan.
Ayat (1)
Yang dapat disusutkan adalah semua harta yang berwujud yang
dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk memperoleh
penghasilan.
Tanah tidak dapat disusutkan kecuali apabila tanah tersebut
dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan
genteng.
Dengan demikian, yang boleh disusutkan bukan hanya harta perusahaan,
tetapi juga harta yang dipakai untuk memperoleh penghasilan, misalnya biaya
untuk membangun rumah, yang dipakai untuk memperoleh sewa.
Ayat (2)
Setiap macam harta digolongkan ke dalam golongan harta menurut
umur ekonomisnya. Untuk setiap golongan harta ditentukan berapa tarip atau
persentase penyusutannya.
Penggolongan harta diatur dalam ayat (3), misalnya untuk mesin
yang termasuk dalam Golongan 2, tarip atau persentase penyusutannya adalah
25% (dua puluh lima persen), yang diterapkan atas jumlah awal tahun dari
golongan harta itu ditambah pembelian atau tambahan, dikurangi penerimaan
netto harta yang dijual.
Ayat (3)
Ayat ini membagi harta menjadi 4 (empat) golongan. Masing-masing
golongan harta dapat terdiri dari bermacam-macam jenis harta dengan masa
manfaat yang hampir sama. Agar Wajib Pajak mudah mengikuti perkembangan
harta, baik berupa pengurangan ataupun penambahan, maka harus dibuat catatan
atau daftar harta untuk setiap golongan harta, yang berisi antara lain
tahun perolehan/pembelian, harga perolehan, golongan harta, dan tarip penyusutan
sehingga sewaktu-waktu dapat diketahui jumlah penyusutan yang telah dilakukan
terhadap masing-masing harta tersebut. Hal ini penting bagi Wajib Pajak,
terutama bila terjadi penarikan karena sebab yang luar biasa, lihat penjelasan
ayat (7).
Bagi golongan bangunan dan harta tak gerak lainnya harus dibuat
perkiraan sendiri secara terpisah untuk masing-masing bangunan dan harta
tak gerak lainnya.
Ayat (4)
Penghitungan dasar penyusutan adalah jaminan awal dari tahun
pajak, ditambah dengan tambahan-tambahan, baik tambahan berupa harta baru
maupun tambahan atas harta yang dilakukan untuk meningkatkan kapasitas
harta yang bersangkutan, perbaikan-perbaikan atau perubahan-perubahan dan
dikurangi dengan pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(7).
Ayat (5)
Untuk golongan bukan bangunan, yaitu Golongan 1, Golongan 2,
dan Golongan 3 jumlah awal dari golongan itu adalah harga sisa buku tahun
sebelumnya yang tetap terbuka untuk penambahan harta baru dan pengurangan
dengan penerimaan netto harta yang dijual, lalu diterapkan tarip penyusutan.
Bila dalam tahun berjalan terjadi tambahan pengeluaran untuk memperoleh
harta perusahaan yang menurut undang-undang ini dapat disusutkan, maka
jumlah awal ditambah dengan pengeluaran untuk memperoleh harta baru
tersebut. Bila salah satu jenis harta tidak dipakai lagi dan dijual (karena
sebab biasa), maka penerimaan netto dari penjualan tersebut dikurangkan
dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan.
Ayat (6)
Untuk Golongan Bangunan, penyusutan dihitung dari harga perolehan.
Ayat (7)
Huruf a
Beberapa macam harta ada kemungkinan tidak dapat dipakai lagi,
misalnya karena terkena bencana. Dapat juga karena perusahaan menghentikan
sebagian besar produksinya, karena sebab-sebab di luar kekuasaan perusahaan.
Penarikan harta tersebut disebut penarikan dari pemakaian karena
sebab luar biasa. Jumlah sebesar harga sisa buku harta tersebut dikurangkan
dari jumlah awal golongan harta yang bersangkutan, dan jumlah tersebut
dibebankan pada perkiraan rugi laba dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila harta tersebut dijual atau mendapat penggantian asuransi,
maka harga penjualan atau penggantian asuransi tersebut merupakan penghasilan
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
CONTOH PENYUSUTAN GOLONGAN 1
1984 : Jumlah awal per 1-1-1984 =Rp.
0,00
Tambahan : mobil “A” = Rp.1.500,00
mobil “B” = Rp.2.500,00
mobil “C” = Rp.1.200,00
=Rp.5.200,00
Pengurangan ......................................................
=Rp. 0,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1984).....................................
Tambahan (“A”,”B”,”C”).....................................
Pengurangan.....................................................
Dasar penyusutan ..........................................…
Penyusutan (50%) ............................................
Jumlah awal per 1-1-1985 .................................
1985 : Tambahan : mobil “D”.................................... =Rp.3.000,00
Pengurangan : mobil “C” terbakar
(karena sebab luar biasa)
harga perolehan (1984).................. =Rp.1.200,00
telah disusut (1984) ....................... =Rp.
600,00
harga sisa buku (1985).................... =Rp.
600,00
penggantian asuransi ....................... =Rp.
800,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1985).........................................
= Rp.2.600,00
Tambahan (“D”) ...................................................
= Rp.3.000,00
(Rugi) Pengurangan (harga sisa buku “C”)............................
=(Rp. 600,00)
Dasar penyusutan ................................................
= Rp.5.000,00
Penyusutan (50%) ................................................
=(Rp.2.500,00)
Jumlah awal per 1-1-1986 ....................................
= Rp.2.500,00
(Laba) Penghasilan penggantian asuransi mobil “C”)............. = Rp.
800,00
Huruf b
Penarikan yang lain dari yang disebut di atas, disebut penarikan
dari pemakaian karena sebab biasa, misalnya karena harta tersebut dijual.
Penerimaan netto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga
penjualan dengan biaya yang seharusnya dan benar-benar dikeluarkan berkenaan
dengan penjualan tersebut, dikurangkan dari jumlah awal golongan harta
yang bersangkutan.
Contoh (lanjutan penghitungan pada Huruf a)
Jumlah awal per 1-1-1986 ......................... =Rp.2.500,00
1986 : Tambahan ..................................... =Rp.
0,00
Pengurangan : mobil “B” dijual
(karena sebab biasa)
harga perolehan (1984) =Rp.2.500,00
telah disusut
(1984 & 1985) =Rp.1.875,00
harga sisa buku (1986) =Rp. 625,00
harga penjualan =Rp.1.000,00
Penghitungan Penyusutan
Jumlah awal (1-1-1986)............................ =Rp.
2.500,00
Tambahan .............................................. =Rp.
0,00
Pengurangan (harga jual “B”) .................... =(Rp. 1.000,00)
Dasar penyusutan ................................... =Rp.
1.500,00
Penyusutan (50%) .................................. =(Rp.
750,00)
Jumlah awal per 1-1-1987 ....................... =Rp.
750,00
Catatan : harga sisa buku sebesar Rp. 625,00 tidak dihiraukan.
