UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa dalam upaya untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak serta agar lebih dapat diciptakan kepastian hukum, perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal
23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
telah diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 126 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3567);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang :
a. Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
b. Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b dan ayat (6) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 2
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
a. 1) orang pribadi;
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak;
b. badan;
c. bentuk usaha tetap.
(2) Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan
Subjek Pajak luar negeri.
(3) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau
orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak.
(4) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau
oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
tidak bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.”
2. Ketentuan Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d diubah, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 adalah:
a. badan perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat
atau pejabat-pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima
atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia."
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf k, huruf o, dan ayat
(3) huruf a dan huruf f diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi
sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam
bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan
harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan
dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai
dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak.
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. warisan;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima
oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. dividen atau bagian laba yang diterima
atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha
Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif
di luar kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar
oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan
oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan
atau pemberian ijin usaha;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau
yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf h, sehingga keseluruhan Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan
yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan,
biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak
kecuali Pajak Penghasilan;
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia;
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
dengan syarat:
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan
laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan
umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak,
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan
5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7."
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar:
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh
ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh
ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh
ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh
ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun
pajak atau awal bagian tahun pajak.
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah, sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun
seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib
Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali
zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang
pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
h. Pajak Penghasilan;
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma,
atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
di bidang perpajakan.
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan
melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
atau Pasal 11 A."
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), ayat (9), dan ayat (11) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang
berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan
bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai
pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas
harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Berwujud Masa Manfaat Tarif penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) Ayat (2)
I. Bukan bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1),
ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab
lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima
atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan
harta tersebut.
Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
8. Ketentuan Pasal 11A ayat (1), ayat (3), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11A berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas.
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok Harta
Tak Berwujud Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan metode
Garis
Lurus Saldo
Menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal
suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan
selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai
sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. "
9. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, serta ayat (6) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan
neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam
satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan
atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya,
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(6) dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ."
10. Ketentuan Pasal 17 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6), dan ayat (7) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
bagi:
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
5%( lima persen)
di atas Rp 25.000.000,00
(dua puluh lima juta rupiah)
s.d. Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
10%(sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15% (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
25% (dua puluh lima persen)
di atas Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
5% (tiga puluh limapersen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
10% (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
15%(lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
30%(tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah
25% (dua puluh lima persen).
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah
dalam ribuan rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian
tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan
pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif
pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)."
11. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) diubah, ayat (5) dihapus, serta di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (3a), sehingga keseluruhan Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk
keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya
dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan
usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa
efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya penyertaan modal Wajib
Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima
puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam
negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh
persen) dari jumlah saham yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian
dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara
lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir.
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal
10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau
dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus."
12. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta ayat (6) dan ayat (7) dihapus, sehingga
keseluruhan Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, wajib dilakukan oleh:
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain
yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam
rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang
melakukan pekerjaan bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran
sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan
organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak
untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan
biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan,
serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan
bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran,
dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa
atau kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
13. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, ayat (2), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak
dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto
dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi;
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan
penghasilan neto atas:
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa
yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dilakukan atas:
a. penghasilan yang dibayar atau
terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan
dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggotanya.”
14. Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (7) diubah, ayat (3) dan ayat (5) dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat baru yaitu ayat (9), sehingga keseluruhan Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran
pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat
ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak
dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan
penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, yaitu:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar
dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak
baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib
Pajak tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar
negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib
Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang
tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang
ini."
15. Ketentuan Pasal 26 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia,
kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi
asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong
pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua
puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi
Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. "
16. Ketentuan Pasal 31 A diubah, sehingga keseluruhan Pasal 31 A berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal
di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat
diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi
30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi
tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh
persen),
kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan
yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
17. Di antara Pasal 31 A dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal baru yaitu Pasal 31 B dan Pasal 31 C, yang masuk dalam BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 31 B
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha
melalui lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas
pajak yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa
keringanan Pajak Penghasilan yang terutang atas:
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian
utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal.
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi
dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi
kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah
Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”
18. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan
pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.”
19. Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 32 A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32 A
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.”
Pasal II
Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Ketiga
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984”.
Pasal III
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 127
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2000
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
UMUM
1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. Undang-undang Pajak Penghasilan
ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya
tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana
peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
2. Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan
nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dan setelah
mengevaluasi perkembangan pelaksanaan undang-undang perpajakan selama lima
tahun terakhir, khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan, maka dipandang
perlu untuk dilakukan perubahan undang-undang tersebut guna meningkatkan
fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional
khususnya di bidang ekonomi.
3. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap
berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal
yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan
negara dan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu,
arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah
sebagai berikut :
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak;
c. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan
investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah
tertentu yang mendapat prioritas.
4. Dengan berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut,
perlu dilakukan perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
10 Tahun 1994, meliputi pokok-pokok sebagai berikut :
a. Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka
dilakukan perluasan subjek dan objek pajak dalam hal-hal tertentu dan pembatasan
pengecualian atau pembebasan pajak dalam hal lainnya. Struktur tarif pajak
yang berlaku juga perlu diubah dan dibedakan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
dan untuk Wajib Pajak Badan, guna memberikan beban pajak yang lebih proporsional
bagi masing-masing golongan Wajib Pajak, disamping mempertahankan tingkat
daya saing dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
b. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, sistem
self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus
diperbaiki. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem dan tatacara pembayaran
pajak dalam tahun berjalan agar tidak mengganggu likuiditas Wajib Pajak
yang menjalankan usaha. Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas perlu didorong untuk melaksanakan kewajiban pembukuan dengan tertib
dan taat asas, namun untuk membantu dan membina para Wajib Pajak pengusaha
dengan jumlah peredaran tertentu, masih diperkenankan penggunaan norma
penghitungan penghasilan neto dengan syarat wajib menyelenggarakan pencatatan.
c. Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia baik
penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dan sejalan dengan
kesepakatan ASEAN yang dideklarasikan di Hanoi pada tahun 1999, diatur
kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Pengertian Subjek Pajak meliputi orang pribadi,
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha
tetap.
Huruf a
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat
tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi
sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, pengertian Badan adalah sekumpulan
orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk
reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha
tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri, terpisah dari badan.
Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan Subjek
Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai
eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan
Subjek Pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya
yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan Subjek
Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria berikut tidak termasuk sebagai Subjek Pajak, yaitu:
1) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2) dibiayai dengan dana yang bersumber dari
APBN atau APBD;
3) penerimaan lembaga tersebut dimasukkan
dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah; dan
4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Sebagai Subjek Pajak, perusahaan reksadana
baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam
pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula
asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama.
Huruf c
Lihat ketentuan dalam ayat (5) dan penjelasannya.
Ayat (2)
Subjek Pajak dibedakan antara Subjek Pajak dalam
negeri dan Subjek Pajak luar negeri. Subjek Pajak dalam negeri menjadi
Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, sedangkan Subjek Pajak luar negeri
sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima
dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan
dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan
di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam
negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya,
antara lain:
a. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak
atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari
luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
b. Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak
berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar
negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak
sepadan.
c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan
Surat Pemberitahuan Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang
terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan
kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan
Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini dan
Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi
Subjek Pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau
berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat
tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut,
tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan
oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak
dalam negeri dalam pengertian Undang-undang ini mengikuti status pewaris.
Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan
oleh orang pribadi sebagai Subjek Pajak luar negeri yang tidak menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat
pada objeknya.
Ayat (4)
Huruf a dan huruf b
Subjek Pajak luar negeri adalah orang pribadi
atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui
ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia kurang dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka
orang tersebut adalah Subjek Pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh
melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut
dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan
tersebut statusnya tetap sebagai Subjek Pajak luar negeri. Dengan demikian
bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai
Subjek Pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia.
Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya dilakukan
langsung kepada Subjek Pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya
suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa
tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang
pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak
untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal
atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai
kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya
bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat
kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia
apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi
di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan
atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti
bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal,
berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang
mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau
tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan
demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan
pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan
badan tersebut antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal
keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan
untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 2
Pasal 3
Huruf a dan huruf b
Sesuai dengan kelaziman internasional, badan perwakilan
negara asing beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai Subjek
Pajak di tempat mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai Subjek Pajak bagi pejabat-pejabat
tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar
jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu
negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau
pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk Subjek Pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan lain tersebut.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-undang ini menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang ini tidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan
Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan
pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis
kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja
dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek
dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak
ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain
sebagainya;
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang,
hadiah, dan lain sebagainya.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai
untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan
yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar
negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas
yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan
yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah
Objek Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk
imbalan dalam bentuk natura yang pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari
undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah
dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan
yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang
diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga
yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau
nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam
hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang
sahamnya, maka harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan
keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan
dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar
Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan
harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian keuntungan
PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang
pemegang sahamnya dengan harga
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka nilai jual mobil tersebut
tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
merupakan keuntungan bagi PT S. dan bagi pemegang saham yang membeli mobil
tersebut selisih sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan
dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga
pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan Objek Pajak. Demikian
juga selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal
terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan
usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal, maka keuntungan berupa selisih antara
harga pasar dari harta yang diserahkan dengan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar
dengan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau
sumbangan dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali
harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan Objek Pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang
sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan,
maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium,
diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat
obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan
bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi
yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh
pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha
koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Termasuk dalam pengertian dividen
adalah:
1) pembagian laba baik secara langsung ataupun
tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2) pembayaran kembali karena likuidasi yang
melebihi jumlah modal yang disetor;
3) pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4) pembagian laba dalam bentuk saham;
5) pencatatan tambahan modal yang dilakukan
tanpa penyetoran;
6) jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya
yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham
oleh perseroan yang bersangkutan;
7) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian
dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh
keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan
modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda
laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut;
9) bagian laba sehubungan dengan pemilikan
obligasi;
10) bagian laba yang diterima oleh pemegang
polis;
11) pembagian berupa sisa hasil usaha kepada
anggota koperasi;
12) pengeluaran perusahaan untuk keperluan
pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau
pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham
yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan
dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang
demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat
bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga
yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri
dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak
pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2) hak atas harta berwujud, misalnya hak atas
alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan
alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan
yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan
di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling
rig), dan sebagainya;
3) informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan
secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di
bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud
adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak
perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak
termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah
informasi yang diberikan oleh
misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau
ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh
setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang
diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil,
sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya
"alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang
dalam waktu tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang
dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan
bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian,
dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur
kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha
Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil
lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf l
Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan
fluktuasi kurs mata uang asing atau adanya kebijaksanaan Pemerintah di
bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata
uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut
oleh Wajib Pajak dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi
reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan
akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek
Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan
kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan
pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan dalam ayat (1), penghasilan
berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya
merupakan Objek Pajak. Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan
dan bursa efek merupakan sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari tabungan masyarakat
tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari diberikannya
perlakuan tersendiri dimaksud antara lain adalah kesederhanaan dalam pemungutan
pajak, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan
perkembangan ekonomi dan moneter. Pertimbangan tersebut
juga mendasari perlunya pemberian perlakuan tersendiri terhadap pengenaan
pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan,
serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan
Pajak Penghasilan termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut diatur
tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan
pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi baik bagi Wajib
Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka pengenaan Pajak Penghasilan
dalam ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima
bukan merupakan Objek Pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan
kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau
sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan
yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis
barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan
sumbangan bahan baku kepada PT A, maka sumbangan bahan baku yang diterima
oleh PT A merupakan Objek Pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan
merupakan Objek Pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai,
yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan
tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan
dalam bentuk kenikmatan seperti penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan
dan lain sebagainya, bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura
atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan
norma penghitungan khusus deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau
memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi
pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut
memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik
tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut
merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan diplomatik
yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan yang diterima oleh
orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
bea siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar
oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan
dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya
berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, dan Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaannya pada badan usaha
lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), dan
penerima dividen tersebut memperoleh
penghasilan dari usaha riil di luar penghasilan
yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang
dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dalam
ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah,
bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima
dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut
di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma,
perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, maka
penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan Objek
Pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan
ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah
iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun
yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan
kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut
berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran
tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian
sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun
yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal
yang ditanamkan di bidang-bidang
tertentu berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal
oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk
pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman
modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif
atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan
sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya
dikenakan pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut.
Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut
bukan lagi merupakan Objek Pajak.
Huruf j
Perusahaan reksadana adalah perusahaan yang
kegiatan utamanya melakukan investasi, investasi kembali, atau jual beli
sekuritas. Bagi pemodal khususnya pemodal kecil, perusahaan reksadana merupakan
salah satu pilihan yang aman untuk menanamkan modalnya.
Dalam rangka mendorong tumbuhnya perusahaan
reksadana, maka bunga obligasi yang diterima oleh perusahaan reksadana
dikecualikan sebagai Objek Pajak selama lima tahun pertama sejak perusahaan
reksadana tersebut didirikan atau sejak diperolehnya izin usaha.
Huruf k
Perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan
yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam
bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan
ketentuan ini, bagian laba yang
diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan
usaha tidak termasuk sebagai Objek Pajak, dengan syarat perusahaan pasangan
usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan
di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf f, maka dividen
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan Objek
Pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat
diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas
untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, maka
usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh
Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan
alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, maka penyertaan modal
yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan
yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang
mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai
masa manfaat tidak lebih
dari 1 (satu) tahun
merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya
gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya.
Sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping
itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta
atau karena selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud dalam ayat ini lazim
disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut
harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri
dari:
a. penghasilan yang bukan merupakan Objek
Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h sebesar Rp 100.000.000,00
b. penghasilan bruto lainnya sebesar
Rp 300.000.000,00
Jumlal penghasilan
bruto
Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00,
maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan
untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen
yang diterimanya tidak merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut
dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya
dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya
pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran
bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam
serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja
untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan,
namun bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan
pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan
dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau
kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak
boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam bentuk natura
atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam
batas-batas yang
wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang
yang baik. Dengan demikian apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran
tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka jumlah yang melampaui
batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9
ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan
dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel dan Restoran, dapat dibebankan
sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu
dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan
biaya yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan
atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2),
Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan
pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus,
pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan
iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau
belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan atau pengalihan
harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan
yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan
harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena selisih kurs mata uang asing
dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari, atau
oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian selisih
kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs, pembebanannya
dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan harus dilakukan
secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan
kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian selisih kurs dilakukan
pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut.
Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan
kurs tengah Bank Indonesia atau
kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun,
pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun berdasarkan kurs tengah
Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun.
Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah
di bidang moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan
pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing
tersebut.
Huruf f
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan
yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan
sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa,
magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran
dan kepentingan perusahaan.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya
sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya
penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya
berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal
asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan
dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan
berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan
bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak
tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal
sebesar Rp
1.200.000.000,00. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A
sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp
200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 Rp
N I H I L (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp
100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp
900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp
800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp
100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00
yang masih tersisa pada akhir tahun 2000 tidak boleh dikompensasikan lagi
dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan rugi
fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.
Ayat (3)
Dalam menghitung Laba Kena Pajak Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi
dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada
Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh
penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak tersebut
mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah
dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
misalnya orang tua, mertua, anak kandung, anak angkat, diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk
paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh
Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan
4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu
pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota
keluarga lainnya, maka besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan
kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 8.640.000,00 {Rp 2.880.000,00 +
Rp 1.440.000,00 + (3 x Rp 1.440.000,00)}. Sedangkan untuk isterinya, pada
saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 2.880.000,00.
Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, maka
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak
A adalah sebesar
Rp 11.520.000,00 (Rp 8.640.000,00 + Rp 2.880.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak
pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak
B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang
kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya Penghasilan Tidak
Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001 tetap
dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan
wewenang untuk mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 6
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak
dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran
yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran
yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi
kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa
hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian
dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan
untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti
perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar
oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan pada
prinsipnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan
Kena Pajak. Namun untuk jenis-jenis usaha tertentu yang secara ekonomis
memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup beban atau kerugian yang
akan terjadi di kemudian hari, yang terbatas pada piutang tak tertagih
untuk usaha bank, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha
asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, maka perusahaan
yang bersangkutan dapat melakukan pembentukan dana cadangan yang ketentuan
dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf d
Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan
asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau
ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut
boleh dibebankan sebagai biaya
dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan
penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan
Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal
tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap
bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong
pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa
penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara
bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya,
seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam
petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk
awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan
imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat
terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada
pegawai yang
juga pemegang saham. Karena pada dasarnya
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya
wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah
yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang
saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh
imbalan sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) .
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan
oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp 2.000.000,00
(dua juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai
pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Berbeda dengan pengeluaran hibah, pemberian
bantuan, sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a dan huruf b, yang tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan
Kena Pajak, zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena
Pajak. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan tersebut harus nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah sebagaimana diatur
dalam Undang-undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
dan sepanjang berkenaan dengan penghasilan yang menjadi Objek Pajak dapat
dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada tahun
zakat tersebut dibayarkan.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan
dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan
penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan,
sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima
oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang
mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya
dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan
terhadap penghasilan. Sejalan dengan prinsip
penyelarasan antara pengeluaran
dengan
penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan
sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan
dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11
dan Pasal 11A.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara
mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut
melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak
pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut
dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan
dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh
tanah hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai yang pertama kali
adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha
atau hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi
yang berwenang untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya perpanjangan hak
guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai diamortisasikan selama jangka
waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan
ini adalah:
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa
manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line
method); atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun
atau declining balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan
secara taat azas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat
disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat
disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode
saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan
sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil
(small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00
dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah
sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 ? 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan
Januari 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat
dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya
ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 150.000.000,00
2000 50% 75.000.000,00 75.000.000,00
2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2003 Disusutkan
sekaligus 18.750.000,00 0
Ayat (3) dan ayat (4)
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada
tahun pertama dihitung secara pro-rata. Namun berdasarkan persetujuan Direktur
Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan.
Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam ketentuan
ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.
Contoh 1.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah
sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2000
dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2001. Penyusutan atas harga
perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak
2001.
Contoh 2.
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan
Juli 2000 dengan harga perolehan sebesar Rp 100.000.000,00. Masa manfaat
dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya
ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah
sebagai berikut:
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku
Harga Perolehan 100.000.000,00
2000 ½ X 50% 25.000.000,00 75.000.000,00
2001 50% 37.500.000,00 37.500.000,00
2002 50% 18.750.000,00 18.750.000,00
2003 50% 9.375.000,00 9.375.000,00
2004 Disusutkan sekaligus 9.375.000,00 0
Contoh 3.
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli
traktor pada tahun 1999. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen)
pada tahun 2000. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan
traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2000.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak
dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini
mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut
metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan bangunan tidak permanen adalah
bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan
lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya
tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat
dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang
usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman
keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk peyusutan harta berwujud
yang digunakan dalam usaha tersebut yang ketentuannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka
penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga
penjualan dengan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut
dan atau penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai
sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Ayat (10)
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar Jumlah sebesar kerugian
tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya
tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib
Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan
jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang
harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 8
Pasal 11 A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai) yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun, diamortisasi dengan metode:
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama
masa manfaat, atau;
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang
menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku
harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas
pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman
bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Wajib Pajak
dapat
berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok
masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak
berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat
yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya
harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat
menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun.
Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud
tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat)
tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan
persentase amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase
perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun
yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas
bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya
lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran
untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran
tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti
hak pengusahaan hasil laut
diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi
dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan,
yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp 500.000.000,00
diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan
dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah
produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh
persen) dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada
tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang
tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari
pengeluaran atau
Rp 100.000.000,00.
Ayat (6)
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi
komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan
tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti
gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi
tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan
minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000,00. Taksiran
jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000
(dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi
mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel,
PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak
lain dengan harga sebesar Rp 300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan
kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan
Rp 500.000.000,00
Amortisasi yang telah dilakukan
100.000.000/200.000.000 barel (50%) Rp 250.000.000,00
Nilai buku harta
Rp 250.000.000,00
Harga jual harta
Rp 300.000.000,00
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar
Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp 300.000.000,00
dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 14
Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib
Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai
dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi
dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun disadari
bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Semua Wajib
Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan
bebas dengan jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan
pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan
neto bagi Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan
besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak
dan disempurnakan terus menerus. Penggunaan Norma penghitungan tersebut
pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih
baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib
Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan
hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak
yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan
neto.
Ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh
digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya kurang
dari jumlah Rp 600.000.000,00. Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto tersebut Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan
tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan
untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud
untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, maka
Wajib Pajak tersebut dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
dan atau wajib menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan, tetapi :
a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
kewajiban pencatatan atau pembukuan;
b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau
pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan;
sehingga karena itu mengakibatkan peredaran bruto
yang sebenarnya tidak diketahui, maka penghasilan netonya dapat dihitung
dengan cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas
peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan
perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan
pembukuan.
Angka 10
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib
Pajak orang pribadi
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
5% X Rp 25.000.000,00 =
Rp 1.250.000,00
10% x Rp 25.000.000,00 = Rp
2.500.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 = Rp
7.500.000,00
25% x Rp100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
35% x Rp 50.000.000,00 = Rp 17.500.000,00
(+)
Rp 53.750.000,00
Huruf b
Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 250.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 5.000.000,00
15% x Rp 50.000.000,00 =
Rp 7.500.000,00
30% x Rp 150.000.000,00 = Rp 45.000.000,00
(+)
Rp 57.500.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini akan diberlakukan secara nasional, dimulai per 1 (satu) Januari dan
diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru itu berlaku
efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, untuk
dibahas
dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian,
antara lain tingkat inflasi. Menteri Keuangan diberi wewenang mengeluarkan
keputusan yang mengatur tentang faktor penyesuaian tersebut.
