UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
10 TAHUN 1994
tentang
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAKPENGHASILAN
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGANUNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : Dst.
Mengingat : Dst.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1991, sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
“Pasal 1
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.”
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
“Pasal 2
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak;
b. badan, terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi,
koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun,
dan bentuk badan usaha lainnya;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subyek pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek
Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksudkan dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk
usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh
orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.”
3. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 2 dan Pasal 3 yang dijadikan
Pasal 2A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2A
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut
dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan
berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(2) Kewajiban pajak subyektif badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau
tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(3) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi
atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi
atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperolah penghasilan
tersebut.
(5) Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada
saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat
warisan tersebut selesai dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat
tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun
pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.”
4. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 adalah :
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.”
5. Ketentuan Pasal 4 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk :
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal;
2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan
badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota;
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambil-alihan usaha;
4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas anggotanya;
p. tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah :
a. 1) bantuan atau sumbangan;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi
yang sejenis, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan
di Indonesia;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
h. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi;
i. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa
dana;
j. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.”
6. Ketentuan Pasal 5 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 5
(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan
barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan
atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima
atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara
bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan
bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah :
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan
harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima
atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali
bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan."
7. Ketentuan Pasal 6 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya
pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan;
e. kerugian karena selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan
5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7."
8. Ketentuan Pasal 7 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar :
a. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan
ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat
ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 1.728.000,00 (satu juta tujuh ratus dua puluh delapan
ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 864.000,00 (delapan ratus enam puluh empat
ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun
pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut pada ayat
(1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.'
9. Ketentuan Pasal 8 disempurnakan dan ditambah dengan beberapa
ketentuan baru, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 8
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah
kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula
kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan
atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima
atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan
ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah
apabila :
a. suami-isteri telah hidup terpisah;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto
suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan
orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c."
10. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut
:
“Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan
pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta
sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A."
11. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 10
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual
beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau
diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar
harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam
rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta :
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan
sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan
sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima
pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga
pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata
atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama."
12. Ketentuan Pasal 11 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah, yang memiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada
tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan
mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas
harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Masa Manfaat
Tarif Penyusutan sebagaimana dimaksud pada
berwujud
Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun
25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun
12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun
6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun
5% 10%
II. Bangunan
Permanen
20th
5%
Tidak Permanen
10th
10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1),
ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab
lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima
atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan
harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada
ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.:
13. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 11 dan Pasal 12 yang dijadikan
Pasal 11A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku, dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus, dengan syarat dilakukan
secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta tak Masa Manfaat
Tarif Amortisasi berdasarkan Metode
berwujud
Garis Lurus Garis Menurun
Kelompok 1
4 Tahun
25% 50%
Kelompok 2
8 Tahun
12,5% 25%
Kelompok 3
16 Tahun
6,25% 12,5%
Kelompok 4
20 Tahun
5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal
suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi
sesuai dengan ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan
selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak
seperti tersebut pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa
buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.”
14. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
16. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Peredaran Bruto untuk menentukan peredaran
bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan
netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu
tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung
penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung
penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung Penghasilan
Netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
peredaran bruto atau tidak memperlihat pembukuan atau pencatatan peredaran
bruto atau bukti-bukti pendukungnya, sehingga tidak diketahui besarnya
peredaran bruto yang sebenarnya, maka peredaran bruto dan penghasilan netonya
dihitung berdasarkan norma penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(6) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan
pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya tetapi dapat diketahui peredaran
bruto yang sebenarnya, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diubah dengan keputusan Menteri Keuangan."
17. Ketentuan Pasal 15 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 15
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto
dari Wajib Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan
Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.”
18. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 16
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi
Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima
atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.”
19. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut
:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
10 %(sepuluh persen)
di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) s/d Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
15 %(lima belas persen)
di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
30 %(tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diturunkan menjadi serendah-rendahnya 25 % (dua puluh
lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun
pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak
yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak
tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada
ayat (1)."
20. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden
oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di
luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut
sekurang-kurangnya 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor;
atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya
memiliki penyertaan modal 50 % (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah
saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pasal
8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada
apabila :
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau lebih pada Wajib Pajak
lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan modal 25% (dua
lima puluh persen) atau lebih pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian
pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau
lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
(5) Apabila Wajib Pajak badan dalam negeri memiliki penyertaan
modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen)
atau lebih pada Wajib Pajak badan dalam negeri lainnya, maka lapisan tarif
rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 hanya diterapkan pada 1 (satu)
Wajib Pajak saja."
21. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 19
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian
kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara
unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri
Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1)."
22. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 20
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak,
dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan
dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final.”
23. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, wajib dilakukan oleh :
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun
dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas;
e. perusahaan, badan, dan penyelenggara kegiatan yang melakukan
pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak
untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan
biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak
tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sama dengan tarif pajak sebagaimana tersebut dalam Pasal
17.
(6) Pajak yang telah dipotong atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan dari 1 (satu) pemberi kerja
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4),
merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali pegawai atau pensiunan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan
bersifat final menurut Undang-undang ini.
(7) Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan pemotongan pajak
yang bersifat final atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan tertentu.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
24. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 22
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan,
tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.”
25. Ketentuan Pasal 23 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subyek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan
:
a. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
1) dividen;
2) bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15 % (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat
final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15 % (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
netto atas :
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan atas :
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa
guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf i;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
j;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.”
26. Ketentuan Pasal 24 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 24
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan,
penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara
tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta
tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk
usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang
dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan
dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.”
27. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong
dan/atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir dari tahun pajak yang lalu, sepanjang tidak kurang dari rata-rata
angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
(3) Apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak untuk 2 (dua)
tahun pajak sebelum tahun Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang menghasilkan angsuran pajak yang
lebih besar dari angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tersebut, maka besarnya angsuran pajak dihitung berdasarkan
surat ketetapan pajak tahun pajak terakhir.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan angsuran pajak
yang lebih besar daripada angsuran pajak bulan yang lalu, yang dihitung
berdasarkan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), maka besarnya
angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tahun
pajak terakhir dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan
surat ketetapan pajak.
5) Apabila Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu lebih kecil dari jumlah
Pajak Penghasilan yang telah dibayar, dipotong dan/atau dipungut selama
tahun pajak yang bersangkutan, maka besarnya angsuran pajak untuk setiap
bulan sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sampai dikeluarkannya
keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan untuk bulan-bulan berikutnya angsuran
pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang terutang menurut keputusan
tersebut.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu,
apabila :
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang
lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib
Pajak baru, bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak
ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
28. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai
berikut :
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang
oleh badan pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong
pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang
wajib membayarkan :
a. dividen;
b. bunga, termasuk
premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti,
sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan
dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan
penghargaan;
f. pensiun dan
pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi
asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong
pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20 %
(dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia yang ketentuannya ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Menteri
Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali :
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
usaha tetap.”