Ayat (8)
Dasar penyusutan tidak boleh negetif; bila negatif, maka jumlah
yang menyebabkan negatif ditambahkan sebagai penghasilan. Apabila jumlah
yang menjadi dasar penyusutan itu negatif, maka berarti, bahwa penerimaan
netto dari harta yang tidak dipakai lagi dalam kegiatan usaha lebih besar
dari (melebihi) jumlah awal tahun yang menjadi dasar penyusutan. Dengan
perkataan lain, hasil penjualan lebih besar dari harga sisa buku golongan
harta yang bersangkutan, oleh karena itu selisih tersebut merupakan laba
penjualan aktiva yang berdasarkan undang-undang ini dikenakan pajak pada
saat keuntungan tersebut diterima atau diperoleh.
Contoh :
Harga sisa buku harta Golongan 1
per 1-1-1984 Rp.1.000.000,-
Penarikan dari pemakaian dalam tahun 1984
Harga penjualan Rp. 1.500.000,-
Biaya penjualan Rp. 200.000,-
Penerimaan netto penjualan harta Rp.1.300.000,-
Selisih negatif Rp.
300.000,-
Maka dasar penyusutan untuk tahun 1984 Rp.
n i h i l
Selisih sebesar Rp. 300.000,- merupakan penghasilan tahun pajak
1984.
Ayat (9)
Tarip penyusutan ditentukan oleh masa manfaat dari harta yang
dapat disusutkan.
Ayat (10)
Dalam Pasal 9 ayat (2) disebutkan bahwa biaya untuk memperoleh
penghasilan kena pajak yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
tidak boleh dikurangkan sekaligus dari penghasilan. Harga perolehan dari
harta tak berwujud dan biaya-biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari satu tahun, diamortisasi dengan tarip yang berlaku bagi Golongan 1
atau Golongan 2 atau Golongan 3, atau diamortisasi dengan menggunakan metode
satuan produksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (12) dan ayat (13).
Ayat (11)
Biaya pendirian dan perluasan modal dapat diamortisasi sebagai
Golongan 1 atau dibebankan sebagai biaya menurut Pasal 6 ayat (1) huruf
a.
Wajib Pajak dapat memilih untuk mengamortisasi atau membebankan
sebagai biaya. Apabila Wajib Pajak memilih pembebanan sekaligus, hal itu
harus sesuai dengan pembukuannya, artinya akan dibebankan dalam tahun buku
yang dipilihnya.
Ayat (12)
Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi dan
hak pengusahaan hutan dapat dikurangkan sebagai amortisasi dengan mempergunakan
metode satuan produksi.
Artinya adalah bahwa persentase amortisasi dari biaya tersebut
setiap tahun pajak harus sama dengan persentase penambangan atau penebangan
setiap tahunnya dari taksiran jumlah seluruh produksinya. Sebagai contoh
dalam hal konsesi pertambangan yang ditaksir mempunyai deposit 100.000
ton, dan dalam satu tahun diproduksi sebanyak 10.000 ton.
Dengan demikian hak penambangan tersebut dalam tahun pajak itu
diamortisasi 10% (sepuluh persen). Namun demikian, tidak boleh dilakukan
amortisasi lebih dari 20% (dua puluh persen) dalam satu tahun pajak.
Ayat (13)
Khusus mengenai bidang penambangan minyak dan gas bumi, biaya
memperoleh hak dan/atau biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun diamortisasi dengan metode satuan produksi tanpa pembatasan
persentase tertentu.
Ayat (14)
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan tentang penggolongan
harta yang dapat disusutkan. Dalam keputusan tersebut, penggolongan jenis
harta ke dalam golongan harta didasarkan pada masa manfaat dari jenis harta
tersebut serta jenis usaha yang bersangkutan.
Pasal 12
Ayat (1)
Pada dasarnya tahun pajak adalah tahun takwim (tahun kalender).
Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun
takwim, yaitu tahun buku yang meliputi periode selama 12 (dua belas) bulan.
Apabila pembukuan Wajib Pajak meliputi periode yang kurang atau lebih dari
12 (dua belas) bulan, maka penghitungan pajak didasarkan atas tahun takwim
yang bersangkutan, dengan memperlihatkan bulan-bulan takwim dari
tahun tersebut.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku, maka hal ini harus
diberitahukan pada waktu menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan kepada
Direktur Jenderal Pajak.
Penyebutan tahun pajak :
Tahun pajak yang sama dengan tahun takwim penyebutan tahun pajak
tersebut adalah tahun takwim itu. Apabila tahun pajak tidak sama dengan
tahun takwim, maka penyebutan tahun pajak yang bersangkutan mempergunakan
tahun yang didalamnya termasuk enam bulan pertama atau lebih dari enam
bulan dari tahun pajak itu.
Contoh :
a. Tahun pajak sama dengan tahun takwim :
Pembukuan 1 Januari s/d 31 Desember 1985.
Tahun pajak ialah tahun 1985.
b. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim :
1) Pembukuan 1 Juli 1985 s/d 30 Juni 1986. Tahun pajak
ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai enam bulan pertama dari tahun
pajak.
2) Pembukuan 1 April 1985 s/d 31 Maret 1986. Tahun pajak
ialah tahun 1985, karena tahun 1985 mempunyai lebih dari enam bulan dari
tahun pajak itu.
3) Pembukuan 1 Oktober 1985 s/d 30 September 1986.
Tahun pajak ialah tahun 1986, karena tahun 1986
mempunyai lebih dari enam bulan dari tahun pajak itu.
Ayat (2)
Pemakaian tahun pajak, baik berdasarkan tahun takwim atau tahun
buku harus taat asas. Hal ini terutama untuk mencegah kemungkinan adanya
penggeseran laba atau rugi, apabila Wajib Pajak diberi kebebasan untuk
setiap saat berganti tahun pajaknya.
Oleh karena itu, apabila Wajib Pajak ingin mengadakan perubahan
tahun pajak, maka kepadanya diwajibkan untuk terlebih dahulu meminta persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan dari usaha dan/atau
pekerjaan bebas wajib menyelenggarakan pembukuan di Indonesia. Pembukuan
tersebut harus terdapat dan diselenggarakan di Indonesia, sebab pembukuan
itu adalah dasar untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak, yang
dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga harus dapat diperiksa
di Indonesia, untuk mengetahui bahwa pembukuan itu telah dilakukan dengan
benar, sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Dari pembukuan harus
dapat diketahui laba netto dari usaha atau penghasilan netto.
Dari laba netto atau dari penghasilan netto tersebut selanjutnya
akan dihitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak tersebut. Karena pembukuan
yang dipakai oleh Wajib Pajak menjadi titik tolak untuk menghitung penghasilan
kena pajak, maka pembukuan harus berdasarkan suatu cara atau sistem yang
lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Prinsip-prinsip
Akuntansi Indonesia yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia.
Pembukuan dapat diselenggarakan dengan Stelsel Kas maupun Stelsel
Akrual. Stelsel Kas ialah suatu metode penghitungan yang didasarkan atas
penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut
metode ini, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan, bila benar-benar
telah diterima tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap
sebagai biaya, bila benar-benar telah dibayar tunai dalam suatu periode
tertentu. Yang dimaksud dengan Stelsel Akrual ialah suatu metode penghitungan
penghasilan dan biaya, yaitu penghasilan tersebut ditetapkan pada waktu
diperoleh, dan biaya ditetapkan pada waktu terhutang.