Ayat (4)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk
penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)) Rp 34.816.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 25.000.000,00 = Rp 1.250.000,00
10% x Rp 9.816.000,00 = Rp
981.600,00 (+)
Rp 2.231.600,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak
(3 bulan)
(3x30) ? 360 x Rp 2.231.600,00 = Rp 557.900,00
Ayat (7)
Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada
Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat
final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan
atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan
pajak.
Angka 11
Pasal 18
Ayat (1)
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri
Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang
dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan
pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar
mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio).
Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas
kewajaran, maka pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat.
Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-undang
ini menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau
pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan
kewajaran atau kelaziman usaha adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan semakin berkembangnya ekonomi dan perdagangan
internasional sejalan dengan era globalisasi, dapat terjadi bahwa Wajib
Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi
kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri
selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan
berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar
40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd.
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2000 X Ltd. memperoleh
laba setelah pajak sejumlah Rp100.000.000,00.
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan
saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah
terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan
istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi
penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya
melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya
sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak
terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data
pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal
secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagai
utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut
sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui
indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi
antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar
data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan
dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan
untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya
dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.
Ayat (3a)
Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA)
adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai
harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya
APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer
pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak
dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara
lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung
pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum
dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi
atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada
perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral,
yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan
negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi
karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan
karena:
a. kepemilikan atau penyertaan modal;
b. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan
istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena
adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat
hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh
lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen)
saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai
50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT
B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua
puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap
terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan
istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas
dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat
juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi,
walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu
atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga
hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama
tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat
adalah saudara.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan
hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat
adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur tentang pembayaran pajak
dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan. Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran
dan pelaporan pajak adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana
pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang
merupakan induk, cabang, perwakilan atau unit perusahaan, yang membayar
atau terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan
nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai, sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan. Dalam pengertian
pemberi kerja termasuk juga organisasi internasional
yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan pembayaran lain adalah
pembayaran dengan nama apapun selain gaji, upah, tunjangan, dan honorarium,
dan pembayaran lain seperti bonus, gratifikasi, tantiem.
Yang dimaksud dengan bukan pegawai adalah
orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja
sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima
atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di
luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran
lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Huruf c
Dana pensiun atau badan lain seperti badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang membayarkan uang pensiun,
tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis
dengan nama apapun.
Dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran
lain termasuk tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun
tidak, yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari
tua, penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Dalam pengertian badan termasuk organisasi
internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan ayat (2). Termasuk tenaga
ahli orang pribadi misalnya dokter, pengacara, akuntan, yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk
dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan wajib memotong pajak
atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan
suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara kegiatan termasuk antara
lain badan, badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional,
perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan
kegiatan. Kegiatan yang diselenggarakan misalnya kegiatan olah raga, keagamaan,
kesenian dan kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap besarnya penghasilan yang dipotong
pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun,
dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian iuran pensiun termasuk
juga iuran tunjangan hari tua atau tabungan hari tua yang dibayar oleh
pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong
pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga
penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang dipotong pajak bagi pegawai
harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya adalah jumlah penghasilan
bruto dikurangi dengan bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan
yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini mengatur pemotongan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, pemberian jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf e, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah
atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Dasar pemotongan pajak dalam ayat ini dibedakan
antara penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan neto. Dasar pemotongan
pajak untuk pembayaran penghasilan dalam bentuk dividen, bunga,
royalti, hadiah, dan penghargaan adalah jumlah
penghasilan bruto. Dasar pemotongan untuk sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah perkiraan penghasilan
neto.
Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan
pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain
jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21.
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat
final. Atas penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi
batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan
koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
Ayat (2)
Agar ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik
dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal
Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya
perkiraan penghasilan neto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan
neto, Direktur Jenderal Pajak selain memanfaatkan data dan informasi intern,
dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihak-pihak yang terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 14
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran
bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2000 Rp 50.000.000,00
dikurangi:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi kerja
(Pasal 21)
Rp 15.000.000,00
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain
(Pasal 22)
Rp 10.000.000,00
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain
(Pasal 23)
Rp 2.500.000,00
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri
(Pasal 24)
Rp 7.500.000,00 (+)
Jumlah kredit pajak
Rp 35.000.000.00 ()
Selisih Rp 15.000.000,00
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
setiap bulan untuk tahun 2001 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00
dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan dalam tahun
2000, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap
bulan dalam tahun 2001 adalah sebesar Rp 2.500.000,00 (Rp 15.000.000,00
dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan adalah 3 (tiga) bulan setelah tahun pajak berakhir,
maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan belum dapat
dihitung sesuai dengan ketentuan ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak
untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tersebut adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan
terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan Maret 2001, maka besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari dan Pebruari 2001
adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp
1.000.000,00.