29. Ketentuan Pasal 27 dihapus.
30. Judul Bab VI diubah, sehingga menjadi sebagai berikut :
"BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
31. Ketentuan Pasal 28 disempurnakan dan ditambah dengan ketentuan baru,
sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 28
(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak
yang bersangkutan, berupa :
a. pemotongan
pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21;
b. pemungutan
pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha
di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan
pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
d. pajak yang
dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran
yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25;
f. pemotongan
pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).
(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh
dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
32. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 28 dan Pasal 29 yang dijadikan
Pasal 28 A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 28A
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun
pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak
berikut sanksi-sanksinya.”
33. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak
ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1), maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya
tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir,
sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.”
34. Ketentuan Pasal 30 dihapus.
35. Ketentuan Pasal 31 dihapus.
36. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan
Pasal 31A dalam Bab VII tentang Ketentuan Lain-lain, yang berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 31 A
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat
diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
37. Ketentuan Pasal 32 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan
dengan pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.”
38. Menambah ketentuan baru diantara Pasal 33 dan Pasal 34 yang dijadikan
Pasal 33A dan BAB VIII tentang Ketentuan Peralihan, yang berbunyi sebagai
berikut:
"Pasal 33A
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah
tanggal 30 Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan
dan telah mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal
1 Januari 1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir
pada tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di
bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan
lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak
Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan
tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.”
39. Ketentuan Pasal 34 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 34
Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan
yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang
ini.”
40. Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut
:
"Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984.”
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Nopember 1994
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
S O E H A R T O
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 November 1994
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1994 NOMOR 60
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991
UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap
orang, oleh karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai peran
serta masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945,
ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak
harus ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka sebagai hasil reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 telah
diundangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sebagai landasan hukum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku sejak tahun
1984, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.
Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan
nasional dan globalisasi di berbagai bidang, disadari bahwa banyak bentuk-bentuk
dan praktek penyelenggaraan kegiatan usaha yang aspek perpajakannya belum
diatur atau belum cukup diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Selain dari pada
itu, Undang-undang tersebut belum sepenuhnya menampung amanat dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara 1993. Oleh karena itu, dipandang sudah masanya untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan
kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor. 7 Tahun
1991 adalah sebagai berikut :
a. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan
pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat dalam
berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan,
pemerataan pembangunan, dan investasi di seluruh wilayah Republik Indonesia;
d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang
hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan
potensinya, dan dalam rangka pengentasan kemiskinan;
f. Menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan
dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumber daya alam dan lingkungan hidup;
g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan
makin bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan
dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan
pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk
peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, perlu
dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1991, dengan pokok-pokok sebagai berikut :
a. Dalam rangka meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan
nasional, diatur ketentuan-ketentuan yang menunjang kegiatan ekstensifikasi
dan intensifikasi pengenaan pajak;
b. Ketentuan mengenai Subyek Pajak diatur secara lebih luwes agar dapat
mengikuti perkembangan sosial ekonomi dan perkembangan bentuk-bentuk aktifitas
bisnis yang timbul dan berkembang di masyarakat;
c. Kesempatan mengenai Obyek Pajak diatur dengan lebih rinci, jelas
dan tegas untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam pengenaan
pajak;
d. Dalam rangka menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya;
e. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pengeluaran untuk
biaya pelatihan, magang, dan bea siswa dapat dibebankan sebagai biaya;
f. Dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan
dan pemerataan pembangunan nasional di segala bidang, dapat diberikan fasilitas
perpajakan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
g. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak
lebih dari 10 (sepuluh) tahun yang diatur selaras dengan kebijakan pemerintah
dalam pemerataan pembangunan nasional;
h. Untuk menunjang program pemerintah dalam pelestarian ekosistem,
sumber daya alam dan lingkungan hidup, ditegaskan bahwa biaya pengolahan
limbah boleh dibebankan sebagai biaya dan diatur mengenai pembentukan atau
pemupukan cadangan untuk biaya reklamasi;
i. Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak dalam hal penghitungan
penyusutan atas harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha serta lebih
menyelaraskan pembukuan Wajib Pajak untuk kepentingan fiskal, maka kepada
Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk memilih metode penyusutan atas harta
berwujud bukan bangunan;
j. Kebijaksanaan di bidang tarif pajak dilakukan dengan mengatur kembali
besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dan besarnya lapisan tarif pajak
dengan tetap mempertahankan progresivitas tarif yang diberlakukan terhadap
Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan, dengan mempertimbangkan
kesempatan melakukan pengembangan kegiatan usaha dan persaingan dunia usaha
dalam era globalisasi;
k. Mencegah penghindaran pajak melalui penundaan pembagian laba dalam
waktu yang tidak ditentukan atas penanaman modal di luar negeri;
l. Perluasan dalam sistem pemotongan dan pemungutan pajak untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak, menggali potensi fiskal yang tersedia, dan menunjang
sistem "self assessment" melalui pemanfaatan data yang lebih efektif dan
efisien;
m. Dalam rangka kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak serta untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, diatur pemungutan pajak yang bersifat
final atas penghasilan-penghasilan tertentu.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-undang ini mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap
Subyek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Subyek Pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima
atau memperoleh penghasilan. Subyek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam Undang-undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun
pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak, apabila kewajiban pajak subjeknya dimulai atau berakhir dalam tahun
pajak.
Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-undang ini adalah
tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak
sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka
waktu 12 (dua belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2 Ayat (1)
Pengertian Subyek Pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subyek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan merupakan Subyek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang
berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
Subyek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Pengertian badan sebagai Subyek Pajak terdiri dari perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi,
yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk
badan usaha lainnya.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subyek
Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu
dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subyek Pajak.
Perkumpulan sebagai Subyek Pajak adalah perkumpulan yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dan/atau memberikan
jasa kepada anggota. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi,
persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan
yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subyek Pajak dibedakan antara Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek
Pajak luar negeri. Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila
telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan Subjek Pajak luar
negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang
diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang
pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan
Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal
dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
netto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu
tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui
pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya
dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan Undang-undang tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subyek Pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk
dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah
mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah
seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang
menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
Subyek Pajak dalam negeri dianggap Subyek Pajak dalam negeri dalam pengertian
Undang-undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris
yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya
beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai
Subyek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subyek
Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada obyeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subyek Pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka orang tersebut
adalah Subyek Pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh
melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut
dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan
tersebut statusnya tetap sebagai Subyek Pajak luar negeri. Dengan demikian
bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai
Subyek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui
bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada Subyek
Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat
usaha (“place of business”) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan
gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas
nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan
agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen
atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka
menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan
asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya
di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa
yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi
pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat
tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan
yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan
tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain
domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan
usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan
pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 2A
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subyektif yang kewajiban
pajaknya melekat pada Subyek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban
pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subyek Pajak
lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan
saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subyektif menjadi penting.
Ayat (1)
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada
di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subyektifnya dimulai sejak
hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subyektif orang pribadi
berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya.
Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan
dengan hal-hal yang nyata pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan
Indonesia. Apabila pada saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti
yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya,
maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap,
kewajiban pajak subyektifnya dimulai pada saat bentuk usaha tetap tersebut
berada di Indonesia dan berakhir pada saat bentuk usaha tetap tersebut
tidak lagi berada di Indonesia.
Ayat (4)
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
adalah Subyek Pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut
mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan
Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima
atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan tersebut dimulai
pada saat orang pribadi atau badan mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia,
yaitu menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber di Indonesia
dan berakhir pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Ayat (5)
Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut, yaitu pada saat meninggalnya
pewaris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada
warisan tersebut. Kewajiban pajak subyektif warisan berakhir pada saat
warisan tersebut dibagi kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan
kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
Ayat (6)
Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka
waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi
Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang
dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan
tahun pajak.
Angka 4
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat serta pejabat-pejabat
lainnya, dikecualikan sebagai Subyek Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subyek Pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau
mereka adalah warga negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh
penghasilan lain di Indonesia di luar jabatannya, maka ia termasuk Subyek
Pajak yang dapat dikenakan pajak atas penghasilan lain tersebut.
Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan pembebasan pajak
kepada pejabat perwakilan Indonesia atas penghasilan lain di luar jabatannya,
maka berlaku asas timbal balik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut
untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk
kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,
penghasilan dapat dikelompokkan menjadi :
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris,
akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta
atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain
sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi
dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang-undang
ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan
yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu
tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal),
kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila
suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final
atau dikecualikan dari Obyek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan
untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas
pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti
upah, gaji, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh
pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Obyek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk
natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga
dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan
dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari
nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, maka
selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga
jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT. S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan
usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta
rupiah). Mobil tersebut dijual sesuai dengan harga pasar sebesar Rp.60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan PT. S yang diperoleh
karena penjualan mobil tersebut adalah Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya
dengan harga Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual
mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp.20.000.000,00 ( dua puluh
juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT. S, dan bagi pemegang saham yang
membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu
selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku
harta tersebut, merupakan Obyek Pajak. Demikian juga selisih lebih antara
harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambil alihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang
diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan
atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta
tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak, merupakan Obyek Pajak.
Sebagai contoh Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan
sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar
pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi di jual di atas nilai
nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di
bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli
obligasi.
Huruf g
Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang
polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh
anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah :
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan
nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran kecuali saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham baru dan revaluasi aktiva
tetap;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan
yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan
secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh
modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga
yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih
lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di
pasar, diperlakukan sebagai deviden. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai
deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang
bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu
imbalan sehubungan dengan penggunaan :
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek
dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial,
dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial
dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual,
misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus
seperti anjungan pengeboran minyak ("driling rig"), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau
bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi
tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan
riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian
informasi disini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan
publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya,
yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin
ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta
gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah,
dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan
seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan
bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat
dibebankan sebagai biaya.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata
uang asing atau adanya kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter.
Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing,
pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh Wajib
Pajak, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimakusd
dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan
volume kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya
iuran yang besarnya ditentukan berdasarkan volume ekspor, satuan produksi
atau satuan penjualan, adalah penghasilan bagi perkumpulan tersebut.
Huruf p
Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan
baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Obyek Pajak serta yang belum
dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan netto yang
melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan
Obyek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya
di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya merupakan Obyek Pajak. Tabungan
masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan sumber
dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari tabungan masyarakat tersebut perlu diberikan perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari
diberikan perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan
dalam pemungutan pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya
serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut
juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan
pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan
Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur
tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan
serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan
ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek
Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha,
hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi,
misalnya PT. A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya
diproduksi oleh PT. B. Apabila PT. B memberikan sumbangan bahan baku kepada
PT. A, maka sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT. A merupakan Obyek
Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan Obyek Pajak
apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena
harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan
Obyek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti
beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan seperti
penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan dan lain sebagainya, bukan
merupakan Obyek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut
bukan Wajib Pajak, maka imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut
merupakan penghasilan bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya,
seorang Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing
di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang
disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai
tersebut, sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan
Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan
Obyek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi
untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan
Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, deviden atau bagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
yayasan atau organisasi yang sejenis, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan
dan bertempat kedudukan di Indonesia, tidak termasuk Obyek Pajak. Yang
dimaksud dengan badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah pada
ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah,
bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba
adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi
baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer dan sebagainya,
maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan
Obyek Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Obyek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku
bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan. Yang dikecualikan dari Obyek Pajak adalah:
1) iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri
maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima
oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang
akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.
Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta
pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Obyek
Pajak.
2) penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu
berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun
dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk pembayaran kembali
kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau
yang berisiko tinggi. Oleh karena itu, penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
Huruf h
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut
dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak
sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu,
bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan
Obyek Pajak.
Huruf i
Perusahaan reksa dana adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melakukan
investasi, investasi kembali, atau jual beli sekuritas. Bagi pemodal khususnya
pemodal kecil, perusahaan reksa dana merupakan salah satu pilihan yang
aman untuk menanamkan modalnya. Penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksa dana dari investasinya dapat berupa deviden dan bunga
obligasi.
Karena perusahaan reksa dana pada umumnya berbentuk perseroan terbatas,
sesuai dengan ketentuan pada ayat (3) huruf f, deviden tersebut bukan merupakan
Obyek Pajak. Agar tidak mengurangi dana yang tersedia untuk dibagikan kepada
para pemodal, terutama pemodal kecil, bunga obligasi juga bukan merupakan
Obyek Pajak bagi perusahaan reksa dana.
Huruf j
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya
membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan
modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian
laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak
termasuk sebagai Obyek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, maka deviden yang diterima
atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Obyek Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya
untuk meningkatkan ekspor nonmigas, maka usaha atau kegiatan dari perusahaan
pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan. Mengingat perusahaan
modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal,
maka penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura
diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa
efek.
Angka 6
Pasal 5
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan
pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.
Ayat (1)
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari
usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan
demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari
usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis
dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan
bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut
termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh
bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung
tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha
tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh
bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha
tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan
oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di
luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan
bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha
tetapnya kepada klien di Indonesia.
Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia,
apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan
penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup
perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc.
Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti
dari PT. Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan
jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan
X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk
usaha tetap.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang
digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia,
boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta
besarnya biaya yang boleh dikurangkan tersebut ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Huruf b dan huruf c
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan
kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor
pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan
perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan
ini pembayaran bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya berupa royalti,
imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bentuk
usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha tetapnya bergerak
dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat
dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran
yang sejenis yang diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya
tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh bentuk
usaha tetap dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Angka 7
Pasal 6 Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat
tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu)
tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya.
Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.