Jadi tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan
biaya itu dibayar tunai.
Contoh :
a. Penghasilan :
1) Penjualan
Jumlah penyerahan = Rp. 10.500,00
Terdiri dari :
- penyerahan yang telah diterima
pembayarannya = Rp. 10.000,00
- penyerahan yang belum diterima
pembayarannya = Rp. 500,00
Stelsel Akrual :
penghasilan (penjualan) = Rp. 10.500,00
Stelsel Kas :
Penghasilan (penjualan) = Rp. 10.000,00
Yang Rp. 500,00 ditetapkan sebagai penghasilan
pada periode berikutnya apabila telah diterima tunai.
2) Penghasilan berupa bunga
Pinjaman selama 6 bulan (1 September 1984 s/d 28
Februari 1985).
Jumlah pinjaman Rp. 10.000,00 dengan bunga sebesar
12% per tahun dan dibayar pada akhir masa pinjaman.
Penghitungan bunga :
1-9-1984 s/d 31-12-1984 = 4 bulan = Rp. 400,00
1-1-1985 s/d 2-2-1985 = 2 bulan = Rp. 200,00
Stelsel Akrual :
Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp. 400,00
1985 = Rp. 200,00
Stelsel Kas :
Penghasilan bunga tahun 1984 = Rp.
0,00
(belum diterima tunai)
1985 = Rp. 600,00
(saat diterima tunai)
b. Biaya (dalam hal ini diberi contoh sewa)
Sewa mobil selama 4 bulan (1 Oktober 1984 s/d 31 Januari 1985).
Harga sewa sebesar Rp. 4.000,00 dibayar pada awal masa sewa.
Penghitungan sewa :
1-10-1984 s/d 31-12-1984 = 3 bulan = Rp. 3.000,00
1-1-1985 s/d 31-1-1985 = 1 bulan
= Rp. 1.000,00
Stelsel akrual :
biaya sewa tahun 1984 = Rp. 3.000,00
1985 = Rp. 1.000,00
Stelsel kas :
biaya sewa tahun 1984 = Rp. 4.000,00
(saat dibayar tunai)
1985 = Rp.
0,00
Stelsel Kas biasanya digunakan oleh perusahaan perorangan yang
kecil atau perusahaan jasa misalnya transportasi, hiburan, restoran, yang
tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak
berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan
barang/jasa ditetapkan pada saat diterimanya pembayaran dari langganan,
dan biaya-biaya ditetapkan pada saat dibayarnya barang, Jasa dan biaya
operasi lainnya.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan
yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari
tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran
kas.
Oleh karena itu untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan,
dalam memakai stelsel kas harus diperhatikan hal-hal antara lain sebagai
berikut :
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi
seluruh penjualan, baik yang tunai maupun bukan.
Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan
pula seluruh pembelian dan persediaannya.
2) Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak
yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan
hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsistent).
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini untuk memberikan penegasan tentang penggunaan
sistem dan prinsip pembukuan yang harus dilakukan secara taat asas (konsistent).
Pasal 14
Ayat (1) dan ayat (2)
Pada hakekatnya untuk dapat memenuhi kewajiban pajak atas penghasilan
dari usaha dan pekerjaan bebas dengan sebaik-baiknya diperlukan adanya
pembukuan. Undang-undang bermaksud mendorong semua Wajib Pajak untuk menyelenggarakan
pembukuan, namun disadari pula bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan
pembukuan itu. Wajib Pajak yang diizinkan untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan lengkap meliputi para Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau
penerimaan brutonya berjumlah kurang dari Rp.60.000.000,- setahun.
Untuk mereka ini perlu adanya suatu cara yang terbuka dan adil,
disamping perlunya pembinaan agar supaya mereka kemudian dapat dan mampu
menyelenggarakan pembukuan.
Norma Penghitungan adalah suatu pedoman yang dapat dipakai sebagai
cara untuk menentukan peredaran bruto atau penerimaan bruto dan yang pada
akhirnya untuk menentukan penghasilan netto.
Pada dasarnya Norma Penghitungan ini hanya dipergunakan
untuk penghitungan atau penentuan penghasilan netto dalam hal :
- tidak adanya dasar penghitungan lain yang lebih baik, yaitu
pembukuan.
- pembukuan Wajib Pajak yang ternyata diselenggarakan tidak
benar.
Adapun wujud Norma Penghitungan itu ialah suatu persentase atau
angka perbandingan lainnya yang disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil
penelitian yang cermat sehingga :
- sederhana,
- terperinci menurut kelompok jenis usaha,
- dibedakan dalam beberapa klasifikasi kota/tempat,
- dibedakan untuk Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya
atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,- dengan yang lebih
dari Rp.60.000.000,-,
- tingkat persentase atau angka perbandingan yang tidak jauh
dari kewajaran, namun dapat mendorong Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan.
Dengan demikian Norma Penghitungan adalah merupakan alat yang
dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena tidak adanya pegangan lain,
namun masih tetap dapat dipertanggung jawabkan kesederhanaan, keterbukaan
dan kewajarannya. Norma Penghitungan sangat membantu Wajib Pajak yang belum
mampu menyelenggarakan pembukuan, untuk menghitung penghasilan netto yang
harus dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan. Oleh karena Wajib
Pajak akan menetapkan sendiri pajaknya, maka adanya patokan untuk menghitung
berapa penghasilan yang diumumkan terlebih dahulu, akan sangat berguna.
Hanya apabila terbukti bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan tidak benar, maka
Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pajak berdasarkan data yang
benar, dengan menerapkan Norma Penghitungan ditambah sanksi administrasi
berupa kenaikan. Norma Penghitungan yang bersifat terbuka itu selain untuk
memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bagi Wajib Pajak, juga sekaligus
untuk mencegah timbulnya tindakan sewenang-wenang Administrasi Perpajakan
dengan menaksir besarnya penghasilan yang kurang berdasar. Norma Penghitungan
dimaksud dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
Pegangan yang ditetapkan Menteri Keuangan itu harus memuat :
a. kaitan-kaitan yang harus dipergunakan untuk menentukan besarnya
:
- peredaran (jumlah karyawan, jumlah meja bagi usaha rumah
makan, jumlah mesin bagi usaha industri, jumlah kamar bagi usaha hotel,
dan lain-lain),
- penghasilan bruto (jumlah pembelian bahan, jumlah gaji
karyawan, dan lain-lain),
- penghasilan netto (jumlah pengeluaran nyata atau tingkat
biaya hidup dan lain-lain);
b. pokok-pokok cara yang harus diperhatikan dalam menyusun Norma
Penghitungan;
c. cara-cara menyempurnakan Norma Penghitungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan
untuk memilih menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan,
dianggap menyelenggarakan pembukuan.
Dalam hal Wajib Pajak tersebut ternyata tidak menyelenggarakan
pembukuan, maka penghasilan netto dihitung dengan Norma Penghitungan dan
pajak yang dihasilkan dari penghitungan tersebut ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan, sebagaimana diatur dalam ayat (7).