Apabila dalam bulan September 2000 diterbitkan keputusan
pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak
bulan Oktober sampai dengan Desember 2000 menjadi nihil, maka besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak setiap bulan untuk bulan
Januari dan Pebruari 2001 tetap sama dengan angsuran bulan Desember, yaitu
nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu maka angsuran pajak dihitung berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku
mulai bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak 2000 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2001,
perhitungan besarnya angsuran pajak yang
harus
dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan
Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang
menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar
Rp 2.000.000,00.
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya
angsuran pajak mulai bulan Juli 2001 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan
besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa
sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak
oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan
mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena
itu berdasarkan ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal
Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan,
apabila terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh
penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan
Wajib Pajak.
Contoh 1:
Penghasilan PT X tahun 2000 Rp 120.000.000,00
Sisa kerugian tahun sebelumnya
yang masih dapat dikompensasikan
Rp 150.000.000,00
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2000 Rp
30.000.000,00
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2001
adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran
Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp 120.000.000,00 - Rp 30.000.000,00 = Rp
90.000.000,00.
Pajak Penghasilan terutang:
10% x Rp 50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp 40.000.000,00 = Rp 6.000.000,00
(+)
Rp 11.000.000,00
Apabila pada tahun 2000 tidak ada Pajak Penghasilan
yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, maka besarnya
angsuran pajak bulanan PT X tahun 2001 = 1/12 x Rp 11.000.000,00 = Rp 916.666,67
(dibulatkan
Rp 916.666,00).
Contoh 2:
Penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
dalam tahun 2000 Rp 48.000.000,00 dan penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan
rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun 2000 sebesar
Rp 72.000.000,00. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus
diterima pada tahun 2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan
Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2001 adalah hanya
dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak
dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak
di bidang produksi benang dalam tahun 2000 membayar angsuran bulanan sebesar
Rp 15.000.000,00.
Dalam bulan Juni 2000 pabrik milik PT B terbakar,
oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan
Juli 2000 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari
Rp15.000.000,00.
Sebaliknya apabila PT B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena
Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban
angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan
dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun yang lalu. Namun berdasarkan ketentuan ini, Menteri Keuangan
diberi wewenang untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan
selain berdasarkan prinsip tersebut dengan tujuan agar lebih mendekati
kewajaran berdasarkan data yang dapat dipakai untuk menentukan besarnya
pajak yang akan terutang pada akhir tahun serta sebagai dasar penghitungan
jumlah (besarnya) angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan, perlu diatur untuk
menentukan besarnya angsuran pajak, karena Wajib Pajak belum memasukkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas
kenyataan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan,
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, terdapat kewajiban
menyampaikan kepada Pemerintah laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dalam suatu periode tertentu, yang dapat dipakai sebagai dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Dalam perkembangan dunia usaha, kemungkinan terdapat
bidang usaha atau Wajib Pajak tertentu termasuk Wajib Pajak orang pribadi
pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat
usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai
toko di beberapa pusat perbelanjaan, yang angsuran pajaknya dapat dihitung
berdasarkan data atau kenyataan yang ada, sehingga mendekati kewajaran.
Ayat (8)
Pajak yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi yang
bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran pajak dalam tahun
berjalan yang dapat dikreditkan dengan jumlah Pajak Penghasilan yang terutang
pada akhir tahun. Berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya tugas negara,
pertimbangan sosial, budaya, pendidikan, keagamaan, dan kelaziman internasional,
dengan Peraturan Pemerintah diatur tentang pengecualian dari kewajiban
membayar pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Ayat (9)
Sebagaimana dimaksud dalam ayat (7), besarnya angsuran
pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu yaitu Wajib Pajak
orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat,
misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan,
ditetapkan tersendiri dengan Keputusan Menteri Keuangan. Angsuran pokok
bagi Wajib Pajak tersebut, merupakan pelunasan pajak
yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, sepanjang Wajib Pajak tersebut tidak menerima
atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat final. Apabila Wajib Pajak tersebut juga menerima atau memperoleh
penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final,
maka dalam menghitung pajaknya, seluruh penghasilannya digunggungkan dan
dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum, sedangkan pajak
yang telah dibayar merupakan kredit pajak.