Disamping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena
penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari
yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan Obyek Pajak. Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Obyek
Pajak, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh :
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari :
a) penghasilan yang bukan merupakan Obyek Pajak
sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf g sebesar Rp 100.000.000,00
b) penghasilan bruto di luar ad. a) sebesar Rp 300.000.000,00 (+)
Jumlah penghasilan bruto Rp 400.000.000,00
==========
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00 maka biaya yang
boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
adalah sebesar 3/4 x Rp.200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham
yang sudah beredar atau untuk melakukan akuisisi saham milik pemegang saham
pendiri atau lama tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang deviden
yang diterimanya tidak merupakan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f, kecuali bunga atas pinjaman yang dipergunakan
untuk melakukan penyertaan pada perusahaan yang baru didirikan atau mengambil
bagian dalam "right issue" oleh perusahaan yang telah lama berdiri. Bunga
pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran
untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman
yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi
asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang Wajib Pajak telah melakukan upaya-upaya penagihan yang
maksimal atau terakhir, yaitu Wajib Pajak telah menyerahkan penagihan piutang
tersebut kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau telah
mendapat keputusan Pengadilan.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi pegawai yang bersangkutan
premi tersebut merupakan penghasilan. Pengeluaran-pengeluaran sehubungan
dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan.
Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai
biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan
pedagang yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui
batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah
yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal
18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain
Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai
(BM), Pajak Pembangunan I (PP.I), dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakekatnya
merupakan sumbangan.. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak
berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A
beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya
sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan
melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan
kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri
Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuannya
semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan
dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi
tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing dapat disebabkan oleh
adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau oleh adanya kebijaksanaan
pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih kurs mata uang asing yang
disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib
Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap, pembebanan kerugian
selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata
uang asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan
kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir
tahun, Pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs
tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan pemerintah di bidang moneter
dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan pembebanannya dilakukan
bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan dalam rangka menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang dan pelatihan
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan
perusahaan.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan
pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian,
maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan netto atau laba
fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT. A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00.
Dalam 5 (lima) tahun berikutnya rugi laba fiskal PT. A sebagai berikut
:
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00 (+)
sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00) (-)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp N I H I L
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
===========
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
yang masih tersisa pada akhir tahun 2000, tidak boleh dikompensasikan lagi
dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi fiskal 1997 sebesar Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal
tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak
tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 8
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah
kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan
yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut mendapat
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar Rp 1.728.000,00.
(satu juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam
garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang
tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan
Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan
anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga
yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung
oleh Wajib Pajak.
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat)
orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut
tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya,
maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib
Pajak A adalah sebesar Rp 5.184.000,00 {Rp 1.728.000,00 + Rp 864.000,00
+ (3 x Rp 864.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja, diberikan Penghasilan Tidak
Kena Pajak sebesar Rp 1.728.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung
dengan penghasilan suami, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 6.912.000,00 (Rp 5.184.000,00
+ Rp 1.728.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 1995 Wajib Pajak B berstatus kawin
dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah
tanggal 1 Januari 1995, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 1995 tetap dihitung berdasarkan
status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga pokok setiap tahunnya.
Angka 9
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan
pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau
kerugian suaminya dan dikenakan pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan
tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan
sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan
bahwa:
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi
kerja, dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.
Contoh :
Wajib pajak A, yang memperoleh penghasilan dari usaha sebesar Rp.100.000.000,00,
mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan sebesar
Rp.50.000.000,00. Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu
pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga
lainnya, maka penghasilan sebesar Rp 50.000.000,00 tidak digabung dengan
penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat
final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya
salon kecantikan dengan penghasilan sebesar Rp 75.000.000,00, maka seluruh
penghasilan isteri sebesar Rp 125.000.000,00 (Rp 50.000.000,00 + Rp.75.000.000,00
) digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut A dikenakan
pajak atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 (Rp.100.000.000,00 + Rp
50.000.000,00 + Rp 75.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri
tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
atas penghasilan sebesar Rp 225.000.000,00 tersebut yang dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan suami.
Ayat (2) dan Ayat (3)
dalam hal suami-isteri telah hidup terpisah, penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Namun, apabila
suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis, penghitungan pajaknya dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan
netto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan
besarnya penghasilan netto.
Contoh :
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis adalah sebagai berikut :
Dari contoh pada ayat (1), apabila isterinya menjalankan usaha salon
kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan
sebesar Rp.225.000.000,00.
Misalnya pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp.56.250.000,00, maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan
pajaknya dihitung sebagai berikut :
- Suami : 100.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 =Rp 225.000.000,00
225.000.000,00
- Isteri : 125.000.000,00 x Rp 56.250.000,00 = Rp 31.250.000,00
225.000.000,00
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa yang tidak digabung dengan penghasilan
orang tuanya hanya penghasilan yang berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau kegiatan dari orang yang mempunyai hubungan
istimewa dengan anak tersebut.
Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah,
menerima atau memperoleh penghasilan maka pengenaan pajaknya digabungkan
dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
Angka 10
Pasal 9 Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan
antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Obyek
Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian
penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan aman dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran
deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada
anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya
karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan
tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya
yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada prinsipnya tidak dapat
dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Namun
untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis memang diperlukan
adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang akan terjadi dikemudian
hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa
guna usaha dengan hak opsi, dan cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan yang bersangkutan
dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan
pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi,
penerimaan tersebut bukan merupakan Obyek Pajak. Apabila premi asuransi
tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi
kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai
yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Obyek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf
d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap
bukan merupakan Obyek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan
ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka
menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian
seragam, antar jemput karyawan, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan
untuk awak kapal, dan sejenisnya, pemberian tersebut bukan merupakan imbalan
tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan
yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya
wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini,
jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu
badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan
sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama
yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar
Rp.2.000.000,00, (dua juta rupiah) maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli
yang juga sebagai pemegang saham tersebut, jumlah sebesar Rp 3.000.000,00
(tiga juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai deviden.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah
Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya,
pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan,
firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham,
bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap
penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan
jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan,
dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak
dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran,
melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 11
Pasal 10
Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk
persediaan, dalam rangka menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan
harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi
penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan
barang dagangan.
Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak
pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi
pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga
perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh
harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya
adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya
adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara
pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar
atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa
nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta
lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh :
PT. A PT. B
Nilai sisa buku
Harga Pasar ( Harta X )
Rp 10.000.000,00
Rp 20.000.000,00 ( Harta Y )
Rp 12.000.000,00
Rp 20.000.000,00
Antara PT. A dan PT. B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak
terdapat realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun
karena harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000,00, maka
jumlah sebesar Rp.20.000.000,00 merupakan nilai perolehan yang seharusnya
dikeluarkan atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan
merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT. A memperoleh keuntungan
sebesar Rp 10.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00), dan PT.
B memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000,00 (Rp 20.000.000,00 - Rp.12.000.000,00).