Dengan ketentuan ini, Wajib Pajak dirangsang untuk menyelenggarakan
pembukuan yang baik, benar dan lengkap. Oleh karena itu Norma Penghitungan
perlu disusun sebaik-baiknya dengan memperhatikan perusahaan atau pekerjaan
bebas yang baik dan efisien. Bagi Wajib Pajak yang jujur yang dalam usahanya
tidak berhasil memperoleh penghasilan seperti perusahaan atau pekerjaan
bebas yang baik dan efisien, penggunaan Norma Penghitungan dapat merugikannya.
Untuk menghindari diterapkan Norma Penghitungan yang dapat merugikannya
tersebut, Wajib Pajak dapat memilih untuk menyelenggarakan pembukuan yang
baik, benar dan lengkap, sehingga penghitungan pajaknya didasarkan atas
keadaan yang sebenarnya sesuai dengan pembukuannya.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang memilih untuk menghitung penghasilan nettonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan, dengan sendirinya harus dapat menunjukkan
bahwa jumlah peredaran dari usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan
bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)
yang dapat dibuktikan dari catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto,
yang diselenggarakannya.
Ayat (6)
Menurut ketentuan ini, penghasilan netto dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan terhadap Wajib Pajak yang :
a. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan, akan tetapi
tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang;
b. mempunyai kewajiban menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran
bruto atau penerimaan brutonya, akan tetapi tidak menyelenggarakan pencatatan
sebagaimana diwajibkan;
c. tidak bersedia memperlihatkan buku, catatan serta bukti lain
yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak.
Perlu ditegaskan, yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan
pembukuan adalah Wajib Pajak yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya
berjumlah Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) setahun dan Wajib Pajak
yang peredaran usahanya atau penerimaan brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah) setahun akan tetapi memilih atau dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (7)
Pajak Penghasilan yang dihasilkan dari penghasilan netto yang
dihitung dengan menerapkan Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (6), ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan seperti yang
diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 15
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur tentang Norma Penghitungan
Khusus untuk golongan-golongan Wajib Pajak tertentu berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan. Dalam praktek sering dijumpai kesukaran dalam menghitung
besarnya penghasilan dan penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak
tertentu, sehingga berdasarkan pertimbangan praktis, oleh undang-undang
ini, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk mengeluarkan Keputusan untuk
menentukan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan
netto, yang dengan sendirinya akan menjadi dasar penghitungan penghasilan
kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut.
Pasal 16
Penghasilan kena pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Seperti tercantum dalam Pasal
2 ayat (2) dikenal 2 (dua) golongan Wajib Pajak yaitu :
Wajib Pajak dalam negeri dan
Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri terdapat 2 (dua) cara pada dasarnya
untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak :
- cara penghitunga biasa,
- cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.
Ayat (1)
Cara penghitungan biasa
Contoh :
- Penghasilan yang diperoleh dalam
suatu tahun pajak menurut Pasal 4 ayat (1) Rp.50.000.000,-
- Biaya-biaya menurut Pasal 6 ayat (1) :
biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan Rp. 30.000.000,-
penyusutan dan amortisasi Rp.
6.000.000,-
iuran kepada dana pensiun Rp.
1.000.000,-
Rp. 37.000.000,-
- Penghasilan netto .......................................
Rp.13.000.000,-
- Kompensasi kerugian tahun-tahun yang lalu Rp. 2.000.000,-
- Penghasilan kena pajak (bagi badan,
selain badan koperasi) .................................
Rp.11.000.000,-
- Bagi badan koperasi diperbolehkan
untuk mengurangkan pengembalian
Sisa Hasil Usaha yang diperoleh dari
kegiatan dari dan untuk anggota.
- Pengurangan untuk Wajib Pajak pribadi Pasal 7 ayat (1),
misal Wajib Pajak kawin dengan tanggungan
2 (dua) orang anak .....................................
Rp. 2.400.000,-
- Penghasilan kena pajak .............................. Rp.
8.600.000,-
Ayat (2)
Penggunaan Norma Penghitungan dilakukan terhadap Wajib Pajak
tertentu, yaitu Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan
bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah).
Bagi Wajib Pajak yang jumlah peredaran usahanya atau penerimaan
bruto dari pekerjaan bebasnya dalam setahun kurang dari Rp. 60.000.000,-
(enam puluh juta rupiah), menurut ketentuan undang-undang ini tidak diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan. Terhadap mereka penghitungan penghasilan kena
pajak dilakukan dengan mempergunakan Norma Penghitungan.
Akan tetapi, bila diinginkan oleh Wajib Pajak, penghitungan
penghasilan kena pajak dapat dilakukan dengan cara penghitungan biasa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dengan syarat mereka menyelenggarakan pembukuan
seperti diatur dalam undang-undang ini (Lihat penjelasan mengenai Pasal
14).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri tarip Pajak Penghasilan diterapkan
terhadap seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun
pajak, dengan sistem yang sangat sederhana.
Contoh :
Jumlah penghasilan kena pajak Rp. 80.000.000,-
Pajak Penghasilan yang terhutang :
15% x Rp.10.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
25% x Rp.40.000.000,- = Rp.10.000.000,-
35% x Rp.30.000.000,- = Rp.10.500.000,-
Jumlah penghasilan kena pajak Rp. 80.000.000,-
Pajak = Rp.22.000.000,-
Ayat (2)
Batas lapisan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain
tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan
yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (3)
Misalnya Penghasilan kena pajak sebesar Rp. 1.050.650,- (satu
juta lima puluh ribu enam ratus lima puluh rupiah), maka untuk penerapan
tarip penghasilan kena pajak dibulatkan menjadi Rp. 1.050.000,- (satu juta
lima puluh ribu rupiah).
Ayat (4)
Misalnya seorang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya
sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka
waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) maka penghitungan Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 1.000.000,-
Penghasilan setahun sebesar :
360
--------- x Rp. 1.000.000,- Rp. 4.000.000,-
3 x 30
Penghasilan tidak kena pajak Rp.
960.000,-
Penghasilan kena pajak Rp. 3.040.000,-
Pajak Penghasilan yang terhutang
(setahun) 15% x Rp. 3.040.000,- Rp.
456.000,-
Jadi Pajak Penghasilan yang terhutang
selama bagian dari tahun pajak, yaitu
selama 3 (tiga) bulan adalah
3 x 30
---------- x Rp. 456.000,- Rp.
114.000,-
360
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk
mengeluarkan Keputusan tentang besarnya perbandingan antara hutang dan
modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang
wajar mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan modal (debtequity
ratio). Apabila perbandingan antara hutang dan modal sangat besar (di atas
batas-batas kewajaran) maka sebenarnya perusahaan tersebut dalam keadaan
tidak sehat. Dalam hal demikian undang-undang menentukan adanya modal terselubung.
Ayat (2)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya
penyelundupan pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa.
Dalam hal terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan
dilaporkan di bawah semestinya atau pun pembebanan biaya melebihi yang
seharusnya, bila terjadi transaksi antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Demikian pula kemungkinan dapat terjadi adanya penyertaan modal secara
terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai hutang.
Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan
kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya yang seharusnya akan terjadi
apabila di antara pihak-pihak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Begitu juga, apabila berdasarkan penelitian yang dilakukan ternyata
terdapat penyertaan atau modal terselubung seolah-olah merupakan hutang,
maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan hutang tersebut
sebagai modal perusahaan.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan hutang
yang sebenarnya merupakan penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan, sedangkan kepada pemegang saham yang menerima atau memperolehnya
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, bunga merupakan biaya yang boleh
dikurangkan dari penghasilan, tetapi sebaliknya dividen yang dibayarkan
kepada pemegang saham tidak boleh dikurangkan.
Ayat (3)
Huruf a
Hubungan Istimewa dianggap ada bila dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah pemilikan atau penguasaan yang sama.
Yang dimaksud dengan pemilikan atau penguasaan ini adalah
bila yang memiliki perusahaan-perusahaan tersebut memegang saham mayoritas
yang dapat mempengaruhi jalannya perusahaan. Hubungan istimewa juga dapat
dirumuskan sebagai berikut :
- Badan AA mempunyai penyertaan pada perusahaan BB sebesar
25% (dua puluh lima persen), maka AA dan BB mempunyai hubungan istimewa.
- Seseorang YY mempunyai 25% (dua puluh lima persen) penyertaan
pada perusahaan AA dan juga 25% (dua puluh lima persen) penyertaan pada
perusahaan BB, maka antara YY, AA dan BB mempunyai hubungan istimewa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah garis keturunan,
lurus satu derajat adalah ayah, ibu dan anak, sedangkan hubungan keluarga
sedarah keturunan, kesamping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda garis keturunan
lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga
semenda dalam garis kesamping satu derajat adalah ipar.
Ayat (4)
Dalam hal terdapat beberapa pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan penyertaan 50% (lima puluh persen) atau lebih, maka tarip terendah
15% (lima belas persen) hanya dapat diberlakukan satu kali saja.
Dalam hal salah satu pihak menderita kerugian, kerugian tersebut
tidak dapat dikompensasikan terhadap penghasilan pihak lainnya, akan tetapi
berlaku kompensasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
Pasal 19
Dalam hal terjadi ketidak serasian antara unsur-unsur biaya dengan
penghasilan yang disebabkan oleh karena perkembangan harga yang menyolok,
maka Pemerintah dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian misalnya dengan
menerapkan indeksasi.
Pasal 20
Ayat (1)
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, agar pada akhir tahun
mendekati jumlah pajak yang terhutang, dilakukan melalui :
a. pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain dalam hal
diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak dari pekerjaan (pekerjaan dalam
hubungan kerja dan pekerjaan bebas) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal dan jasa-jasa tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. disamping pelunasan pajak melalui pemotongan atau pemungutan
pajak oleh pihak lain, Wajib Pajak sendiri juga diwajibkan untuk melakukan
pembayaran dalam tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
Ayat (2)
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan cicilan atau
angsuran pembayaran pajak yang nantinya dapat diperhitungkan dengan cara
mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terhutang mengenai seluruh
tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang wajib memotong Pajak Penghasilan atau disebut pemotong
pajak menurut ketentuan ini ialah :
a. perusahaan orang pribadi atau badan yang merupakan induk
atau cabang perusahaan yang membayar gaji, upah, honorarium, dan imbalan
lainnya kepada karyawan atau orang lain, dengan syarat, bahwa pekerjaan
itu dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian pemberi kerja tidak harus
Subyek Pajak menurut undang-undang ini, tetapi dapat juga setiap orang
atau badan yang dalam hubungan kerja membayarkan gaji, upah, dan sebagainya;
b. misalnya gaji yang dibayarkan kepada pegawai Kedutaan Besar
Republik Indonesia di luar negeri, karena dibebankan kepada Keuangan Negara,
maka harus dipotong Pajak Penghasilan. Dalam pengertian Keuangan Negara
termasuk Keuangan Pemerintah Daerah.
c. badan dana pensiun yang membayarkan uang pensiun, baik uang
pensiun yang dibayarkan kepada pensiunan pegawai atau karyawan maupun kepada
ahli warisnya. Dalam pengertian pensiun, termasuk tunjangan-tunjangan baik
yang dibayar secara berkala maupun tidak;
d. perusahaan atau badan-badan, dalam hal terdapat pembayaran
kepada tenaga ahli atau persekutuan tenaga ahli sebagai Wajib Pajak dalam
negeri atas jasa yang dilakukan di Indonesia. Dalam pengertian perusahaan,
termasuk Perusahaan Jawatan, dan dalam pengertian badan termasuk badan
perwakilan negara asing dan badan internasional.
Ayat (2)
Yang dipotong pajak adalah bagian penghasilan setiap bulan yang
melebihi seperdua belas dari penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7. Misalnya seorang karyawan kawin dengan tanggungan 3 (tiga)
orang, penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,- (dua
juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) atau setiap bulan Rp. 240.000,-
(dua ratus empat puluh ribu rupiah). Apabila penghasilan karyawan itu sebesar
Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tiap bulan, maka penghasilan
yang dipotong pajak adalah sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Ayat (3)
Sesuai dengan sifat Pajak Penghasilan sebagai pajak perorangan
dan bukan pajak kebendaan, artinya keluarga Wajib Pajak yang menjadi tanggungan
penuh turut menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang, maka
kebenaran Surat Pernyataan Wajib Pajak mengenai susunan keluarganya mutlak
perlu. Sebagai alat pembanding dapat juga dipergunakan Kartu Keluarga Wajib
Pajak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dalam Buku Petunjuk Direktur Jenderal Pajak dimuat tabel yang
dapat dipakai pemberi kerja untuk memotong besarnya Pajak Penghasilan yang
harus disetorkannya ke Kas Negara.
Ayat (7)
Jika pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap karyawan
atau orang-orang yang Pajak Penghasilannya telah dipotong tersebut, tidak
lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang telah dipotong
dengan benar dinyatakan final berdasarkan ketentuan undang-undang ini.
Ayat (8)
Bagi karyawan yang mempunyai penghasilan lain disamping upah/gajinya,
maka mereka diwajibkan mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan juga diberlakukan
terhadap mereka yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pekerjaan
lebih dari satu pemberi kerja.
Ayat (9)
Untuk mempermudah pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan oleh
pihak yang membayarkan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Buku Petunjuk
Pemotongan Pajak Penghasilan.
Pasal 22
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur wewenang Menteri Keuangan untuk menetapkan
badan tertentu, baik swasta maupun pemerintah sebagai pemungut Pajak Penghasilan,
yang telah sangat dibatasi untuk mengurangi pungutan-pungutan pendahuluan
yang berlebihan. Pajak Penghasilan dipungut atas Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan usaha dengan atau melalui pemungut tersebut.
Undang-undang ini dengan tegas menentukan, bahwa hanya dari
kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh
pembayaran barang dan jasa dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dilakukan dengan atau melalui
pemungut-pemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat dipungut Pajak Penghasilan.
