SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG UNDANG MENGENAI PAJAK PENGHASILAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 (UU No 10 Tahun 1994)
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas Penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
BAB II
SUBYEK PAJAK
Pasal 2
(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah :
a. 1) orang pribadi; ( UU No 10 Tahun 1994)
2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak; ( UU No 10 Tahun 1994)
b. badan, ( UU No 17 Tahun 2002)
c. bentuk usaha tetap. ( UU No 10 Tahun 1994)
(2) Subyek pajak terdiri dari Subyek Pajak dalam negeri dan Subyek
Pajak luar negeri. ( UU No 7 Tahun 1983)
(3) Yang dimaksud dengan Subyek Pajak dalam negeri adalah :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi
yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia; (UU No 10 Tahun 1994)
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
( UU No 7 Tahun 1983)
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan
yang berhak. ( UU No 10 Tahun 1994 )
(4) Yang dimaksudkan dengan Subyek Pajak luar negeri adalah :
( UU No 10 Tahun 1994)
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : ( UU No 10 Tahun 1994
)
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
k. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
l. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung resiko di Indonesia.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
( UU No 17 Tahun 2000 )
Pasal 2A ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai pada saat orang pribadi tersebut
dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan
berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(2) Kewajiban pajak subyektif badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau
tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
(3) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) huruf a dimulai pada saat orang pribadi
atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
(4) Kewajiban pajak subyektif orang pribadi atau badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dimulai pada saat orang pribadi
atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan
tersebut.
(5) Kewajiban pajak subyektif warisan yang belum terbagi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2) dimulai pada saat timbulnya
warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut
selesai dibagi.
(6) Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat
tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun
pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.
Pasal 3
Tidak termasuk Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
:
a. badan perwakilan negara asing; ( UU No 10 Tahun 1994 )
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; ( UU No 17 Tahun 2000
)
c. organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, dengan syarat : ( UU No 17 Tahun 2000 )
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah
yang dananya berasal dari iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia. ( UU No 17 Tahun 2000 )
BAB III
OBYEK PAJAK
Pasal 4
(1) Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini; ( UU No 10 Tahun 1994 )
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
( UU No 10 Tahun 1994 )
c. laba usaha; ( UU No 10 Tahun 1994 )
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk
: ( UU No 10 Tahun 1994 )
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya; ( UU No 10 Tahun 1994 )
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang; ( UU No 10 Tahun 1994 )
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi; ( UU No 10 Tahun 1994 )
h. royalti; ( UU No 10 Tahun 1994 )
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; (
UU No 10 Tahun 1994 )
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; ( UU No 10 Tahun 1994
)
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; ( UU No 17 Tahun
2000 )
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; ( UU No 10 Tahun
1994 )
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; ( UU No 10 Tahun
1994 )
n. premi asuransi; ( UU No 10 Tahun 1994 )
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; (
UU No 17 Tahun 2000 )
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan
pajak. ( UU No 10 Tahun 1994 )
(2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (UU No 10 Tahun 1994)
(3) Yang Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah :
a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan ;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan,
atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;( UU No 17 Tahun 2000
)
b. warisan; ( UU No 7 Tahun 1983 )
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyertaan modal; ( UU No 10 Tahun 1994 )
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan
dari Wajib Pajak atau Pemerintah; ( UU No 10 Tahun 1994 )
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; ( UU No 10 Tahun 1994 )
f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik
Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat
: ( UU No 17 Tahun 2000 )
1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan
Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai; ( UU No 10 Tahun 1994 )
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan; ( UU No 10 Tahun 1994 )
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi; ( UU No 10 Tahun 1994 )
j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana
selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian
ijin usaha; ( UU No 10 Tahun 1994 )
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
( UU No 10 Tahun 1994 )
Pasal 5 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
a. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut
dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
b. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang,
atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau
yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk
usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
(2) Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c boleh dikurangkan dari penghasilan
bentuk usaha tetap.