Ayat (3)
Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang
dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut
dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan
tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan
merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh :
PT. A dan PT. B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu
PT. C. Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut
adalah sebagai berikut :
PT A PT B
Nilai sisa buku
Harga Pasar Rp 200.000.000,00
Rp 300.000.000,00 Rp 300.000.000,00
Rp 450.000.000,00
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT. A dan PT. B
dalam rangka peleburan menjadi PT. C adalah harga pasar dari harta. Dengan
demikian, PT. A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000,00 (Rp 300.000.000,00
- Rp.200.000.000,00) dan PT. B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000,00
(Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00). Sedangkan PT. C membukukan semua
harta tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000,00 (Rp.300.000.000,00 + Rp
450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial,
ekonomi, investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, misalnya atas
dasar nilai sisa buku (“pooling of interest”). Dalam hal demikian PT. C
membukukan penerimaan harta dari PT. A dan PT. B tersebut sebesar Rp 500.000.000,00
(Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan
yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka
nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta
dari pihak yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan
pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan
atas harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan
yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga
pasar.
Ayat (5)
Penyerahan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi
dengan setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal dimaksud, yaitu dinilai berdasarkan
nilai pasar dari harta yang dialihkan tersebut.
Contoh :
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah
Rp.25.000.000,00 kepada PT. Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan
nilai nominal Rp 20.000.000,00. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut
adalah Rp 40.000.000,00. Dalam hal ini PT. Y akan mencatat mesin bubut
tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp 40.000.000,00 dan sebesar nilai
tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT. Y. Selisih antara nilai nominal
saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000,00 (Rp 40.000.000,00
- Rp.20.000.000,00) dibukukan sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih
sebesar Rp.15.000.000,00 (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) merupakan
Obyek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang
jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan
bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang
hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan
untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata
atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (“first-in
first-out atau disingkat FIFO”). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian
tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Contoh :
1. Persedian Awal 100 satuan @ Rp 9,00
2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00
3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25
4. Penjualan/dipakai 100 satuan
5. Penjualan/dipakai 100 satuan
Penghitungan harga pokok dan nilai persediaan dengan menggunakan cara
rata-rata misalnya sebagai berikut :
No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan
1. 100s @Rp 9,00= Rp 900,-
2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 200s @Rp. 10,50 = Rp. 2.100,-
3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 300s @Rp. 10,75 = Rp. 3.225,-
4. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 200s @Rp. 10,75 = Rp. 2.150,-
5. 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,- 100s @Rp. 10,75 = Rp. 1.075,-
Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan
cara FIFO misalnya sebagai berikut :
No. Didapat Dipakai Sisa/Persediaan
1. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-
2. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-
100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-
3. 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,- 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,-
100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-
100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
4. 100s @Rp. 9,00 = Rp. 900,- 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,-
100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
5. 100s @Rp. 12,00 = Rp. 1.200,- 100s @Rp. 11,25 = Rp. 1.125,-
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan
untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya
harus digunakan cara yang sama.
Angka 12
Pasal 11
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran
tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Tanah tidak
boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan
atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut
berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah
dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik atau perusahaan
batu bata. Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini
adalah (a) dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau “straight-line
method”), atau (b) dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau “declining-balance
method”). Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara
taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan
metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan
metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai
sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (“small tools”)
yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh Penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya
20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp.5.000.000,00
(Rp 100.000.000,00 : 20).
Contoh Penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juni 1995 dengan
harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut
adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50%
(lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut
:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
0 150.000.000,00
1 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
3 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
4 disusutkan sekaligus 18.750.000,00 0
Ayat (3) dan Ayat (4)
Ketentuan ini mengatur saat mulainya penyusutan, yaitu pada tahun dilakukannya
pengeluaran, atau pada tahun selesainya pengerjaan suatu harta. Namun berdasarkan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan
pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan atau pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud
dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai
berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya
penghasilan.
Contoh 1
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp.100.000.000,00.
Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 1995 dan selesai untuk digunakan
pada bulan Maret 1996. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung
tersebut dimulai pada tahun pajak 1996.
Contoh 2
PT. X yang bergerak di bidang perkebunan kopi membeli traktor pada
tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2000.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut
dapat dilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan
atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat
harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo
menurun.
Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat
sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang
dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha
tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman
keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud
yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan
keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan Ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan
pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan netto
dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dengan
biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut, dan/atau penggantian
asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan
atau pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari
harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui
dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat
dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), dalam
hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak untuk melakukan
penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan jenis-jenis harta
yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh
Wajib Pajak.
Angka 13
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lain yang mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun, diamortisasi dengan metode (a) dalam
bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau (b) dalam
bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi
atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode
saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud
atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta
tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak
dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai
dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi
yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang
diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya
tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan
masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat
4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya
5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan
kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi
yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran
jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh
hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan
sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas
bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan
hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah
setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun.
Contoh :
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai
potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00 diamortisasi
sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun
yang bersangkutan. JIka dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi
mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30 % (tiga puluh persen)
dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut
mencapai 30 % (tiga puluh perseratus) dari jumlah potensi yang tersedia,
besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan
bruto pada tahun tersebut adalah 20 % (dua puluh persen) dari pengeluaran
atau Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial,
adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya
biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk
biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya
rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran
operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh :
PT. X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan
gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan
minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta)
barel. setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus
juta) barel, PT. X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan
harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian
dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut :
Harga perolehan Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50 %) Rp 250.000.000,00
NIlai buku harta Rp 250.000.000,00
Harga jual harta Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00 dibukukan sebagai
penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 12
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 13
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak sangat
penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan
kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud,
Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari bahwa tidak
semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan netto
bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya peredaran
bruto dan besarnya penghasilan netto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dengan berpedoman pada suatu pegangan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan norma penghitungan
tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan
atau catatan peredaran bruto yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan
secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian
atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan netto.
Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Netto hanya boleh digunakan oleh Wajib
Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp 600.000.000,00.
Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto tersebut Wajib
Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang
peredaran brutonya. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan netto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto, tetapi tidak memberitahukannya kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Wajib
Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Peredaran
Bruto dan Norma Penghitungan Penghasilan Netto terhadap Wajib Pajak yang
peredaran bruto sebenarnya tidak dapat diketahui, yaitu Wajib Pajak yang
:
a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia memperlihatkan
pembukuan atau catatan peredaran bruto atau bukti-bukti pembukuan atau
bukti-bukti pencatatan peredaran bruto, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya
tidak dapat diketahui;
b. dianggap menyelenggarakan pembukuan karena tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak tentang keinginannya untuk menghitung penghasilan
netto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, namun ternyata tidak
atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan sehingga peredaran bruto
yang sebenarnya tidak dapat diketahui;
c. telah menyatakan keinginannya kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Nteto, namun ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan
mengenai peredaran brutonya, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak
dapat diketahui.
Ayat (6)
Ketentuan ini mengatur tentang penerapan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak yang sebenarnya dapat diketahui
namun penghasilan nettonya tidak dapat dihitung, yaitu terhadap Wajib Pajak
yang :
a. Wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak atau tidak sepenuhnya
menyelenggarakan pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya,
namun peredaran bruto yang sebenarnya dapat diketahui;
b. dianggap menyelenggarakan pembukuan seperti dimaksud pada ayat (4)
tetapi tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
memperlihatkan pembukuan atau bukti-buktinya, namun peredaran bruto yang
sebenarnya dapat diketahui.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran bruto
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan perkembangan ekonomi
dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 17
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan
Wajib Pajak tertentu, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak,
gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and transfer”).