Dengan pembayaran barang dan jasa dari belanja negara dimaksudkan
ialah, pembayaran pembelian barang dan pembayaran penggantian jasa dengan
menggunakan Keuangan Negara baik Pusat maupun Daerah.
Ayat (2)
Besarnya Pajak Penghasilan yang dipungut tersebut dengan sendirinya
harus ditentukan sedemikian rupa, sehingga mendekati jumlah Pajak Penghasilan
yang terhutang atas Wajib Pajak bersangkutan.
Untuk itu Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan dasar
dan besarnya pungutan, yang disesuaikan dengan besarnya Pajak Penghasilan
yang akan terhutang untuk seluruh tahun pajak yang dihitung berdasarkan
undang-undang ini.
Pasal 23
Ayat (1)
Pembayaran dividen, bunga, sewa, royalti, imbalan atas jasa
teknik dan jasa manajemen yang merupakan penghasilan, harus dilunasi Pajak
Penghasilannya selama tahun berjalan melalui pemotongan oleh Wajib Pajak
badan dalam negeri di Indonesia atau badan pemerintah yang melakukan pembayaran
itu.
Pembayaran bunga dan imbalan lain sehubungan dengan peminjaman
uang dari Bank atau lembaga keuangan lainnya, tidak dipotong Pajak Penghasilan
oleh pihak yang membayarkan.
Tarip yang diterapkan di sini adalah tarip terendah, yaitu 15%
(lima belas persen), karena Wajib Pajak yang Pajak Penghasilannya dipotong,
masih wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melakukan penghitungan
pajak yang terhutang untuk seluruh penghasilannya dalam satu tahun pajak.
Ayat (2)
Disamping badan, baik swasta maupun pemerintah, orang pribadi
sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat juga ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak untuk memotong Pajak Penghasilan dari pembayaran-pembayaran tersebut
di atas.
Wewenang menunjuk orang pribadi untuk menjadi pemotong pajak
atas penghasilan dari modal ini ada pada Direktur Jenderal Pajak. Orang
pribadi berkewajiban memotong pajak sejak ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan bunga dan dividen tertentu dalam ayat ini
adalah :
a. bunga yang dibayarkan oleh bank atau Kantor Pos atas tabungan
dari penabung kecil;
b. dividen yang diterima atau diperoleh pemegang sertifikat
saham PT Danareksa,
yang jumlahnya tidak melebihi suatu jumlah yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terhadap penabung kecil atau
pemegang sertifikat saham PT Danareksa yang pada umumnya penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam setahun tidak melampaui jumlah penghasilan
tidak kena pajak.
Apabila terhadap penabung kecil atau pemegang sertifikat saham
tersebut dilakukan pemotongan pajak, maka hal tersebut menjadikan
beban bagi mereka untuk mengurus pengembaliannya.
Pembebasan pemotongan pajak atas bunga dan dividen tersebut
tidak berarti bahwa bunga dan dividen itu dikecualikan sebagai Obyek Pajak,
tetapi dikenakan pajak apabila bunga atau dividen jumlahnya melampaui penghasilan
tidak kena pajak.
Pasal 24
Ayat (1)
Pajak Penghasilan luar negeri adalah pajak yang dipungut di
luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana, yang
merupakan bagian dari seluruh penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan
di Indonesia.
Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan adalah
Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan luar negeri dari Wajib
Pajak dalam negeri.
Dengan demikian, maka Pajak Penghasilan luar negeri yang dikenakan
atas badan luar negeri yang membayarkan dividen tidak dapat dikreditkan
ada pajak dari Wajib Pajak Indonesia yang menerima dividen itu. Dengan
perkataan lain Pajak Penghasilan yang dikreditkan dari pajak yang terhutang
di Indonesia hanya Pajak Penghasilan yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak dalam negeri yang bersangkutan.
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas semua penghasilan
dari manapun diperoleh, termasuk penghasilan yang diperoleh dari sumber
penghasilan di luar negeri.
Atas penghasilan yang diperoleh dari luar negeri tersebut, dengan
sendirinya telah dikenakan pajak oleh negara asal penghasilan tersebut.
Pajak Penghasilan yang telah dibayar di negara asing tersebut dapat dikreditkan
terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang, sepanjang mengenai tahun
pajak yang sama.
Dengan perkataan lain, Pajak Penghasilan yang dibayar di luar
negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di sana dapat dikurangkan
dari Pajak Penghasilan yang terhutang, untuk tahun pajak yang sama.
Contoh :
a. Seorang konsultan Indonesia A bekerja selama setahun di Philipina
dan memperoleh imbalan (fee) dari jasa yang dilakukan di sana sebesar x.
Pajak yang dikenakan di Philipina atas fee tersebut misalnya 50% x X. Maka
jumlah sebesar 50% x X tersebut dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terhutang atas A.
b. Seorang pribadi B mendepositokan uangnya di salah satu bank
di Inggris.
Bunga deposito yang diterima sebesar Y.
Tarip pajak atas bunga deposito di sana, misalnya sebesar
30%.
Maka jumlah sebesar 30% x Y tersebut dapat dikreditkan
terhadap seluruh Pajak Penghasilan yang terhutang atas B.
c. PT AB di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari
Z, Incorporated di Amerika.
Misalnya Z, Incorporated memperoleh keuntungan sebesar
...US$ 100.000
Pajak Penghasilan atas Z,
Incorporated (Corporate income tax) : 48% US$. 48.000,-
US$. 52.000,-
Pajak atas dividen misalnya 38%
US$. 19.760,-
Dividen yang dikirimkan ke Indonesia US$.
32.240,-
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terhutang atas PT AB adalah pajak yang langsung dikenakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh
di atas yaitu jumlah sebesar US$. 19.760,-
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z, Incorporated
sebesar US$.48.000,- tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terhutang atas PT AB, karena pajak sebesar US$. 48.000,- tersebut
tidak dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. AB dari
luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z,Incorporated
di Amerika.
Ayat (2)
Pajak Penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terhutang adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
sebenarnya terhutang (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Akrual) dan
telah dibayar (untuk Wajib Pajak yang memakai Stelsel Kas) di luar negeri,
akan tetapi paling banyak sebesar hasil penerapan tarip pajak Indonesia,
terhadap penghasilan luar negeri tersebut yang dihitung menurut undang-undang
ini.
Ayat (3)
Ini merupakan penegasan bahwa penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26, berasal dari sumber penghasilan di Indonesia (ketentuan
tentang sumber penghasilan) ini berlaku juga bagi beberapa jenis penghasilan
lainnya yang ada kaitannya dengan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26, ketentuan tentang sumber penghasilan misalnya dalam hal penghasilan
yang berkenaan dengan harta (berupa sewa), menurut ketentuan tentang sumber
yang dianut oleh Pasal 26, penghasilan diperoleh di negara tempat harta
itu dipergunakan.