(3) Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk
dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk
usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan
sebagai biaya adalah :
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan
harta, paten, atau hak-hak lainnya;
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya;
3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
c. pembayaran sebagaimana tersebut pada huruf b yang diterima
atau diperoleh dari kantor pusat tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali
bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan."
Pasal 6
(1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri
dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
:
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk
upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan
limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
( UU No 17 Tahun 2000 )
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 11A; ( UU 10 Tahun 1994 )
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan; ( UU 10 Tahun 1994 )
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan; ( UU 10 Tahun 1994 )
e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing; ( UU No 17 Tahun 2000
)
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
( UU 10 Tahun 1994 )
g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan; ( UU 10 Tahun 1994 )
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : (UU
No 17 Tahun 2000)
1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian
tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur
dan debitur yang bersangkutan;
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak,yang pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan
5 (lima) tahun. (UU No 17 Tahun 2000)
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan
pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7. ( UU No 10 Tahun 1994)
5. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 7 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 7
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak diberikan sebesar : (UU No 17
Tahun 2000)
a. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah)
untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
b. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
d. Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun
pajak atau awal bagian tahun pajak. ( UU No 10 Tahun 1994)
(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU
No 17 Tahun 2000)
Pasal 8 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah
kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula
kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan
atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima
atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan
ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(2) Penghasilan suami-isteri dikenakan pajak secara terpisah
apabila :
a. suami-isteri telah hidup terpisah;
b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto
suami-isteri, dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan
orang tuanya, kecuali penghasilan dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya
dengan usaha orang yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) huruf c.
6. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g diubah,
sehingga keseluruhan Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan
untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan; ( UU No 17 Tahun 2000 )
d. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi,
kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai
penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; ( UU No 10 Tahun 1994 )
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; ( UU No 17
Tahun 2000 )
f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan; ( UU No 10 Tahun 1994 )
g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; (UU No 17 Tahun 2000)
h. Pajak Penghasilan; ( UU No 10 Tahun 1994 )
i. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; ( UU No 10 Tahun 1994
)
j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; ( UU No 10 Tahun 1994
)
k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan
di bidang perpajakan. ( UU No 10 Tahun 1994 )
(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11 A. ( UU No
10 Tahun 1994 )
Pasal 10 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual
beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau
diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar
harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam
rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(4) Apabila terjadi pengalihan harta :
a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan
sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan
nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima
pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga
pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata
atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
Pasal 11
(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,
perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
(UU No 17 Tahun 2000)
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
(UU No 17 Tahun 2000)
(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada
bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. (UU No 17 Tahun 2000)
(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih,dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan
mulai menghasilkan. (UU No 17 Tahun 2000)
(5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas
harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
( UU No 10 Tahun 1994 )
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan
harta berwujud ditetapkan sebagai berikut : ( UU No 10 Tahun 1994 )
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat Tarif penyusutan
sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1)
Ayat (2)
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 Tahun
50 %
25 %
Kelompok 2
8 Tahun
25 %
12,5 %
Kelompok 3
16 Tahun
12,5%
6,25%
Kelompok 4
20 Tahun
10 %
5 %
II. Bangunan
Permanen
20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun
10%
(7) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1),
ketentuan tentang penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan
dalam usaha tertentu, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU
No 17 Tahun 2000)
(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab
lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima
atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan
harta tersebut. ( UU No 10 Tahun 19994 )
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan
Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. (UU No 17 Tahun
2000)
(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. ( UU No 10 Tahun 19994 )
(11) Kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (UU
No 17 Tahun 2000)
Pasal 11A
(1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud
dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian
yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan
secara taat asas. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi
ditetapkan sebagai berikut : ( UU No 10 Tahun 1994 )
Kelompok Harta Tidak Berwujud
Masa Manfaat Tarif Amortisasi berdasarkan
metode
Garis Lurus Saldo Menurun
Kelompok 1
4 Tahun
50 %
25 %
Kelompok 2
8 Tahun
25 %
12,5 %
Kelompok 3
16 Tahun
12,5%
6,25%
Kelompok 4
20 Tahun
10 %
5 %
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal
suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). ( UU No 17
Tahun 2000 )
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan
minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
( UU No 10 Tahun 1994 )
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan
selain yang dimaksud dalam ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan
sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi
paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
( UU No 17 Tahun 2000 )
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai
sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah
yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta
tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. ( UU No 10 Tahun 1994 )
Pasal 12 ( UU No 10 Tahun 1994 )
dihapus.