Untuk menghitung kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan
praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang
usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma
Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan netto dari Wajib
Pajak tertentu tersebut.
Angka 18
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal
dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa dan penghitungan dengan menggunakan norma penghitungan.
Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma
Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan
keputusan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara :
(1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
(2) Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan
Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan cara penghitungan biasa dengan
contoh sebagai berikut :
Peredaran bruto Rp 300.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan Rp 255.000.000,00 (-)
- Laba usaha (penghasila netto usaha ) Rp 45.000.000,00
- Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
peng hasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00 (-)
Rp 2.000.000,00 (+)
Jumlah seluruh penghasilan netto Rp 47.000.000,00
- Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00 (-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan) Rp 45.000.000,00
- Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 3 anak) Rp
5.184.000,00 (-)
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp
39.816.000,00
=========
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp 300.000.000,00
-Penghasilan netto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20 % Rp
60.000.000,00
- Penghasilan netto lainnya
- Jumlah seluruh penghasilan netto Rp 5.000.000,00
(+)
Rp 65.000.000,00
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak)
Penghasilan Kena Pajak Rp 5.184.000,00 (-)
Rp 59.816.000,00
==========
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan
Kena Pajak badan dalam negeri. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung
dengan cara penghitungan biasa.
Contoh :
- Peredaran buto Rp 400.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan Rp
275.000.000,00 (-)
Rp 125.000.000,00
Penghasilan bunga Rp 5.000.000,00
Penjualan langsung barang oleh kantor
pusat yang sejenisdengan barang yang
dijual bentuk usahatetap Rp 200.000.000,00
Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp 150.000.000,00 (-)
Rp 50.000.000,00
Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 2.000.000,00
(+)
-Rp 182.000.000,00
- Biaya-biaya menurut Pasal ayat (3) Rp 7.000.000,00 (-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 175.000.000,00
==========
Ayat (4)
Contoh :
Misalnya orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subyektifnya
sebagai Subyek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka
waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp 10.000.000,00 maka penghitungan
Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp 10.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar :
360 x Rp 10.000.000,00 Rp 40.000.000,00
3 x 30
Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) Rp 5.184.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00
=========
Angka 19
Pasal 17 Ayat (1)
Contoh :
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 120.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang : 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30% x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00 (+)
Rp 27.250.000,00
=========
Tarif pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
sama dengan tarif pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan
secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan diumumkan selambat-lambatnya
2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif, serta dikemukakan
oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk
dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat
inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan keputusan yang mengatur
tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif
dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan Ayat (6)
Contoh ( berdasarkan contoh dalam Pasal 16 ayat (4)) :
Penghasilan Kena Pajak Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun :
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 9.816.000,00 = Rp 1.472.400,00
Rp 3.972.400,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan).
(3 x 30) x Rp 3.972.400,00 = Rp 993.100,00
360
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan
tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih
tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur pada ayat (1). Penentuan
tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan,
keadilan, pemerataan, dan dalam pengenaan pajak.
Angka 20
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi
keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan
yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak.
Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang
wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (“debt-equity
ratio”). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar yang
melebihi batas-batas kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam
keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan
Kena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional
sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri
menanam modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran
pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha
yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan
saat diperolehnya deviden.
Contoh :
PT. A dan PT. B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada
X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak
diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 1995 X Ltd. memperoleh laba setelah
pajak sejumlah Rp 100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
deviden dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat
hubungan istimewa kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang
dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya.
Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya
diantara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam
menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai
beberapa pendekatan, misalnya data pembanding alokasi laba berdasar fungsi
atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan
indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung,
dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai utang, maka Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal
perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi
mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara
para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang
dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan,
sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap
sebagai deviden yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan
atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara
Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah
atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan
yang berupa penyertaan modal sebesar 25 % (dua puluh lima persen) atau
lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT. A mempunyai 50 % (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikkan
saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT.B
tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C maka PT. A sebagai
pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT.
C sebesar 25 % (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT. A,
PT. B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga
memiliki 25 % (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT.
C, dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan
seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat
hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada
di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan
yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda
dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Ayat (5)
Berdasarkan ketentuan ini, Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
pada Wajib Pajak lainnya, maka untuk penghitungan Pajak Penghasilan yang
terutang atas Wajib Pajak-Wajib Pajak dimaksud penerapan lapisan tarif
rendah hanya diberikan satu kali saja yaitu terhadap Wajib Pajak induknya.
Sedangkan terhadap Wajib Pajak lainnya dalam satu grup, Pajak Penghasilan
yang terutang dihitung langsung berdasarkan tarif yang lebih tinggi yang
dikenakan terhadap Wajib Pajak induk tersebut atau tarif tertinggi.
Yang dimaksud dengan lapisan tarif rendah adalah lapisan tarif di bawah
lapisan tarif tertinggi yang diterapkan terhadap Penghasilan Kena Pajak
dari Wajib Pajak induk dimaksud.
Contoh :
PT. A memiliki saham PT. B sebesar 50 % (lima puluh persen) dan PT.
B memiliki saham PT. C sebesar 60 % (enam puluh persen). Penghasilan Kena
Pajak atau kerugian fiskal tahun 1995 untuk masing-masing badan misalnya
sebagai berikut :
PT. A Penghasilan Kena Pajak : Rp 200.000.000,00
PT. B Rugi Fiskal : (Rp 40.000.000,00)
PT. C Penghasilan Kena Pajak : Rp 70.000.000,00
Penghitungan pajak yang terutang : :
PT. A :
10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30 % x Rp 125.000.000,00 = Rp 45.000.000,00 (+)
Rp 51.250.000,00
PT. B : Nihil
Kerugian fiskal sebesar Rp 40.000.000,00 tidak boleh diperhitungkan
terhadap penghasilan netto PT. A dan PT C.
PT. C :
30 % x Rp 70.000.000,00 = Rp 21.000.000,00
Atas Penghasilan Kena Pajak PT. C sebesar Rp 70.000.000,00 langsung
diterapkan tarif 30 % (tiga puluh persen), karena penerapan tarif rendah
hanya dilakukan pada satu Wajib Pajak yaitu PT. A.
Angka 21
Pasal 19
Ayat (1)
Adanya perkembangan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di
bidang moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan,
yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam
keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan
tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya
dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 22
Pasal 20
Ayat (1)
Agar pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan mendekati jumlah pajak
yang akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya
dilakukan melalui :
a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan
oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dalam Pasal
21, pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25.
Ayat (2)
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk
setiap bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti
saat dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan,
sehingga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan
baik.