Jenis penghasilan lainnya berkenaan dengan harta tersebut misalnya
dalam hal harta tersebut dijual, keuntungan dari penjualan harta tersebut
merupakan penghasilan yang diperoleh di negara tempat harta itu berada
atau dipergunakan, sebab di negara tersebut sewa itu dikenakan Pajak Penghasilan,
jadi sumbernya berada di negara tempat menghasilkan sewa yang bersangkutan.
Ayat (4)
Misalnya apabila ternyata dalam tahun 1985 terdapat pengurangan
atau pengembalian Pajak Penghasilan luar negeri mengenai Pajak Penghasilan
luar negeri tahun 1984 sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), maka
pengurangan atau pengembalian pajak sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak
1985.
Pasal 25
Ketentuan dalam pasal ini mengatur tentang pembayaran angsuran
pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan, yang mengandung pengertian-pengertian
:
a. berapa besarnya angsuran;
b. dasar penghitungan besarnya angsuran.
Ayat (1)
Untuk mempermudah pengertian, diberikan contoh penghitungan
angsuran pembayaran pajak untuk tahun 1985 sebagai berikut :
Pajak Penghasilan yang terhutang tahun pajak 1984 Rp.10.000.000,-
Dikurangi :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja Rp. 3.000.000,-
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak
lain dari kegiatan usaha Rp. 2.000.000,-
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
atas penghasilan dari modal (sewa,bunga dsb). Rp.
500.000,-
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri Rp.
1.500.000,-
Rp. 7.000.000,-
Selisih Rp. 3.000.000,-
=======
Selisih sebesar Rp. 3.000.000,- ini dibagi dengan banyaknya
masa pajak dalam tahun 1985.
Apabila masa pajak yang dipakai untuk melunasi pajak dalam tahun
berjalan adalah satu bulan, maka dalam satu tahun pajak ada dua belas masa
pajak, maka jumlah angsuran setiap masa pajak Rp.3.000.000,- =Rp.250.000,-
12
Ayat (2)
Dengan dilakukannya pembaharuan undang-undang perpajakan ini,
maka apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak telah diisi sebagaimana
mestinya, dan penghitungan pajak yang terhutang telah dilakukan dengan
benar serta jumlah pajak yang terhutang itu telah dibayar lunas, maka tidak
akan ada lagi ketetapan pajak yang akan dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak.
Apabila ada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak, maka itu berarti, bahwa pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan dan yang telah dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak, ternyata
kurang daripada yang seharusnya menurut undang-undang.
Oleh karena itu, apabila ada ketetapan pajak, maka pengertian
Pajak Penghasilan yang terhutang pada dasarnya adalah berdasarkan ketetapan
pajak itu. Kecuali apabila dalam tahun berikutnya penghasilan Wajib Pajak
bertambah besar dan penghitungan pajak dilakukan dengan benar, maka Pajak
Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan tahun yang
berikutnya akan lebih besar.
Jumlah angsuran pajak dalam tahun berjalan sesudah itu yang
dilunasi oleh Wajib Pajak sendiri adalah pajak menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan tahun berikutnya itu dibagi dua belas. Pada prinsipnya, dengan
demikian, Pajak Penghasilan yang terhutang adalah jumlah Pajak Penghasilan
yang diketahui dari tahun pajak yang terakhir.
Jika Pajak Penghasilan yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan yang disampaikan lebih kecil daripada pajak yang telah disetor
selama tahun pajak yang bersangkutan dan oleh karena itu Wajib Pajak mengajukan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau permohonan untuk
memperhitungkan dengan hutang pajak lain, sebelum diputus oleh Direktur
Jenderal Pajak mengenai pengembalian atau perhitungan kelebihan tersebut,
besarnya angsuran bulanan sama besar dengan bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan itu disampaikan. Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak,
maka angsuran dari bulan yang berikutnya, setelah tanggal keputusan itu,
didasarkan atas jumlah pajak yang terhubung menurut keputusan tersebut.
Apabila pajak yang terhutang menurut ketetapan atau Surat Pemberitahuan
Tahunan terakhir mengandung kompensasi kerugian dari tahun-tahun sebelumnya,
maka pajak yang menjadi dasar untuk menentukan besarnya angsuran dalam
tahun berjalan, dihitung kembali berdasarkan pajak yang terhutang sebelum
dilakukan kompensasi kerugian. Dalam hal ketetapan atau Surat Pemberitahuan
Tahunan tidak ada, maka pengaturan tentang besarnya angsuran sebagai perkiraan
jumlah pajak yang akan terhutang, diatur dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan
ketentuan Pasal 27.
Ayat (3)
Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak untuk setiap masa pajak sedapat mungkin diusahakan sesuai
dengan besarnya pajak yang terhutang untuk masa pajak yang bersangkutan.
Untuk Wajib Pajak lembaga keuangan misalnya, besarnya angsuran ini adalah
lebih sesuai jika didasarkan pada Laporan Keuangan terakhir, sedang
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha milik Daerah didasarkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja perusahaan tahun pajak yang bersangkutan.
Jenis usaha apa saja yang dapat menghitung besarnya angsuran
pajak untuk setiap masa pajak dengan menggunakan dasar lain daripada Surat
Pemberitahuan Tahunan atau Surat Ketetapan pajak terakhir akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Pasal ini mengatur tentang pemotongan pajak bagi Wajib Pajak
luar negeri, yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. dasar pemotongan pajak, adalah jumlah bruto dari pembayaran-pembayaran
tersebut kepada Wajib Pajak luar negeri;
b. tarip pajak, adalah 20% (dua puluh persen);
c. sifat pemotongan, yaitu bahwa Pajak Penghasilan yang dipotong
tersebut bersifat final.
Yang diwajibkan oleh undang-undang ini untuk memotong pajak adalah
juga Wajib Pajak orang pribadi yang membayar atau terhutang bunga, dividen,
dan sebagainya. Final berarti Wajib Pajak tidak lagi diwajibkan menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan hal mana berbeda dengan istilah rampung dalam
sistem baru, yang berarti bahwa Wajib Pajak masih wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Pasal 27
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut pemenuhan kewajiban
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25, termasuk
penerapan tarip rata-rata atas penghasilan berupa uang pesangon dan uang
tebusan pensiun yang diterima atau diperoleh sekaligus.
Pasal 28
Pajak Penghasilan yang telah dilunaskan dalam tahun berjalan
baik yang dibayar oleh Wajib Pajak sendiri maupun yang dipungut atau dipotong
oleh pihak lain, jumlah keseluruhannya dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terhutang.
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terhutang...........................
Rp.10.000.000,-
Kredit-kredit pajak :
- pemotongan pajak dari pekerjaan
berdasarkan Pasal 21 Rp. 1.000.000,-
- Pemungutan pajak oleh pihak lain atas
penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp.
2.000.000,-
- Kredit pajak penghasilan luar negeri berdasarkan
Pasal 24. Rp. 3.000.000,-
- Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun
berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp. 2.000.000,-
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan
Rp. 9.000.000,-
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp. 1.000.000,-
=======
Pasal 29
Dalam contoh seperti dikemukakan pada penjelasan Pasal 28, maka
kekurangan Pajak Penghasilan yang terhutang sebesar Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah) harus dilunasi terlebih dahulu sebelum disampaikannya Surat
Pemberitahuan Tahunan, yaitu selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga
sesudah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.