Pasal 13 ( UU No 10 Tahun 1994 )
dihapus.
Pasal 14
(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan
neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu
tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang menghitung
penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. ( UU No 17 Tahun 2000
)
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, termasuk
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata
tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan
atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya,
maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
( UU No 17 Tahun 2000 )
(6) Dihapus. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU No 10 Tahun 1994
)
Pasal 15 ( UU No 10 Tahun 1994 )
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan netto dari Wajib
Pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16
ayat (1) atau ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
BAB IV
CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 16 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi
Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), dan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan
badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, dan untuk
Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap
di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan
dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima
atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Pasal 17
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi
: ( UU No 17 Tahun 2000)
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut
:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) 5 % (lima
persen)
di atas Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) s.d. Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) 10% (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) 15 % (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) s.d. Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) 25 % (dua puluh lima persen)
Di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) 35% (tiga puluh lima
persen)
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah
sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 10% (sepuluh
persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) 15 % (lima belas persen)
Di atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d. Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) 15 % (lima belas persen)
Di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) 30 % (tiga puluh persen)
(2) Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua
puluh lima persen). ( UU No 17 Tahun 2000)
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU No
17 Tahun 2000)
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam
ribuan rupiah penuh. ( UU No 17 Tahun 2000)
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4) dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun
pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak
yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. ( UU No 10 Tahun 1994)
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. ( UU No
17 Tahun 2000)
(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak
tersendiri atas penghasilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2),
sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1). ( UU No 17 Tahun 2000)
Pasal 18
(1) Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. ( UU No 10 Tahun 1994
)
(2) Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen
oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di
luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut : ( UU No 17 Tahun 2000)
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling
rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor.
(3) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. ( UU
No 10 Tahun 1994 )
(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian
dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara
lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama
suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi
setelah periode tertentu tersebut berakhir. ( UU No 17 Tahun 2000)
(4) Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
(3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1)
dianggap ada apabila : ( UU No 17 Tahun 2000)
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib
Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.
(5) dihapus. ( UU No 17 Tahun 2000)
Pasal 19 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian
kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara
unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga.
(2) Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan keputusan Menteri
Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1).
BAB V
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 20 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak,
dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan
dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib
Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan
pajaknya bersifat final."
Pasal 21 ( UU No 17 Tahun 2000 )
(1) Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, wajib dilakukan oleh :
a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh pegawai atau bukan pegawai;
b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran
lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun;
d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas;
e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
(2) Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan
pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a adalah badan perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak
untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan
biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak
tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah
dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(5) Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.
(6) dihapus.
(7) dihapus.
(8) Petunjuk mengenai pelaksanaan pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau
kegiatan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 22 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah
untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang,
dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
(2) Ketentuan mengenai dasar pemungutan, sifat dan besarnya pungutan,
tata cara penyetoran, dan tata cara pelaporan pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 23
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan
:
a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :
( UU No 17 Tahun 2000 )
1) dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf g;
2) bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf f;
3) royalti;
4) hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
b. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto dan bersifat
final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; ( UU No 10 Tahun
1994)
c. sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
neto atas : ( UU No 10 Tahun 1994)
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(3) Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1). ( UU No 10 Tahun 1994)
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilakukan atas : ( UU No 17 Tahun 2000 )
a. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f;
d. bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
j;
e. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i;
f. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
g. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
Pasal 24 ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan
dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang
ini dalam tahun pajak yang sama.