Ayat (3)
Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran
pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap
Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan
pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur pelunasan
pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis penghasilan
tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Angka 23
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan
melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan
pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun,
badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan
pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang,
perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar atau terutang gaji, upah,
tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus,
pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan yang dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk
juga organisasi internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong
pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah pembayaran dengan nama
apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium, dan pembayaran lain
seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah orang pribadi yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan
kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium
dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara
lainnya dan Kedutaan Negara Republik Indonesia di luar negeri yang membayar
gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan penyelenggara jaminan sosial
tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan
hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain termasuk tunjangan-tunjangan
baik yang dibayarkan secara berkala atau pun tidak yang dibayarkan kepada
penerima pensiun , penerima tunjangan hari tua, penerima tabungan hari
tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga ahli orang pribadi misalnya
dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak
untuk atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Perusahaan, badan, atau penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak
atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan. Dalam pengertian badan termasuk badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, dan perkumpulan. Kegiatan yang diselenggarakan
misalnya olahraga, keagamaan, kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan
hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak
Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan
hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai harian, mingguan,
serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi
dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan memperhatikan Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Apabila pemberi kerja telah melakukan pemotongan dan penyetoran pajak
dengan benar, maka pada akhir tahun pajak terhadap pegawai atau orang pribadi
yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan dari 1 (satu) pemberi kerja,
yang pajaknya telah dipotong tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan, kecuali pegawai atau orang pribadi tersebut memperoleh penghasilan
lain yang bukan penghasilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan
bersifat final menurut Undang-undang ini, misalnya pemotongan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7).
Ayat (7)
Misalnya, penghasilan tertentu dari kegiatan seperti hadiah olah raga
dan undian.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 22
Ayat (1) dan Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah :
Bendaharawan pemerintah, termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang;
-badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan
dengan kegiatan di bidang impor, atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini, dimaksudkan untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran
pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang
tepat waktu.
Dalam hubungan ini Menteri Keuangan menetapkan besarnya pungutan tersebut
bersifat final.
Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan
antara lain :
- penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan
pajak secara efektif dan efisien;
- tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang;
- prosedur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang sederhana sehingga
mudah dilaksanakan.
Angka 25
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan
selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subyek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan antara penghasilan
bruto dan perkiraan penghasilan netto. Dasar pemotongan pajak untuk pembayaran
penghasilan dalam bentuk deviden, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan
adalah jumlah penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan penghasilan
lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan netto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak
adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain jasa yang telah
dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Atas
penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggota-anggotanya
tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai
dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang
untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan
netto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto, Direktur
Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan
pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 26
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, ketentuan
ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak
yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak.
Contoh :
PT. A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di
Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar
US$ 100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan
Pajak Deviden adalah 38% penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah
sebagai berikut :
Keuntungan Z Inc. US$ 100,000.00
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) : 48 % US$ 48,000.00
(-)
US$ 52,000.00
Pajak atas deviden (38 %) US$ 19,760.00 (-)
Deviden yang dikirim ke Indonesia US$ 32,240.00
Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan
yang terutang atas PT. A adalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas yaitu
jumlah sebesar US$ 19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$ 48,000.00
tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT.
A, karena pajak sebesar US$ 48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. A dari luar negeri, melainkan
pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri dengan penghasilan yang diterima
atau diperoleh di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang
di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan
Undang-undang ini.
Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat
(6).
Ayat (3) dan Ayat (4)
Dalam perhitungan kredit pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini, penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini mengatur tentang penentuan sumber penghasilan
untuk memperhitungkan kredit pajak luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas,
maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan
selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan
prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai
Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun
1995 rumah tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah
tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di Singapura, karena rumah
tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan
yang dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan
di Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka
selisihnya ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak
atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp 5.000.000,00,
yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap
pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar Rp 5.000.000,00
tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak
1996.
Ayat (6)
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan
yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1 :
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 1994 Rp 50.000.000,00
dikurangi :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja
(Pasal 21) Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22) Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23) Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
(Pasal 24) Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00 (-)
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk
tahun 1995 adalah sebesar Rp 1.250.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 12).
Contoh 2 :
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian
tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun 1994, maka besarnya
angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 1995
adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00 : 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun berakhir, maka besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebelum batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat
dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1). Berdasarkan ketentuan ini, besarnya
angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran
pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi tidak boleh
lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang lalu.
Contoh :
Pajak pada bulan Maret 1995, maka besarnya angsuran pajak yang harus
dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 adalah sebesar
angsuran pajak bulan Desember 1994, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00.
Namun apabila dalam bulan September 1994 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober
sampai dengan Desember 1994 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak
yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan Januari dan Pebruari
1995 adalah berdasarkan perhitungan rata-rata angsuran bulanan tahun lalu,
yaitu sebesar Rp 750.000,00 (9 x Rp 1.000.000,00 : 12).
Ayat (3) dan Ayat (4)
apabila telah diterbitkan surat ketetapan pajak sebelum tahun Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang menghasilkan angsuran pajak
lebih besar dari pada angsuran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, maka angsuran bulanan dihitung
menurut surat ketetapan pajak terakhir.
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk
2 (dua) tahun pajak sebelumnya yang menghasilkan jumlah angsuran pajak
yang lebih besar dari jumlah angsuran pajak bulan sebelumnya, maka angsuran
pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak terakhir.. Perubahan angsuran
pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak.
Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang
disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995, perhitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni
1994 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 1992 yang menghasilkan
besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00. Selanjutnya
dalam bulan Oktober 1994 diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak
1993 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp
1.500.000,00.
Berdasarkan ketentuan pada ayat (3), maka besarnya angsuran pajak mulai
bulan Maret 1995 adalah sebesar Rp 1.500.000,00 dengan perhitungan angsuran
pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tahun 1993, sedangkan besarnya
angsuran pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 1995 dihitung berdasarkan
ketentuan pada ayat (2).
Selanjutnya apabila dalam bulan Oktober 1995 diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak 1994 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
untuk setiap bulan sebesar Rp 1.750.000,00, maka berdasarkan ketentuan
pada ayat (4), besarnya angsuran pajak mulai bulan Nopember 1995 adalah
sebesar Rp.1.750.000,00
Ayat (5)
Apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang disampaikan lebih kecil dari pada pajak yang telah dibayar,
dipotong, dan dipungut selama tahun pajak yang bersangkutan, dan oleh karena
itu Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak atau permohonan untuk memperhitungkan dengan utang pajak lain, sebelum
Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan mengenai pengembalian atau
perhitungan kelebihan pajak tersebut, besarnya angsuran bulanan adalah
sama dengan angsuran pajak bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu, tetapi
tidak boleh lebih kecil dari rata-rata angsuran bulanan tahun pajak yang
lalu.
Setelah adanya keputusan Direktur Jenderal Pajak, maka angsuran bulanan
dari bulan berikutnya setelah tanggal keputusan itu, dihitung berdasarkan
keputusan tersebut.
Contoh :
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 1994 yang disampaikan
Wajib Pajak dalam bulan Maret 1995 menunjukkan kelebihan pembayaran pajak
sebesar Rp 40.000.000,00, sedangkan angsuran bulanan dalam tahun 1994 sebesar
Rp 1.000.000,00.