Angka 15
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
luar negeri dari Indonesia, Undang-undang ini menganut dua sistem pengenaan
pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak
luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar
bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan
yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib
dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan
dapat digolongkan dalam:
1) penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk
dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungan dengan
interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan
sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau
kegiatan;
3) hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun;
4) pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan
Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00
kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut
berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen)
dari Rp 100.000.000,00.
Sebagai contoh lain misalnya seorang atlit dari
luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di
Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (2) dan ayat (3)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang
bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan harta dan premi asuransi, termasuk
premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final.
Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan
penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan
pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak
luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau apabila penghasilan dari penjualan
harta tersebut telah dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(2).
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak
dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen).
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap
di Indonesia Rp 17.500.000.000,00
Pajak Penghasilan:
10% x Rp
50.000.000,00 = Rp 5.000.000,00
15% x Rp
50.000.000,00 = Rp 7.500.000,00
30% x Rp 17.400.000.000,00 = Rp 5.220.000.000,00
(+)
Rp 5.232.500.000,00
(-)
Penghasilan Kena Pajak
setelah dikurangi pajak Rp 12.267.500.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang
20% X 12.267.500.000 = Rp 2.453.500.000,00
Namun apabila penghasilan setelah dikurangi pajak
sebesar Rp12.267.500.000,00 tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai
dengan Keputusan Menteri Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak
dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak
luar negeri adalah bersifat final, namun atas penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan
huruf c, dan atas
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri
yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak
tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian
kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia
untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2001.
Pada tanggal 20 April 2001 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi
8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2001.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang
maka status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya
perjanjian kerja tersebut maka status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri
menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2001.
Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2001 atas penghasilan bruto A
telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung
Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai
dengan Agustus 2001, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan
disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan
terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 16
Pasal 31 A
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh di
dalam undang-undang perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang hakekatnya sama, dengan
berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu
pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang
dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk
mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman
modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang
usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional, khususnya penggalakan ekspor. Selain itu kemudahan
pajak juga diberikan untuk mendorong pengembangan daerah terpencil, seperti
yang banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dalam rangka pemerataan
pembangunan.
Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dinikmati
selama 6 (enam) tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan
dari penghasilan neto sebesar 5% (lima persen) dari jumlah realisasi
penanaman.
Demikian pula ketentuan ini dapat digunakan untuk
menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang
perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 17
Pasal 31 B
Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997
telah menimbulkan dampak negatif yang luas
terhadap sektor perbankan,
usaha investasi, kesempatan kerja, dan makro ekonomi.
Hal tersebut terjadi terutama karena banyaknya utang luar negeri dan dalam
negeri (dalam valuta asing) yang mengalami kenaikan drastis sebagai akibat
terdepresiasinya secara signifikan nilai rupiah terhadap mata uang dollar
Amerika Serikat. Dalam rangka upaya pemulihan kegiatan perekonomian nasional
Pemerintah perlu menempuh kebijakan khusus restrukturisasi utang. Restrukturisasi
tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pembebasan (sebagian atau seluruh)
utang, pengalihan harta untuk penyelesaian utang, dan perubahan utang menjadi
modal. Restrukturisasi utang yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan
ekonomi tersebut, perlu didorong dengan pemberian fasilitas perpajakan.
Pemberian fasilitas dimaksud sifatnya terbatas baik jenis maupun jangka
waktunya. Agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh mereka yang betul-betul
berhak, terarah dan terkendali sesuai dengan maksud dan tujuannya, fasilitas
hanya diberikan terhadap restrukturisasi utang yang dilakukan melalui lembaga
khusus yang dibentuk Pemerintah, yaitu Satuan Tugas Prakarsa Jakarta.
Ayat (1)
Fasilitas pajak yang diberikan masa berlakunya terbatas
hanya untuk tahun-tahun pajak 2000, 2001 dan 2002. Adapun fasilitas pajak
yang dimaksud adalah berupa keringanan Pajak Penghasilan dalam bentuk
:
a. pembebasan sebagian serta pengangsuran pembayaran
Pajak Penghasilan yang terutang atas pembebasan utang yang diberikan oleh
kreditur;
b. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas
pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang sepanjang harta
tersebut dinilai sebesar nilai buku pihak yang mengalihkan;
c. pembebasan Pajak Penghasilan yang terutang atas
perubahan utang menjadi penyertaan modal sepanjang penyertaan modal tersebut
dinilai sebesar utang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31 C
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 32 A
Dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus
(lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing
negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak
berganda serta mencegah pengelakan pajak. Adapun bentuk dan materinya mengacu
pada konvensi internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan perpajakan
nasional masing-masing negara.
PASAL II
Cukup jelas
PASAL III
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3985