(2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebesar pajak penghasilanyang dibayar atau terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
(3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan,
penentuan sumber penghasilan adalah sebagai berikut :
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat
badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau berada;
e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha
tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
(4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang
dimaksud pada ayat tersebut.
(5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan
ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang
menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan
dari luar negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : ( UU No 17 Tahun 2000 )
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan
terakhir tahun pajak yang lalu. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(3) dihapus. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan
pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung
kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. ( UU No 17 Tahun
2000 )
(5) dihapus. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu,
yaitu : ( UU No 10 Tahun 1994 )
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan
setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran
bulanan sebelum pembetulan;
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru,
bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak
tertentu lainnya termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(8) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri
wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
( UU No 10 Tahun 1994 )
(9) Pajak yang telah dibayar sendiri dalam tahun berjalan oleh
Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu merupakan pelunasan pajak
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali apabila Wajib
Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh penghasilan lain yang
tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final menurut Undang-undang
ini. ( UU No 10 Tahun 1994 )
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam
bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah,
Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan
: ( UU No 17 Tahun 2000 )
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
(2) Atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali
yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi
yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak
20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. ( UU No 10 Tahun
1994 )
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. ( UU No 17 Tahun 2000 )
(4) Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh
persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
( UU No 17 Tahun 2000 )
(5) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (4) bersifat final, kecuali : ( UU No 10 Tahun 1994 )
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf b dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap.
Pasal 27 ( UU No 10 Tahun 1994)
dihapus.
BAB VI
PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN
Pasal 28 ( UU No 10 Tahun 1994)
(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak
yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan,
berupa :
a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor
atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22;
c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti,
sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23;
d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri
yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25;
f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (5).
(2) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta
sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan
dengan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)."
Pasal 28A ( UU No 10 Tahun 1994)
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat
(1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya."
Pasal 29 ( UU No 10 Tahun 1994)
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal
25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan."
Pasal 30 ( UU No 10 Tahun 1994)
dihapus.
Pasal 31 ( UU No 10 Tahun 1994)
dihapus.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 31 A ( UU No 17 Tahun 2000)
(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk :
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah penanaman yang dilakukan;
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun; dan
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian
perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah;
(2) Fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 B ( UU No 17 Tahun 2000)
(1) Wajib Pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui
lembaga khusus yang dibentuk Pemerintah dapat memperoleh fasilitas pajak
yang bersifat terbatas baik dalam jangka waktu maupun jenisnya berupa keringanan
Pajak Penghasilan yang terutang atas :
a. pembebasan utang;
b. pengalihan harta kepada kreditur untuk penyelesaian utang;
c. perubahan utang menjadi penyertaan modal;
(2) Fasilitas pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31 C ( UU No 17 Tahun 2000)
(1) Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam
negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja
dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah
Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Pembagian penerimaan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32 ( UU No 17 Tahun 2000)
Tata cara pengenaan pajak dan sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan
Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
Pasal 32 A ( UU No 17 Tahun 2000)
Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara
lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan
pajak.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33A ( UU No 10 Tahun 1994 )
(1) Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 1995 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
ini.
(2) Wajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan dan telah
mendapat keputusan tentang saat mulai berproduksi sebelum tanggal 1 Januari
1995, maka fasilitas perpajakan dimaksud dapat dinikmati sesuai dengan
jangka waktu yang ditentukan.
(3) Fasilitas perpajakan yang telah diberikan, berakhir pada
tanggal 31 Desember 1994, kecuali fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan
minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini,
pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai
dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud.
Pasal 34 ( UU No 10 Tahun 1994 )
Peraturan pelaksanaan di bidang Pajak Penghasilan yang masih berlaku
pada saat berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35 ( UU No 10 Tahun 1994 )
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.