Atas permohonan pengembalian pembayaran pajak tahun 1994 tersebut,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan bulan Agustus 1995 yang menghasilkan
besarnya angsuran untuk setiap bulan menjadi nihil. Berdasarkan ketentuan
ini besarnya angsuran pajak setiap bulan untuk bulan Januari sampai dengan
bulan Agustus 1995 sebesar Rp 1.000.000,00 dan mulai bulan September 1995
adalah nihil.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri
dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak
yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan
ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang
untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila terdapat kompensasi
kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur,
atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1 :
- Penghasilan PT. X tahun 1994 Rp 120.000.000,00
- Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000,00
- Sisa kerugian yang belum di-
kompensasikan tahun 1994 Rp 30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 1995 adalah:
- Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan
Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp 90.000.000,00
- Pajak Penghasilan terutang :
10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp 3.750.000,00
30 % x Rp 40.000.000,00 = Rp 12.000.000,00 (+)
Rp 18.250.000,00
=========
- Apabila pada tahun 1994 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong
atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya angsuran pajak
bulanan PT. X tahun 1995 = 1/12 x Rp 18.250.000,00 = Rp 1.520.833,33 (dibulatkan
Rp.1.520.833,00 ).
Contoh 2 :
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang dalam tahun 1994
Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari pengontrakkan rumah
selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 1994 sebesar Rp
72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus
diterima pada tahun 1994, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 1995 adalah hanya
dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3 :
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena
penurunan atau peningkatan usaha. PT. B yang bergerak di bidang produksi
benang dalam tahun 1995 membayar angsuran bulanan sebesar Rp.15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 1995 pabrik milik PT. B terbakar, oleh karena itu
berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 1995 angsuran
bulanan PT. B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp 15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT. B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya
peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih
besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka kewajiban angsuran bulanan
PT. B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun
berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan
selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati
kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya
pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan
jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk menentukan besarnya angsuran
pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah, terdapat kewajiban menyampaikan
kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dalam
suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat bidang usaha atau
Wajib Pajak tertentu yang angsuran pajaknya dapat dihitung berdasarkan
data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar
negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan yang dapat
dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara, pertimbangan
sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional, dengan
Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban membayar
pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Angka 28
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri
dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak,
yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi
Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber
di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan
pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran
kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia,
dengan tarif sebesar 20 % (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan
dalam
1. penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk deviden, bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang,
royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
3. hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;
4. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan Subyek Pajak dalam
negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak
luar negeri, maka Subyek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk
memotong Pajak Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari luar negeri yang ikut
mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian
merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak
Penghasilan sebesar 20 % (dua puluh persen).
Ayat (2) dan Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia,
selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan
dari penjulan harta dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas
penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20 % (dua puluh persen) dari
perkiraan penghasilan netto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto dimaksud,
serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak ditetapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha
tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh :
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia Rp 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan :
10 % x Rp 25.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15 % x Rp 25.000.000,00 = Rp
3.750.000,00
30 % x Rp 17.425.000.000,00 = Rp 5.235.000.000,00(+)
Rp 5.241.250.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak setelah dikurangi pajak Rp 12.258.750.000,00
Pajak Penghasilan yang dipotong sebesar 20 % Rp. 2.451.750.000,00
===========
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak tersebut sebesar
Rp.12.258.750.000,00 ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan keputusan
Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri bersifat
final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau
badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga
potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
Contoh :
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan
PT. B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk
jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1995. Pada
tanggal 20 April 1995 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8
(delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1995. Jika
perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang maka status A adalah tetap
sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja
tersebut, maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib
Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 1995. Selama bulan
Januari sampai dengan Maret 1995 atas penghasilan bruto A telah dipotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT. B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan
yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus
1995, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT. B
atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap
pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 29
Pasal 27
Cukup jelas
Angka 30
Judul Bab VI diganti menjadi “PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN”.
Angka 31
Pasal 28
Ayat (1)
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain,
dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang
bersangkutan.
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,00
Kredit pajak :
Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,00
Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,00
Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,00
Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,00
Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,00(+)
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,00 (-)
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,00
=========
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 28 A
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1) Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak
atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum
dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.
Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian
atau perhitungan kelebihan pajak adalah :
a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta
bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun
pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak
atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan
atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan
lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang,
kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk
menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar
kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan
hak Wajib Pajak.
Angka 33
Pasal 29
Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan
pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-undang ini sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Apabila tahun
buku sama dengan tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi
selambat-lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan
apabila tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya dimulai tanggal
1 Juli sampai dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya
tanggal 25 September.
Angka 34
Pasal 30
Cukup jelas
Angka 35
Pasal 31
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 31 A
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di dalam undang-undang
perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
hakekatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam
penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan
tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya terutama untuk
berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam
skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan ini
dapat pula diberikan untuk mendorong perkembangan daerah yang terpencil,
seperti yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan
pembangunan
Kemudahan yang diberikan terbatas dalam bentuk :
a. penyusutan dan amortisasi yang lebih dipercepat;
b. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun;
c. pengurangan Pajak Penghasilan atas deviden sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk menampung kemungkinan
perjanjian dengan negara atau negara-negara lain dalam bidang perdagangan,
investasi, dan bidang lainnya.
Angka 37
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 38
Pasal 33 A
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang berakhir tanggal 30
Juni 1995 atau sebelumnya (tidak sama dengan tahun takwim), maka tahun
buku tersebut adalah tahun pajak 1994. Pajak yang terutang dalam tahun
tersebut tetap dihitung berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. Sedangkan bagi Wajib
Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 1995, wajib menghitung
pajaknya mulai tahun pajak 1995 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang ini.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai
fasilitas perpajakan tentang saat mulai berproduksi yang diterbitkan sebelum
tanggal 1 Januari 1995 dapat menikmati fasilitas perpajakan yang diberikan
sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan yang bersangkutan.
Dengan demikian sejak 1 Januari 1995 keputusan tentang saat mulai berproduksi
tidak diterbitkan lagi.
Ayat (4)
Ketentuan pajak dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerja sama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan
tersebut. Walaupun Undang-undang ini sudah mulai berlaku, namun kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak yang terikat dengan kontrak bagi hasil, kontrak
karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tetap dihitung
berdasar kontrak atau perjanjian dimaksud.
Dengan demikian, ketentuan Undang-undang ini baru diberlakukan untuk
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
di bidang pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi dan pengusahaan
pertambangan umum lainnya yang dilakukan dalam bentuk kontrak karya, kontrak
bagi hasil, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, yang ditanda
tangani setelah berlakunya Undang-undang ini.
Angka 39
Pasal 34
Cukup jelas
Angka 40
Pasal 35
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini, yaitu semua peraturan yang
diperlukan agar Undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,
termasuk pula peraturan peralihan.
Pasal II
Cukup jelas
Pasal III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3567