Pasal 30
Ayat (1)
Setiap Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
atau penerimaan bruto Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) atau lebih,
harus dilampiri dengan Laporan Keuangan.
Ayat (2)
Kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, merupakan
kewajiban untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan tentang materi pengenaan
pajak menjadi pembayaran uang pajak ke Kas Negara. Oleh sebab itu undang-undang
ini menetapkan bahwa Surat Pemberitahuan Tahunan harus memuat data-data
yang dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan
yang terhutang, serta kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak.
Ayat (3)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan. Kewajiban ini tidak berlaku bagi Wajib Pajak orang
pribadi :
a. yang tidak mempunyai penghasilan lain dari pekerjaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh
penghasilan dari pekerjaan lebih dari satu pemberi kerja.
b. yang menerima atau memperoleh penghasilan netto yang tidak
melebihi jumlah penghasilan tidak kena pajak, misalnya :
seorang Wajib Pajak kawin dengan tanggungan keluarga 3
orang sedang isterinya tidak memperoleh penghasilan dari pekerjaan atau
dari usaha, maka penghasilan tidak kena pajak adalah sebesar Rp. 2.880.000,-
(dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Apabila penghasilan netto sebesar Rp. 2.880.000,- (dua
juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) atau kurang, maka
ia tidak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (4)
Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah
menghitung dan membayar besarnya pajak yang terhutang secara benar berdasarkan
ketentuan undang-undang ini, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan, kepadanya tidak perlu lagi diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun
surat keputusan dari administrasi perpajakan.
Ayat (5)
Apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau
berdasarkan keterangan yang diperoleh lain daripada pemeriksaan, bahwa
pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang
terhutang sebagaimana mestinya menurut Undang-undang.
Pasal 31
Ayat (1)
Kelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan atau diperhitungkan
dengan hutang pajak lainnya;
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terhutang Rp.10.000.000,-
Kredit-kredit pajak :
- Pemotongan pajak dari pekerjaan berdasarkanPasal 21 Rp.
1.000.000,-
- Pemungutan pajak oleh pihak lain atas
penghasilan dari usaha berdasarkan Pasal 22 Rp.
4.000.000,-
- Pemotongan pajak oleh pihak lain atas
penghasilan dari modal berdasarkan Pasal 23 Rp.
1.000.000,-
- Pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun
berjalan berdasarkan Pasal 25 Rp. 6.000.000,-
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp.12.000.000,-
Kelebihan pembayaran pajak Rp. 2.000.000,-
Kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp. 2.000.000,- ini dapat
dikembalikan atau diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya.
Ayat (2)
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang
untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan dan sebagainya dari
Wajib Pajak, sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan
pajak.
Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian
atau perhitungan kelebihan pajak adalah :
a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang
terhutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak
serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk
tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk kepentingan penelitian dan pemeriksaan,
Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang
untuk mengadakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan, buku-buku dan catatan
lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya
Pajak Penghasilan yang terhutang kebenaran jumlah pajak yang telah dikreditkan
dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini adalah untuk memastikan, bahwa uang yang akan dibayarkan
kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan
hak Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan pemeriksaan lain-lain termasuk pemeriksaan
setempat, melakukan pencocokan terhadap pihak lain yang mempunyai hubungan
dengan Wajib Pajak, dan sebagainya.
Pasal 32
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian Umum dari penjelasan
ini, ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan tata cara pengenaan pajak
diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang mengatur tentang cara pemungutan, sanksi-sanksi
berkenaan dengan kesalahan, ketidakpatuhan, pelanggaran, dan kejahatan,
kecuali apabila tata cara pengenaan pajak ditentukan lain dalam undang-undang
ini.
Pasal 33
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya merupakan tahun buku, maka
ada kemungkinan bahwa sebagian dari tahun pajak itu termasuk di dalam tahun
takwim 1984. Menurut ketentuan ayat ini, maka apabila 6 (enam) bulan dari
tahun pajak itu termasuk dalam tahun takwim 1984 Wajib Pajak diperkenankan
untuk memilih apakah mau mempergunakan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944
atau Ordonansi Pajak Perseroan 1925, ataupun memilih penerapan ketentuan-ketentuan
yang termuat dalam undang-undang ini. Kesempatan memilih semacam itu berlaku
pula bagi Wajib Pajak yang lebih dari 6 (enam) bulan dari tahun pajaknya
termasuk di dalam tahun takwim 1984.
Ayat (2)
Huruf a
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya terbatas misalnya
fasilitas perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri yang sudah diberikan sampai dengan tanggal 31 Desember
1983 masih tetap dapat dinikmati sampai dengan habisnya fasilitas perpajakan
tersebut.
Huruf b
Fasilitas perpajakan yang jangka waktunya tidak ditentukan,
tidak dapat dinikmati lagi terhitung mulai tanggal berlakunya undang-undang
ini, misalnya
- fasilitas perpajakan yang diberikan kepada PT Danareksa, berupa
pembebasan Pajak Perseroan atas laba usaha dan pembebasan Bea Meterai Modal
atas penempatan dan penyetoran modal saham, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Keuangan No. KEP-1680/MK/II/12/1976 tanggal 28 Desember 1976;
- fasilitas perpajakan yang diberikan kepada perusahaan Perseroan
Terbatas yang menjual saham-sahamnya melalui Pasar Modal, berupa keringanan
tarip Pajak Perseroan, berdasarkan Keputusan Menteri keuangan No. 112/KMK.04/1979
tanggal 27 Maret 1979.
Ayat (3)
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Undang-undang Pajak atas
Bunga, Dividen dan Royalty 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya
tetap berlaku terhadap penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh
dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dan dalam bidang penambangan
lainnya yang dilakukan dalam rangka perjanjian Kontrak Karya dan kontrak
Bagi Hasil, sepanjang perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut
masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini.
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap penghasilan
kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang penambangan minyak
dan gas bumi yang dilakukan dalam bentuk perjanjian Kontrak Karya dan Kontrak
Bagi Hasil tersebut dibuat setelah berlakunya undang-undang ini.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain mengenai :
a. Penerapan faktor penyesuaian untuk menghitung penghasilan
yang berasal dari keuntungan karena penjualan harta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan penerapan tarip efektip rata-rata atas
keuntungan tersebut ;
b. Pedoman penyusutan dan amortisasi;
c. Semua peraturan yang diperlukan, agar Undang-undang ini dapat
dilaksanakan sebaik-baiknya, termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal 36
Ayat (1)
Ayat ini menegaskan bahwa Undang-undang Pajak Penghasilan 1984
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Bagi Wajib Pajak yang tahun pajaknya sama dengan tahun takwim,
maka Undang-undang ini berlaku bagi mereka itu sejak tahun pajak 1984.
Untuk Wajib Pajak yang mempergunakan tahun buku yang berlainan dengan tahun
takwim, maka Undang-undang ini akan berlaku untuk tahun buku yang dimulai
sesudah 1 Januari 1984.
Ayat (2)
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3263